Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Serambi Jenis: dokumenter-fiksi Sutradara: Garin Nugroho, Tonny Trimarsanto, Viva Westi, dan Lianto Luseno Produser: Christine Hakim
Namanya Maisarah Utari. Usianya baru 10 tahun, dan kini, bersama beberapa anak sebaya, ia membahas topik luar biasa: Tuhan dan tsunami. Salah seorang anak terdengar menyebut Allah tidak adil. Lalu anak lain menyahut bahwa ia telah berdosa. Tapi Tari—panggilan pendek Maisarah Utari—berusaha menjelaskan bagaimana air besar itu datang, menggilas habis rumah dan seluruh anggota keluarganya, dan menyimpulkan: ”Allah itu adil.”
Tari sudah lama mengaji dan hidup dalam nilai-nilai Islam. Sekarang ia ”ditantang” menghadapi suratan ini, juga menerima nasib sebagai yatim piatu yang tinggal di penampungan. Tari saksi mata ketika ombak raksasa menelan rumahnya, dan kamera merekam bagaimana ia dan teman-temannya mendatangi kembali bekas rumah mereka. Film dokumentasi berjudul Serambi itu menunjukkan: ia melihat puing-puing rumah di kampungnya, tapi tak tampak kesedihan di wajah hitam manisnya. Ia bernyanyi sambil bertepuk tangan bersama teman-temannya di sepanjang perjalanan ke bekas tempat tinggal mereka. Tapi, sebelum terlelap di malam hari, Tari tampak merenung dengan air mata tergenang.
Tari salah satu pemain Serambi karya sutradara Garin Nugroho, Tonny Trimarsanto, Viva Westi, dan Lianto Luseno. Ya, Serambi merekam kehidupan orang-orang biasa yang kehilangan sanak dan teman setelah tsunami.
Mereka wajah Aceh pasca-tsunami. Ada Tari, ada Usman Abdullah yang setelah tsunami bekerja sebagai tukang ojek. Ia selalu menolak makan makanan di warung. Usman, yang kehilangan istri dan anaknya, selalu membungkus makanan yang dibelinya dan membawanya ”pulang”. Ada ritual yang tak pernah ditinggalkan: ia menyantap makanan di bekas rumahnya yang sudah rata dengan tanah, ditemani benda-benda yang tersisa milik keluarganya, seperti bandul kalung, kartu identitas. Kepada temannya, Jailani, ia bilang tidak pernah makan di luar rumah. Untuk itulah Usman ingin tetap melindungi kenangannya bersama keluarga—satu-satunya yang masih ia miliki. Ia membangun kembali rumahnya, meski tanpa bantuan siapa pun, termasuk lembaga donor.
Sedangkan Jailani adalah penari saudati yang kehilangan seluruh anggota kelompok tari, juga keluarganya. Keadaan mengukuhkan persahabatannya dengan Usman. Jailani, yang menganggap Usman terlalu jatuh dalam kesedihan, mengajarinya tari saudati. Usman sempat marah kepada Jailani karena memaksanya terus belajar tari saudati agar tidak selalu ingat keluarganya. ”Saya mendingan membangun kembali rumah saya ketimbang belajar saudati,” Usman menyergah. Ya, karena di rumah itulah Usman pernah punya kehidupan, dan dengan dibangunnya kembali rumah itu, Usman bisa bertahan dan melanjutkan hidup.
Lalu ada Reza Indria, seorang mahasiswa awal 20-an tahun, pengagum berat Che Guevara—semua baju kausnya bergambar Che. Reza kehilangan pacarnya. Reza keturunan para pejuang Aceh dan gelisah mencari hakikat bencana tsunami. Ia sering pergi ke tempat-tempat yang pernah digerus gelombang, ke tempat-tempat penampungan anak, mengobrol dengan Usman dan Jailani. Ia juga berdiskusi serius dengan Azahari, temannya yang juga penyair. Reza berkata-kata bak seorang filsuf dan pejuang. ”Saya ingin tahu, apa yang harus kita lawan sekarang.” Ia mengaku berjiwa pemberontak, tapi sekarang: ”Saya tak tahu peran agama di negeri yang katanya syariah ini. Di sini agama hanya untuk mengobarkan perang.”
Ada Tari yang polos, Usman dan Jailani yang lugu, dan Reza yang gelisah dan selalu ingin melawan. Banyak percakapan dalam bahasa Aceh yang, meskipun tidak diterjemahkan, kita tetap bisa menangkap pesan-pesan simbolis di dalamnya. Mereka semua punya kenangan sedih atas tsunami—yang digambarkan tanpa cucuran air mata—tapi sekaligus sebagai orang-orang yang melanjutkan hidup. Produser film ini, Christine Hakim, sosok yang selalu akrab dengan Aceh. Satu yang pantas dicatat dari film ini: semuanya digambarkan dengan sangat manusiawi.
Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo