JUNI bagaikan bulan musik. Jakarta dikerubut berbagai
pertunjukan jazz dan klasik. Mungkin itu salah satu sebabnya
kenapa pertunjukan The Eastman Wind Ensemble dari Amerika
Serikat -- 13 dan 14 Juni di studio V RRI -- hanya disaksikan
sedikit penonton.
Rombongan ini adalah ensembel tiup pertama yang pernah diterima
Jakarta. Mereka terbang dari Rochester, New York, untuk
perlawatan 6 minggu ke Timur. "Kami sudah bersiap-siap latihan
dan mengumpulkan repertoar sejak September tahun lalu sampai
Mei kemarin," kata Dr. Donald Hunsberger yang menjadi dirigennya
kepada Eddy Herwanto dari TEMPO. Melihat berbagai alat tiup dan
perkusi yang mengisi peti-peti peralatan mereka, kita dapat
merasakan perlawatan memang telah dipersiapkan dengan serius.
Jazz
Keistimewaan terletak pada pilihan sajian -- yang mencakup juga
karya-karya kontemporer seperti West Side Stor karya Leonard
Bernstein yang diaransir Donald Hunsberger sendiri. Kelompok ini
didirikan tahun 1952, dan sampai sekarang memiliki kebanggaan
sebagai grup yang berkembang atas dasar musik Amerika yang khas.
Mereka menganggap itulah sumbangan terpenting mereka kepada
musik dunia.
Yang disuguhkan malam itu antara lain: Fanfare for The Common
Man (Aaron Copland), Suite in Eb (Gustav Holst), The Leaves are
Falling (Warren Benson), Verne (Verne Reynold), Adagio
(Rodrigo). Komponis Rayburn Wright, yang mengikuti rombongan
tersebut, sempat mengeluh dalam hal nomor Suite in Eb -- di
bagian ketiga yang menampilkan suara dram yang berdentam-dentam.
"Gedung ini serasa kecil untuk menampung bunyi yang diperlukan
pada bagian itu," ujarnya.
Ensembel ini didukung oleh 40 awak, dengan usia antara 20
sampai 32 tahun. Mereka muncul dari berbagai kota. Ensembel
sendiri adalah bagian dari Eastman College, yang mencakup 650
orang mahasiswa, yang didirikan oleh George Eastman tahun 1922
-- orang yang juga dikenal sebagai penemu film dan pemilik
pabrik Kodak.
Ketika ditanya, kenapa rombongan condong memilih musik mutakhir,
Donald Hunsberger menyatakan bahwa itu memang kesukaan mereka.
"Selain kami menyukainya, kami juga berusaha memperkenalkan.
Kalau kami mainkan musik romantik atau musik barok saja nah
siapa yang akan kenal musik garda depan? Dengan kata lain, itu
membantu komponis-komponis itu sendiri memperkenalkan karyanya.
Kalau kita tunda lagi, nanti namanya bukan musik garda depan
lagi dong!"
Bicara soal musik kontemporer, mereka tidak heran mendengar
betapa banyak kesulitan yang dihadapi pemusik kalau ingin
kontemporer di Indonesia. Mereka serta-merta menjelaskan bahwa
di Amerika sendiri keadaannya setali tiga uang. "Di Amerika pun
banyak yang tak suka jenis musik garda depan," kata Rayburn
Wright. Diperkirakan ini akibat adanya ikatan batin yang kuat
dari masyarakat dengan musik-musik sebelumnya. Ia sendiri,
karena memang suka pada jazz, tak ragu-ragu memasukkan unsur
jazz dalam garapan -- seperti misalnya terdengar dalam
Verberations.
Malam penampilan itu diakhiri dengan The Florentineer karya
Julisus Fucik yang kaya dengan melodi. Pria dan wanita itu
menjalin suara alat tiup dan perkusi dengan kompak sambil
menggoyang-goyang pinggul. "Saya sejak tadi menanti bagian
terakhir itu, kalau-kalau ada yang ikut berjoget," kata peniup
flut Melissa Shuller. Tentu saja tidak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini