Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PESAN pendek berseliweran di antara telepon seluler Jujur Prananto, Nur Hidayat, Seno Gumira Ajidarma, Marselli Sumarno, Anto Hoed, Rima Melati, dan Salim Said pada Kamis pekan lalu. Mereka adalah dewan juri yang baru saja dipecat oleh Komite Festival Film Indonesia 2010 sebagai buntut dari kekisruhan di ajang penghargaan tertinggi perfilman Indonesia. Setelah bertukar pesan, mereka sepakat mengumumkan pemenang festival versi mereka secara bersama. ”Biar satu suara dan satu pintu,” kata Jujur.
Dan akhirnya, dalam konferensi pers di Gedung Film pada Jumat malam pekan lalu, mereka menyatakan bahwa Sang Pencerah karya sutradara Hanung Bramantyo terpilih sebagai film terbaik. Film tentang tokoh Muhammadiyah, Ahmad Dahlan, itu juga memborong delapan kemenangan lain, termasuk untuk sutradara, skenario, sinematografi, penyuntingan, pemeran utama pria, dan pemeran pendukung pria terbaik. ”Kami mengumumkan keputusan yang semula rahasia ini sebagai bentuk tanggung jawab kepada masyarakat, karena merekalah juri sesungguhnya,” kata mantan sekretaris juri Nur Hidayat.
Alangkah Lucunya Negeri Ini karya Deddy Mizwar, yang mengumpulkan nominasi terbanyak dalam daftar unggulan pemenang festival versi dewan juri baru FFI, tak mendapat satu kemenangan pun. ”Menurut kami, kemampuan film itu hanya sebatas itu,” kata Jujur.
Pengumuman ini seakan menjadi penilaian tandingan atas daftar nominasi dari dewan juri baru bentukan Komite Festival. Dalam pengumuman di acara Dahsyat di stasiun RCTI itu, Sang Pencerah sama sekali tak disebut karena tak masuk daftar unggulan. Mereka malah mengunggulkan Alangkah Lucunya Negeri Ini karya Deddy Mizwar dan 3 Hati, Dua Dunia, Satu Cinta karya Benni Setiawan. Dua film itu menduduki nominasi terbanyak dengan mengumpulkan 11 dari 12 kategori yang dipertandingkan. Pengumuman resmi pemenang akan dibacakan pada Senin pekan ini.
Kisruh di tubuh festival ini bermula dari pengumuman Komite Seleksi Festival tentang delapan film panjang yang jadi unggulan, yakni 3 Hati, Dua Dunia, Satu Cinta; Alangkah Lucunya Negeri Ini; Minggu Pagi di Victoria Park; Hari untuk Amanda; 7 Hati, 7 Cinta, 7 Wanita; Cinta 2 Hati, Dilema…; I Know What You Did on Facebook; dan Heart-Break.com. Komite yang diketuai Viva Westi itu menyatakan bahwa Sang Pencerah tak masuk karena tak memenuhi kriteria sebagai film yang utuh, hanya menggambarkan peristiwa penting sang tokoh, dan belum menghadirkan tafsir yang lebih terbuka mengenai kompleksitas karakternya. Namun buku pedoman festival mewajibkan sedikitnya 10 film jadi unggulan, sehingga komite itu belakangan menambahkan dua film lagi, Red Cobex dan Sehidup (Tak) Semati.
Namun dewan juri menganggap tak perlu hanya menilai film pilihan Komite. Mereka justru menambahkan Sang Pencerah ke daftar film unggulan. Komite Seleksi memprotes karena menganggap juri seharusnya hanya menilai 10 film yang sudah dipilih. Perbedaan pendapat ini membuat rencana mengumumkan daftar nominasi di Batam pada 27 Oktober ditunda.
Dalam sebuah pertemuan dengan dewan juri pada Rabu malam pekan lalu, Komite Festival mencoba membujuk dewan agar mengubah keputusan memasukkan Sang Pencerah, tapi dewan bertahan. Menemui jalan buntu, Komite Festival lantas memecat dewan juri dan mengangkat dewan juri baru dengan memasukkan para anggota Komite Seleksi dan dua wajah baru, Alex Komang dan Areng Widodo. Formasi baru itu diketuai oleh Dedi Setiadi dan Totot Indarto sebagai sekretaris. ”Keputusan tertinggi ada di tangan Komite Festival,” kata Deddy Mizwar, Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional sekaligus Ketua Koordinator Pengarah Komite Festival.
Ketua Komite Festival Niniek L. Karim mengucapkan selamat kepada bekas dewan juri yang mengumumkan hasil penilaian mereka. Sekaligus dia juga mengumumkan pengunduran dirinya sebagai ketua. ”Saya merasa gagal memenuhi harapan yang telah dipercayakan kepada saya untuk membenahi Festival dan menjadikannya rumah yang hangat untuk orang-orang film,” katanya.
Kekisruhan ini jelas mencoreng nama baik Festival, tapi Jujur justru menganggap hal ini sebagai sebuah kebetulan yang baik. ”Jika tidak ada kasus ini, FFI tidak akan membenahi kebobrokannya,” ujarnya.
Aguslia Hidayah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo