Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KARYANYA dianggap kebarat-baratan. Gayanya dipengaruhi komikus Amerika Serikat dan ceritanya berkaca pada kisah di negeri Barat. Jan Mintaraga, begitulah ia dikenal sebagai komikus bergenre komik roman. Awalnya Jan menciptakan berbagai macam komik, seperti roman, silat, wayang, dan sejarah. Ia lantas membuat komik pahlawan super terkenal, Kapten Halilintar dan Virgo. Karakter Virgo, superheroine dengan kekuatan api di tangannya, kini difilmkan oleh Jagat Sinema Bumilangit dengan judul Virgo and the Sparklings.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jan lahir di Yogyakarta pada 8 November 1942. Berasal dari keluarga penggiat seni, sejak kecil ia gemar menggambar. Ia mengenyam pendidikan di Akademi Seni Rupa Indonesia Yogyakarta dan Institut Teknologi Bandung, meskipun tidak sampai lulus. Ia mulai menerbitkan komik setelah mendapat bimbingan dari Raden Ahmad Kosasih dan Ardisoma.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengajar Institut Kesenian Jakarta, Seno Gumira Ajidarma, dalam tulisannya di jurnal internasional pada 2018 menyebutkan ihwal Jan. Ia mengatakan penelitian tentang Jan sebelumnya dilakukan oleh Marcel Bonneff pada 1972 untuk disertasi. Dalam buku Komik Indonesia karya Bonneff, yang mewawancarai Jan, disebutkan Jan menerbitkan lebih dari 100 judul komik. Rata-rata Jan menerbitkan dua komik dalam sebulan dan mendapat bayaran Rp 60 ribu. Tapi karya berjudul Sebuah Noda Hitam-lah yang mengorbitkan namanya.
Bonneff menyebut Jan sebagai satu dari tiga komikus roman di Indonesia. Setelah membuat berbagai eksperimen, dia akhirnya memilih gaya komik roman. Tema-tema kisahnya sering terinspirasi komik yang dipublikasikan di Barat. Dalam komik-komik romannya, Jan mengangkat cerita gaya hidup orang-orang muda di Jakarta yang menikmati kemajuan ekonomi yang sedang tumbuh pada 1967-1970-an. Menurut Jan, pengadegan orang kecil tidak cocok dengan roman remaja yang harus romantis dan indah. Bonneff menyebutkan kemungkinan besar Jan adalah komikus yang paling pas dengan komik Barat dan hanya dia yang pantas mendapat apresiasi atas komiknya yang memperlihatkan pembangunan di Indonesia.
Sampul cergam roman Sebuah Noda Hitam karya Jan Mintaraga
Seno Gumira melihat, sementara perkembangan komik di Amerika dan Inggris dipengaruhi masa pra atau pasca-Perang Dunia II, di Indonesia komik roman tumbuh sebagai bagian dari kultur pop di era Orde Baru. Ketika itu rezim ini mulai membuka pintu untuk modal asing, khususnya dari negara Barat, yang tentu sangat berbeda dengan pada era Sukarno. Bersamaan dengan itu, musik pop, fashion, sinema, dan buku komik tengah berkembang. Setelah menerbitkan Sebuah Noda Hitam, Jan menjadi ikon genre komik roman. Ia menentang pornografi sambil memperjuangkan misi komik sebagai "pendidik". Karya lain yang sudah diterbitkan adalah Tunggu Aku Dipintu Eden. Ia juga membuat sejumlah cerita silat, seperti Kelelawar, Teror Macan Putih, dan Indra Bayu. Selain menjadi kartunis, ilustrator ini menulis komik sejarah, antara lain Imperium Majapahit dan Api di Rimba Mentaok.
Seno menyebutkan kehadiran Jan cukup penting dalam genre komik roman dan perkembangan peradaban kota, khususnya Jakarta. "Jan membentuk dan terbentuk oleh situasi urban, pembangunan di Jakarta,” ujarnya kepada Tempo, Jumat, 3 Maret lalu. Dalam komik Jan, senantiasa ada gambaran kota dengan gedung-gedung dan interior tokoh yang menggambarkan kelas sosial yang kental. Lalu ada gambar seperti suasana Blok M, trotoar yang lebar, dan kompleks rumah yang sepi. Kalangan menengah digambarkan mengendarai vespa, sementara yang kaya memakai mobil. Ia menciptakan sesuatu yang belum ada saat itu dengan imajinasinya yang masih terbatas. Gambaran urban dan budaya pop yang mengacu budaya Barat tampak dalam gaya hidup dengan klub malam, musik, gaya rambut atau fashion, dan dialog tokohnya.
Kendati memperlihatkan kemajuan kehidupan urban, Jan masih mempertahankan sesuatu yang kuno dalam ceritanya. Misalnya soal hubungan percintaan yang terputus karena faktor kelas sosial. Si kaya dan si miskin tak bisa menyatu. Atau, jikapun bisa terus berhubungan, si miskin harus memenuhi "persyaratan", misalnya si kaya berutang budi kepada si miskin. "Ada pula situasi sosial, dalam sebuah keluarga, anaknya menjadi rusak karena ayahnya korupsi, tergoda hostess, atau terlibat di mafia-mafia kecil,” tutur Seno.
Karakter Virgo karya Jan Mintaraga yang pertama diterbitkan pada 1970-an.
Jan juga tertarik menggarap genre komik superhero, yang pada 1970-an mulai laris lewat Gundala Putra Petir karya Hasmi. Jan mulanya menciptakan komik Kapten Halilintar pada 1973. Serial Kapten Halilintar menampilkan seorang tokoh sakti dengan kekuatan petir. Sosoknya pun muncul dalam balutan kostum yang ketat dengan tanda petir di dadanya dan ikat pinggang serta kepala dan muka tertutup topeng. Ia pun mengenakan sarung tangan dan sepatu bot.
Jan kemudian memperkenalkan tokoh Virgo yang mendampingi Kapten Halilintar menumpas penjahat dan mafia. Virgo juga muncul pada 1973. Virgo adalah wujud lain Rini, perempuan pemberani yang bereksperimen dengan tubuhnya. Kesaktiannya adalah dapat mengeluarkan api dari jari-jari tangannya.
Film Virgo and the Sparklings, menurut Seno, boleh dikatakan hanya menebeng plot dan nama. Dari film superhero yang ada, Seno mempertanyakan kesaktian tokoh yang masih menggunakan jurus-jurus silat. “Superhero kok silat, semestinya langsung perlihatkan superpower-nya itu, seperti di Spider-Man atau Wonder Woman, atau tokoh lain. Enggak pakai tinju-tinju juga,” katanya.
Sementara itu, dosen kajian sinema Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Suma Riella, mengatakan film-film produksi Bumilangit cukup menjanjikan. Ia paham bahwa biaya produksi film superhero mahal. Dari sisi cerita, dia mengungkapkan, anak-anak muda di baliknya punya kreativitas besar untuk mengemas cerita yang relevan dengan zamannya. Hanya, dia menambahkan, memang film-film bergenre demikian harus mampu meyakinkan penonton bahwa superhero bertugas menyelamatkan sesuatu dalam skala besar, bahaya besar yang mengancam masyarakat. "Nah, penonton Indonesia perlu diyakinkan dalam film-film itu butuh diselamatkan dari apa,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo