Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Masyarakat Bugis memandang tinggi bissu, rohaniwan tak bergender.
Kini, keberadaan bissu terdesak kebangkitan kesadaran beragama.
Kepada Tempo, bissu asal Kabupaten Pangkep yang baru naik haji menceritakan pahit getir hidupnya.
MENGENAKAN baju gamis putih berlengan pendek dan celana hitam, Kahar Eka Haeruddin menunaikan salat Jumat di Masjid Al-Ikhlas di Maros, Sulawesi Selatan, pada Jumat, 11 Agustus lalu. Siang itu, Eka sejenak menanggalkan statusnya sebagai bissu dan kembali menjadi laki-laki.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepercayaan tradisional Bugis, suku mayoritas di Sulawesi Selatan, mengenal empat jenis kelamin. Dari laki-laki, perempuan, perempuan seperti laki-laki (calalai), dan laki-laki seperti perempuan (calabai). Dianggap sebagai gender kelima, bissu dipandang sebagai kombinasi dari semua gender tersebut sekaligus dijadikan pandita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka punya kedudukan terhormat sejak zaman kerajaan Sulawesi Selatan pra-Islam. Kisah bissu disebut dalam I La Galigo, karya sastra legendaris yang berisi penciptaan peradaban Bugis. Sureq Galigo merupakan epos terpanjang yang menjadi warisan UNESCO.
Bissu berperan sentral dalam pelantikan raja, pernikahan, dan kelahiran keluarga bangsawan, juga penyucian benda pusaka. Mereka melantunkan mantra-mantra dalam bahasa Torilangi, bahasa Galigo yang konon membuat tubuh mereka kebal senjata. Bahasa Torilangi menjadi sumber bahasa Bugis, Toraja, Makassar, Mandar, dan Gorontalo.
Bissu Eka seusai salat Jumat di Masjid Al-Ikhlas, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, 11 Agustus 2023. TEMPO/Shinta Maharani
Siang itu, Bissu Eka ditemani seorang lelaki yang menjadi To Boto atau asistennya. Selepas salat, mereka mengendarai mobil pikap menempuh perjalanan 53 kilometer ke Makassar, melewati pecahan karst bergerigi yang menjulang ke langit. Sawah berjerami kering dan rimbun hutan mengelilingi bebatuan. Di sekitarnya, terdapat gua yang pernah ditinggali manusia pra-sejarah berusia ribuan tahun.
Di sepanjang jalan, Eka menuturkan pengalamannya menunaikan ibadah haji. Pada 8 Juni lalu, Eka berangkat menuju Tanah Suci dari kloter 22 debarkasi Makassar. “Berhaji karena saya ingin tahu lebih dalam ajaran Islam,” ujar Bissu Eka. Sejatinya, dia berangkat pada 2000, tapi keberangkatannya diundurkan akibat pandemi Covid-19.
Eka, 46 tahun, merupakan warga Desa Segeri, Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep. Orang mengenalnya sebagai pemimpin komunitas bissu yang ditahbiskan pada 2000. Mimpi Eka melihat langsung Ka'bah muncul sejak 13 tahun lalu. Dia menabung secuil demi secuil dari hasil bekerja sebagai perias pengantin dan pendekorasi acara perkawinan.
Sejak SMP, Eka gemar mendandani orang dan mengatur dekorasi. Dari hobi itu, dia bisa membayar sendiri uang sekolah, yang sebesar Rp 180 ribu, karena keluarganya tak mampu. Di masa SMA, Eka membuka salon dengan memanfaatkan lapak bekas toko kelontong milik temannya di Segeri. Modalnya waktu itu cuma cermin, gunting, sisir, dan uang Rp 100 ribu.
Baca: Menyapa Bissu Segeri
Selepas sekolah, Eka menjadi asisten perias dan berkeliling ke sejumlah daerah, seperti Surabaya, Jakarta, Balikpapan, dan Samarinda. Dia minggat dari rumah karena ayah dan kakaknya menolak jati dirinya sebagai calabai atau waria.
Ayahnya aktif dalam organisasi keagamaan dan kakaknya sekolah di pondok pesantren. Nama Kahar adalah pemberian ayahandanya. Nama itu diambil dari Kahar Muzakar, tokoh Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi Selatan. “Ayah suka karena terdengar jantan,” ujar Eka.
Keduanya sering memukul dan menendang Eka karena ia berpenampilan seperti perempuan dan bersikap lemah lembut. Bagi mereka, Eka adalah aib keluarga. Hingga akhir hayatnya, ayah Eka tak menerima jati diri Eka. Hanya ibundanya yang menerima Eka sebagai calabai.
Sembari terisak, Eka menyebutkan dia harus beradaptasi dan bekerja keras supaya orang di kampungnya menerima dia. Eka banyak membantu orang di tetangga kanan-kiri yang kesusahan setelah usaha rias pengantinnya berkembang pesat.
Menjadi bissu memang bukan semata-mata urusan sakral. Eka perlu menjadi orang bijak dalam kehidupan sosial, menjadi penengah ketika terjadi perbedaan pendapat, dan bisa menerawang kehidupan. Bissu juga wajib menjauhi kehidupan duniawi, memperbanyak ibadah, dan melatih ketenangan jiwa.
Karena peran sosial itu, Eka mendapat penyambutan yang hangat dan meriah dari warga Desa Segeri sepulang dari Tanah Suci. Sejumlah ulama, termasuk perwakilan Majelis Ulama Indonesia, akademikus, dan tokoh masyarakat datang ke rumahnya. Papan ucapan selamat beserta rangkaian bunga berjejer di depan rumahnya.
Bissu Uci (kanan) di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Agustus 2023. TEMPO/Shinta Maharani
Bissu Uci asal Kabupaten Sinjai punya cerita lain. Frans Yusuf—namanya sesuai dengan KTP—menjalani umrah pada 2015. Dia mengisahkan bagaimana takutnya ia saat dikuntit sekelompok orang di Tanah Suci karena cara berjalannya seperti perempuan. “Mau tidak mau, saya harus berjalan seperti laki-laki,” kata dia saat ditemui Tempo di Makassar. Tetap menjadi bissu, hingga kini dia adalah muazin reguler di masjid di kampung halamannya.
Selepas umrah, Yusuf alias Uci mengajar di sejumlah pesantren di pegunungan. Dia juga mengajarkan tari tradisional di sekolah-sekolah desa. Seperti Eka, Bissu Uci juga gemar merias. Anak kepala desa di Sinjai itu pernah bermukim di Kalimantan selama sepuluh tahun dan bekerja sebagai perias.
Bissu Diburu, Bukan Digugu
Halilintar Latief, peneliti bissu yang juga dosen di Universitas Negeri Makassar, mengatakan masyarakat Bugis memandang tinggi ibadah haji. Sejak dulu, banyak bissu menunaikan ibadah haji. “Menandakan bissu telah beradaptasi dengan Islam sejak ratusan tahun lalu,” ujar dia.
Namun ada masanya bissu diburu, seperti di era DI/TII di Sulawesi Selatan pada 1948. Melalui Operasi Toba atau Taubat, bissu menjadi sasaran gerakan pemberontak karena dianggap bertentangan dengan Islam, menyembah berhala, dan anggota Partai Komunis Indonesia. Mereka dipaksa menjadi laki-laki atau dipancung.
Selepas masa pergerakan, keberadaan bissu terdesak kesadaran beragama. Pada 1970-an, kata Halilintar, ada bissu yang menanggalkan statusnya sepulang haji. Dia lalu menikah dan punya anak. Saat dia tidur bersama keluarga, seseorang menikamnya. Pembunuhan itu menyebarkan kabar bahwa bissu kehilangan kesaktian setelah menanggalkan statusnya.
Bissu lain yang berhaji adalah nenek dari bissu paling terkenal di Segeri, Puang Matoa Bissu Saidi. Nenek dari Bissu Saidi meninggalkan kampung halamannya setelah berhaji pada 1980-an. Dia tidak mau lagi mengurus arajang atau benda-benda sakral peninggalan kerajaan. “Arajang jadi hancur seiring dengan menguatnya serangan terhadap bissu,” kata Halilintar.
Dia mengatakan jumlah bissu semakin sedikit serta terancam punah karena konservatisme agama dan kebijakan politik. Peran bissu dalam ritual terus tergerus. “Orientasi pemerintah pada pariwisata dan bersifat duniawi, bukan esensi peran bissu yang sakral,” ujar Halilintar.
Peneliti Bissu dan dosen Universitas Negeri Makassar, Halilintar Latief di Makassar, 12 Agustus 2023. TEMPO/Shinta Maharani
Di Pangkep, misalnya, hanya tersisa tujuh bissu. Komunitas bissu juga tersebar di Kabupaten Bone, Sopeng, dan Wajo dengan situasi yang sama-sama terdesak. Padahal, dulu, setiap ritual melibatkan 40 bissu.
Wakil Sekretaris MUI Kabupaten Pangkep, Samuin Husain, mengatakan peran sebagai bissu tidak menghalangi seseorang menjalankan perintah agama, termasuk naik haji seperti Eka. Menurut dia, Bissu Eka tak perlu menanggalkan status dan perannya setelah berhaji.
Samuin, yang ikut menyambut Eka saat pulang dari Tanah Suci, mengatakan ada kemiripan ajaran Islam dan ritual bissu sehingga tak perlu dipertentangkan. Contohnya adalah doa ketika mulai menanam padi. “Sama-sama memohon kepada Allah agar diberi kelancaran hingga panen,” kata dia.
Menyandang status baru sebagai haji, Eka menyatakan tidak mengubah jati dirinya sebagai calabai dan tetap menjadi bissu. Bagi Eka, nilai-nilai spiritualitas dalam Islam juga diterapkan dalam kepercayaan Bugis kuno pra-Islam. Bissu pada masa itu melihat masa lalu, masa sekarang, dan masa depan.
Mereka memprediksi suatu hari akan ada suara dan bunyi ketukan gendang yang mirip azan lima waktu. Ada juga 12 hal yang perlu dibersihkan saat wudu, yang juga dikenal dalam tradisi ritual bissu, yakni penggambaran 12 kue. Islam mengenal kalimat syahadat. Dalam tradisi bissu, mereka punya syair-syair dalam bahasa lontara yang menggambarkan Tuhan itu satu, dengan nabi dan rasul yang banyak jumlahnya.
SHINTA MAHARANI (PANGKEP, MAKASSAR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo