Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Jula-juli Kartolo

19 Desember 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fenomena itu bernama Kartolo. Penggemar lawakannya lintas kelas: dari tukang becak, kuli, buruh bangunan, tukang kayu, bakul, sopir truk atau mikrolet hingga dosen, pengusaha, dan mahasiswa.

Kartolo, 59 tahun, juga disukai lantaran kidungan jula-juli-nya. Suaranya cukup merdu, jula-juli-nya lucu. Seperti lawakannya, kidungannya berbicara tentang hal-hal sederhana, pengalaman rakyat sehari-hari. Kidungannya kaya paradoks dan sindiran, tapi tak bermuatan kritik. Sindirannya hanya mengajak orang tertawa dan menertawakan apa yang terjadi dalam hidupnya.

Darah dan jiwa dari lawakan serta kidungan Kartolo sepenuhnya ludruk. Ia memang seniman ludruk. Dan ludruk bukan hanya seni, melainkan bayang-bayang hidupnya yang menyertainya ke mana-mana. Dari ludruk ia kini hidup sejahtera.

Kartolo lahir di Watu Agung, Prigen, Pasuruan, Jawa Timur, pada 1946. Sulung dari empat bersaudara keluarga Aliman dan Payanah itu melewati masa kecil di desa kelahirannya, daerah pertanian di sekitar kawasan Taman Safari. Debutnya di dunia ludruk dimulai saat ia lulus dari sekolah rakyat (SR) pada 1958. Ia ikut dalam grup Margo Santoso, kelompok ludruk di desanya, sebagai penabuh gamelan. Dinilai sangat berbakat, ia ditarik menjadi pemain.

Cak Tolo—begitu ia akrab disapa—pernah bergabung dengan rombongan ludruk Panca Tunggal, Pandaan, Pasuruan; Dwikora, binaan Zipur V Malang; ludruk Gajah Mada binaan Marinir di Surabaya; ludruk Tansah Tresno dan Bintang Surabaya; ludruk Jombang Selatan; dan ludruk Radio Republik Indonesia (RRI) Surabaya. Di RRI ia jatuh cinta pada Kastini, yang kemudian menjadi istrinya.

Setelah puluhan tahun mengembara di panggung ludruk, pada awal 1980 Kartolo membentuk grup lawak Sawunggaling. Setahun kemudian, ia mulai rekaman di studio Nirwana Record, Surabaya. Kasetnya beredar di seluruh pelosok Jawa Timur. Namanya berkibar karena lawakan dan Jula-juli Guyonan-nya. Kasetnya yang paling awal adalah Peking Wasiat, Welut Ndas Ireng, dan Tumpeng Maut. Hingga kini, Kartolo telah menelurkan sekitar 95 volume kaset lakon guyonannya, juga order pentas. ”Dalam sebulan, kami bisa pentas 25 kali,” katanya, mengenang masa jayanya. Sekali pentas Kartolo dibayar sekitar Rp 6 juta.

Konsep pementasan Jula-juli Guyonan Kartolo dan kawan-kawan sederhana. Dibuka dengan kidungan yang dilantunkan Kartolo, cerita kemudian mengalir. Setiap pergantian adegan diiringi gamelan layaknya ludruk. Namun, alur cerita dikemas dalam bungkus humor segar gaya Jawa Timuran. Dari awal hingga akhir cerita penuh dengan guyonan. ”Meski sifatnya banyolan, kami tidak meninggalkan pakem ludruk,” ujar Kartolo yang kini saban pekan mengisi acara Ludruk Banyolan di stasiun televisi JTV Surabaya.

Ia cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Pentas di kampus, ia mempelajari dulu istilah-istilah dunia kemahasiswaan. Ia juga menyempatkan mempelajari beberapa kata bahasa Inggris. Main di kantor Bea dan Cukai, topiknya seputar penyelundupan. Untuk menggali materi lawakan, Kartolo tak segan-segan mendatangi instansi yang mengundangnya sebagai bekal pementasan. Kalau berbicara tentang cekcok suami-istri, kini ia menyinggung e-mail. ”Meski yang namanya e-mail kami belum pernah tahu, saat membawakan dalam lawakan seolah-olah sudah paham,” kata ayah dua anak itu seraya terkekeh.

Kartolo juga biasa mencatat semua detail yang telah dipentaskan atau seusai rekaman, mulai pakaian yang dikenakan, materi kidungan, hingga materi lawakan, untuk menghindari pengulangan materi lawakan yang sama bila sewaktu-waktu pentas lagi di tempat sama atau rekaman. Dengan proses itu terbukti lawakannya tetap eksis dan laris.

Sindhunata dalam bukunya, Ilmu Ngglethek Prabu Minohek, menulis, kehebatan Kartolo adalah bisa mengajak kita tertawa atau menertawakan diri dalam lawakannya. Humornya yang luar biasa membuat dan mengangkat hidup yang biasa, membosankan, rutin, dan tanpa harapan menjadi suatu pesta. Boleh dibilang, humornya membuat orang dapat menertawakan diri sendiri, lalu menghadapi hidup yang biasa-biasa saja dengan tertawa.

Nurdin Kalim, Kukuh S. Wibowo (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus