JAZZ tumbuh bagaikan sebuah gunung. Dalam dua dasawarsa terakhir
jenis musik ini boleh dikatakan menampung segala jenis
perkembangan musik. "Dan musik kami adalah ledakan gunung itu,"
kata Ronald Shannon Jackson, leader The Decoding Society,
grup jazz dari Amerika.
Benar. Dari sekitar 1/2 jam pertunjukan Jackson di Teater
Terbuka Taman Ismail Marzuki, 19 dan 20 September lalu, bisa
dicium bau irama jazz lama. Dari zaman ragtime yang manis,
hingga masa jazz bebas yang santai. Tapi di sana sini juga
tersebar bau musik rock yang keras, dan nada pentatonik yang
mirip musik tradisional Cina.
Bukan berarti The Decoding Society. Yang menduduki ranking
ketiga terbaik tahun ini menurut majalah jazz Amerika Downbeat,
tak punya ciri sendiri. Ketika grup ini membawakan Summertime
yang populer itu, mula-mula terdengar petikan gitar listrik
Vernon Reid, yang monoton, disusul pukulan drum Jackson. Paduan
dua instrumen itu menjadi latar belakang lengkingan terompet
Henry Scott yang mula-mula patuh pada melodi, tapi lantas
menjadi sedikit liar, menjerit-jerit semaunya sendiri. Di tengah
permainan, gitar listrik ikut-ikutan melenceng dari kelompok,
berdentang-denting melontarkan nada, entah kegirangan entah
kejengkelan.
Jadinya, Summertime bukan lagi lagu yang mengelus telinga
tentang kegembiraan musim panas. Terlontar dari kelima pemain
The Decoding Society, yang empat di antaranya memeluk agama
Buddha Nichiren Shoshu, lagu itu seperti terdengar mengejek. Ada
kecenderungan grup ini mengabaikan segala rumusan musik.
Misalnya, banyak ciptaan mereka sendiri yang dibawakan malam
itu selesai begitu saja, ketika lagu tersebut terasa masih
harus berlanjut.
Dengar misalnya Zane's Fangs (Taring si Zane) yang menonjolkan
permainan saksofon Zane Mossey, yang bergabung dengan grup ini
tiga tahun yang lalu. Lenguhan saksofon sayup-sayup
dilatarbelakangi pukulan drum, kemudian ditimpa petikan gilar.
Begitu memukau, tiap-tiap pemusik begitu terampil. Saksofon
diberi kesempatan tampil memimpin permainan, dengan lenguhan-
lenguhan bak suara gajah. Kadang saksofon menghilang, dan suara
drum yang rata memenuhi ruang yang disambut petikan bas gitar
Bruce Johnson. Muncul saksofon lagi, melengking tinggi - seperti
lagu ini mau habis Ternyata tidak. Lagi, muncul dentuman drum
dan petikan bas gitar. Dan dengan nada merata, tiba-tiba Zane's
Fan berhenti begitu saja. Mengagetkan, seperti menyadarkan
bahwa akhir segala sesuatu bukan kita sendiri yang menentukan.
Bagi yang mencari alunan jazz yang merdu dan santai, tak
diberikan The Decoding Society. Pun, yang ingin mendengar jazz
avant garde yang hanya menampilkan sekadar bunyi, tampaknya hal
itu bukan lagi urusan grup ini. Yang jelas, grup yang berdiri
empat tahun yang lalu ini terasa berpembawaan tegar. Musik yang
dibawakannya lebih dekat dengan suara teriakan daripada alunan
bunyi. Dan kira-kira itu masih termasuk yang disebut
harmolodics, nama komposisi jazz yang diciptakan Ornette Coleman
salah seorang tokoh jazz Amerika di pertengahan 1970-an. Ronald
Jackson dulu memang termasuk dalam grup Coleman. Prinsip
"aliran" ini, setiap instrumen dipersilakan bermain seenak
sendiri. Yang ingin dicapai bukan sekadar disharmoni, lagu yang
tak selaras. Tapi, disonansi, suara-suara yang saling
bertabrakan.
Apa boleh buat, misalkan, ada yang sakit telinga karenanya. Si
Jackson sendiri kepada TEMPO mengakui banyak pencinta jazz yang
sukar menerima harmolodics. "Tapi mungkin yang melihat
pertunjukan kami dengan cermat," katanya, "lebih bisa memahami
kami." Maksudnya, gerak fisik mereka bisa menjadi kunci
apresiasi. Di panggung, kelima pemain memang sangat sering
mengangguk-anggukkan dan menggeleng-gelengkan kepala. Mulut
mereka pun sering komat-kamit dan mata mereka terpejam.
Lalu apa yang dikomat-kamitkan itu? Ini dia: "Nam myoho renge
kyo," salah satu judul ceramah Buddha Sakyamuni. Dan lucunya,
mereka sendiri tak tahu artinya. Dengan mengucapkan kata-kata
itu, "saya mengirimkan bunyi ke alam semesta," tambah Jackson.
Musikus yang mengaku mencipta musik karena agama Budhanya ini
percaya bahwa bunyi yang dikirimkannya itu akan memantul kembali
ke dalam dirinya dan menjelma dalam permainan-permainannya.
Wallahu alam bisawab . . .
Yang jelas, dalam permainan penutut di malam kedua, grup ini
menyuguhkan lagu baru yang belum diberi judul. Sebuah permainan
yang amat gemuruh, drum sekaligus menjadi latar belakang dan
primadona. Ketika keempat instrumen berhenti, Jackson seperti
kesurupan menggarap drumnya. Ketika suara drum memuncak dengan
repetisi pukulan drum yang monoton tapi sangat cepat, tiba-tiba
musik berhenti. Sunyi. Dan tepuk tangan penonton yang memenuhi
sepertiga Teater Terbuka.