Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FILM pendek hitam-putih berjudul Bermula dari A itu demikian menyentuh. Tengok pembukaannya. Seorang gadis tunanetra mengajari pemuda tunawicara bernama Akbar berbicara. Dia memulai dengan ucapan lafal huruf ”a”. Cukup sederhana, tapi ternyata tidak mudah bagi Akbar. Berkali-kali gadis itu harus menunjukkan bentuk mulut dan tenggorokan untuk bisa membunyikan aksara ”a” secara sempurna.
Itulah film pendek karya B.W. Purba Negara, pembuat film muda dari Yogyakarta yang meraih Ladrang Award dalam Festival Film Solo pada awal Mei lalu. Festival film pertama yang berlangsung di Gedung Kesenian Solo itu mempertandingkan sembilan film fiksi pendek dalam dua kategori: Ladrang Award untuk peserta umum nasional dan Gayaman Award untuk karya pelajar di Jawa Tengah.
Kategori pertama diikuti film Territorial Pissing (Jakarta), Perjalanan untuk Kembali (Jakarta), Wrong Day (Palu), Say Hello to Yellow (Yogyakarta), dan Bermula dari A (Yogyakarta). Adapun kategori kedua diikuti film Endhog (Purbalingga), Kalung Sepatu (Purbalingga), Kirab (Pati), dan Pigura (Purbalingga).
Adegan-adegan Bermula dari A cukup kuat. Ada adegan saat gadis tunanetra dan pemuda tunawicara itu bersembahyang bersama. Sang gadis menjadi imam bagi makmum laki-laki. ”Lekaslah mencari suami agar ada yang menjadi imam bagimu,” kata Sang Ibu.
Purba Negara dinilai cukup cerdas menggunakan berbagai simbol dalam cerita. ”Semua properti yang digunakan memiliki makna,” kata Joko Anwar, pembuat film yang menjadi juri festival ini bersama Seno Gumira Ajidarma dan Swastika Nohara. Meski sama-sama memiliki kekurangan, dua tokoh cerita itu bisa saling melengkapi. Sang gadis mampu menjadi penerjemah bagi bahasa Akbar yang tak dimengerti orang lain. Adapun Akbar mampu menjadi pelindung gadis itu dalam perjalanan. ”Daya hidup kaum difabel sangat luar biasa,” kata Purba.
Film pendek pemenang Gayaman Award juga tak kalah menarik, meskipun film berjudul Pigura itu digarap oleh siswa sekolah menengah pertama. Film pendek berdurasi 24 menit itu menceritakan kehidupan pelajar yang bernama Gati. Siswa berotak cemerlang itu hidup bersama ibu dan adiknya, Bagas. Ayahnya pergi merantau dan tak pulang selama beberapa tahun. Kerinduan terhadap sang ayah memotivasi Gati untuk giat belajar.
Suatu hari, Gati mendapat nilai ulangan sempurna dalam ulangan sekolah. Nilai yang tidak pernah didapat oleh siswa sekelasnya itu membuat guru serta temannya bangga. Teman sekelas serta gurunya pun mengusulkan agar hasil ulangan itu dipigura, dan dipasang di dinding kelas.
Gati pun pulang ke rumah dan menunjukkan hasil ulangan itu kepada ibunya. Sang ibu memberikan kardus bekas untuk dibuat pigura. Dari kardus bekas itu, Gati berhasil membuat sebuah pigura yang cukup rapi. Tanpa dinyana, hasil ulangan itu justru diambil adiknya, dan dibuat sebagai ekor layang-layang. Hasil ulangan itu lenyap bersama putusnya layang-layang. Dengan hati remuk redam, Gati pun mencari adiknya untuk memarahinya.
Saat ditemui, Bagas sedang asyik menggambar dua orang dewasa yang disebutnya ayah dan ibu serta dua anak yang disebutnya sebagai Gati dan Bagas. Ternyata, adiknya juga memendam kerinduan mendalam terhadap ayahnya. Rasa marah itu pun lenyap. Gambar itu dipasang di pigura yang dibuatnya.
Film buatan Darti dan Yasin Hidayat itu menggunakan bahasa Jawa dialek Banyumas. Meski berdurasi pendek, film itu berhasil menciptakan alur secara mengalir serta memberikan beberapa kejutan kepada penonton, termasuk di akhir cerita. ”Bukan hanya sekali film itu mendapatkan penghargaan,” kata Bayu Bergas, pendiri Kantor Berita Online Komunitas Film Indonesia, yang menjadi kurator festival ini bersama sineas Joko Narimo dan Ayu Mitha Rahadila. Tahun lalu film itu pernah mendapat piala khusus dalam Festival Film Indonesia 2010.
Ahmad Rafiq
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo