Dua belas patung perunggu setinggi 9 meter terpajang di depan Gedung A Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, sejak 1 September lalu. Bukan sembarang reca, patung-patung itu punya nilai sejarah. Sebab, benda-benda itu menukilkan perjuangan
Jenderal Besar Sudirman saat bergerilya menghadapi Agresi Militer II Belanda.
Rangkaian patung itu menggambarkan dengan jelas bagaimana Jenderal Sudirman ditandu oleh empat orang dan dikawal anggota pasukan dalam jumlah kecil. Sudirman kala itu menderita penyakit paru-paru hingga tak mampu berjalan dengan normal lagi. Meski memakai tandu dan berlindung di balik rimbunnya hutan, Sudirman masih mampu memimpin perlawanan hingga lahir Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.
Rangkaian patung kolosal itu merupakan bagian dari pameran tunggal pematung spesialis monumen, Yusman, bertajuk
Gerbang di
Galeri Nasional. Yusman mengatakan patung Jenderal Sudirman yang ditandu dalam perang gerilya sejatinya berada di Markas Besar TNI di Cilangkap, Jakarta Timur, dengan nama Monumen Perjuangan. Monumen tersebut dibuat Yusman sejak September 2012 dan diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Juli 2013.
Yusman mengatakan patung Jenderal Sudirman yang ia pamerkan di Galeri Nasional identik dengan patung yang ada di Mabes TNI. "Patung punya saya ini masternya. Karya patung itu boleh diproduksi ulang. Bahkan, menurut Asosiasi Pematung Indonesia, boleh (diproduksi ulang) sampai sembilan kali," kata seniman kelahiran Pasaman, Sumatera Barat, itu.
Selain patung Monumen Perjuangan, masih ada puluhan patung dan karya lain yang dipamerkan Yusman di Gedung B Galeri Nasional hingga 1 Oktober mendatang. Total ada 40 karya yang terdiri atas patung figuratif, maket monumen, relief, dan non-figuratif. Empat puluh karya itu ditampilkan dalam tiga kategori.
Pertama, kategori kumpulan monumen dan tokoh sejarah Indonesia, seperti peristiwa Trikora dan Dwikora serta Ahmad Yani dan Sultan Ageng Tirtayasa. Lalu kategori kedua khusus menampilkan patung tentang Sudirman. Sedangkan kategori ketiga berisi koleksi karya Yusman yang non-figuratif dan cenderung pada karya abstrak.
Pada babak pertama, Yusman sempat membahas tentang miniatur Monumen Trikora yang versi aslinya dibangun di Mabes TNI dan di Morotai, Maluku Utara. Adapun yang Yusman bawa hanyalah miniaturnya. Sekilas patung ini mirip dengan Tugu Peringatan Perang Korps Marinir Amerika Serikat di Virginia atau yang dikenal dengan Monumen Perang di Iwo Jima. Monumen itu digambarkan dengan sejumlah patung prajurit menancapkan dan mengibarkan bendera Amerika Serikat di kepulauan milik Jepang pada Perang Dunia II.
Pada
patung Monumen Trikora digambarkan lima prajurit Indonesia mendarat untuk pertama kalinya di tanah Papua dalam peristiwa Trikora. Lima patung itu merepresentasikan prajurit TNI Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Brimob atau Kepolisian RI, dan prajurit perempuan.
Pameran patung Maestro Yusman di Galeri Nasional, Jakarta, 16 September 2022. TEMPO/Magang/Aqsa Hamka
Menariknya, Yusman membantah Monumen Trikora terinspirasi oleh Monumen Perang di Iwo Jima milik marinir Amerika Serikat. "Jelas tidak. Kita punya sejarah sendiri, yakni pendaratan pertama kali di bumi Papua," kata dia.
Pada bagian kedua ruang pameran, Yusman menampilkan karya figuratif Panglima Sudirman. Salah satu yang menarik adalah patung Jenderal Sudirman digendong oleh ajudannya, Supardjo Rustam. Menurut Yusman, patung tersebut hanya berada di galerinya dan di Kota Pacitan.
Patung tersebut menggambarkan peristiwa perang gerilya ketika Jenderal Sudirman dan rombongan disergap pesawat musuh saat menyeberang sungai. Lantaran sakit, Sudirman tak bisa berjalan menyeberangi sungai sendiri. Walhasil, ia harus digendong oleh ajudannya.
Selain itu, masih banyak lagi miniatur karya Yusman tentang Sudirman yang dipamerkan. Selain karena permintaan pemerintah, Yusman memang sangat mengidolakan Jenderal Sudirman. "Beliau jenderal yang tidak mau berunding dengan Belanda," kata pria berusia 57 tahun itu.
Menurut Yusman, membuat patung figuratif Jenderal Sudirman hingga tokoh lainnya punya tingkat kesulitan tersendiri. Sebab, pematung dituntut bisa membuat karya semirip mungkin dengan tokohnya karena itu wajib hukumnya. Sebab, jika meleset, bahkan tak mirip dengan sang tokoh, hal itu justru bisa memberikan kesan buruk pada tokoh tersebut.
Beralih pada bagian ketiga pameran, Yusman mengeksplorasi kreativitas abstrak. Salah satunya patung perunggu berukuran 60 x 80 x 196 sentimeter berjudul Kekasih. Sekilas patung itu menggambarkan sepasang kekasih yang berpelukan. Namun pada salah satu karakter tampak bolong pada bagian dada sampai perutnya.
Pameran patung Maestro Yusman di Galeri Nasional, Jakarta, 16 September 2022. TEMPO/Magang/Aqsa Hamka
Menurut Yusman, itulah karya non-figuratif terbaik dan paling spesial. Sebab, patung tersebut menggambarkan perjalanan hidupnya, dari ditinggal kekasih di kampung halaman saat ia merantau menimba ilmu seni di tanah Jawa sampai pengorbanan lainnya. "Kenapa bolong (dadanya), karena saya ingin membuang semua racun dan kenangan. Jika sudah ikhlas, kita bisa mendapatkan yang lebih baik," kata dia.
Kurator
Suwarno Wisetrotomo mengatakan kumpulan karya non-figuratif menunjukkan sisi lain Yusman. Patung-patung abstrak merupakan bentuk ekspresi yang sesungguhnya dari seorang pematung spesialis monumen dan patung figuratif. "Karya figuratif istilahnya adalah patung pesanan orang. Di situ ia harus bernegosiasi hingga tidak seekspresif dirinya sendiri."
Suwarno pun berharap karya figuratif patung dan monumen bikinan Yusman bisa menjadi sarana belajar sejarah bagi
anak muda Indonesia. Sesuai dengan judul pameran,
Gerbang, Suwarno berharap karya Yusman yang tersaji di Galeri Nasional hingga tersebar dari Sabang sampai Merauke bisa menjadi sumber ilmu sejarah anak Indonesia.
INDRA WIJAYA