Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MATAHARI sudah lingsir ke ufuk barat ketika orang tua itu
merebahkan diri di gubuknya. Keris "Ki Dongkol", jimatnya,
terselit di pinggang. Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo, ketika
itu 57 tahun, "Imam Presiden Negara Islam Indonesia" itu merasa
amat lapar, sementara luka di sebelah kakinya akibat tembakan
semakin parah. Kencing manis yang sudah lama diidapnya juga
makin mendera tubuhnya yang mulai rapuh.
Hutan di sekitar perbukitan Rakutak di kawasan Cicalengka,
KabuDaten Bandung itu, mulai gelap tatkala Letda Suhanda dari
Batalyon 328 Kujang berhasil menyergap persembunyian "Panglima
Tertinggi Tentara Islam Indonesia" itu. Sore itu, 3 Juni 1962,
Kartosuwiryo pun menyerah setelah bertahan 13 tahun sebagai
pemberontak di hutan-hutan lebat Jawa Barat. Dengan tenan
ditandatanganinya seruan menyerah kepada seluruh anak buahnya,
lalu menyalami Letda Suhanda.
Sejak itu sekitar 200 pengawalnya yang bersenjata lengkap, kucar
kacir. Demikian pula Dewi Siti Kalsum, istrinya, tak diketahui
tempat persembunyiannya. Dewi, ketika itu 55 tahun, memang sudah
beberapa bulan terpisah dari induk pasukan yang mengawal
suaminya. "Serama di hutan itu saya hanya makan buah-buahan,
daun-daunan dan minum air sunai," tutur Dewi, kini 75 tahun,
pekan laru di rumahnya di Kampung Suffah, Desa Cisiu, Kecamatan
Malangbong, Garut.
Begitu mendengar suaminya menyerah, ia pun turun menuju Garut,
menyerahkan diri. Disusul pula tujuh anaknya. Setelah
diinterogasi beberapa hari di Bandung, Dewi pulan ke Cisitu.
Untunglah ia masih berhak atas tanah warisan yang cukup luas,
peninggalan orangtuanya, Kiai Ardiwisastera, salah seorang ulama
terkemuka dan tokoh PSII di Garut. Ia kembali bertani, menanam
padi dan jagung.
Sekarang ia tinggal sendirian di sebuah rumah kecil berdinding
papan di tepi jalan yang menghubungkan Malangbong - Wado -
Sumedang. Tapi ia tidak merasa kesepian, sebab semua anak dan 11
cucunya tinggal di desa itu. Bahkan Ika dan Danti, dua putrinya
yang sudah berke luarga, sering menjenguk.
Untuk "membunuh waktu", nenek tua itu membuat minuman dari air
jeruk dibungkus plastik kecil, dijual di beberapa warung di desa
itu. Dalam usianya yang sudah uzur sekarang ini, wanita tamatan
HIS met de Quran Muhammadiah Garut itu mengaku sangat gemar
membaca koran. Barangkali karena selama 13 tahun di hutan dulu
itu ia tak pernah membaca. Sering-sering koran-koran bekas pun
ia lalap habis.
Dewi tak mampu menjelaskan alasannya bersusah-payah mengikuti
suamina keluar-masuk hutan dulu. "Karena apa, ya, saya sendiri
tidak tahu. Kalau disebut karena cinta misalnya, Bapak itu
sebetulnya orangnya kan jelek," ujarnya dengan nada suara datar
tapi lancar.
Tapi sejak di zaman penjajahan dulu, sebagai istri orang
pergerakan, Dewi selalu berpindah-pindah mengikuti suaminya,
mondar-mandir antara Jakarta - Bandung - Yogyakarta, menumpang
di rumah kenalan atau tinggal di rumah kontrakan. Belum lagi
bila sang suami sebentar-sebentar berurusan dengan rumah
tahanan. "Kalau Bapak ditahan, saya pulang ke kampung. Juga
kalau saya mau melahirkan," tutur Dewi lagi.
Sesungguhnya Dewi melahirkan 12 a nak, tapi lima di antaranya
meningal Kecuali tiga anaknya yang paling kecil yang lahir di
tengah hutan, yaitu Ika Kartika, Komalasari dan Sardjono, anak
anaknya yang lain lahir di rumah. Mereka itu (sulung,
meninggal ketika masih bayi), Tjukup (tertembak dan meninggal di
hutan pada usia 16 tahun, 1951), Dodo Muhammad Darda, Rochmat
(meninggal pada usia 10 tahun karena sakit), Sholeh (meninggal
ketika masih bayi), Tahmid, Abdullah (meninggal ketika masih
bayi), Tjutju (lumpuh), Danti.
Karena itu ketika suaminya pada 1949 mulai memasuki hutan
(mula-mula karena rnenentang Perjanjian Renville), Dewi pun
dengan setia selalu menyertai. Kartosuwiryo, suaminya itu,
mula-mula dikenal sebagai orang pergerakan, penentang penjajah
Belanda, tapi belakangan juga melawan RI. Sebagai perempuan,
Dewi mula-mula takut juga hidup di dalam hutan dengan keadaan
yang menyeramkan. Apalagi ketika itu ia masih menggendong Danti
yang baru berusia 40 hari.
Ketika itu memang ia masih sempat memikirkan masa depan
anak-anaknya. Ia pun mengaku sering tercenung sedih. Tapi
suaminya, Kartosuwiryo yang memang dikauminya selalu menghibur:
"Kok sedih lmat sih?" Dan biasanya Dewi lantas bisa tenteram.
Dari hari ke hari, ia pun terbiasa tidur di rumput basah, di
akar kayu yang dingin, berjalan kaki berharihan dengan perut
kosong.
Ketika itu ratusan ribu pengikut Kartosuwiryo masuk hutan pula,
diikuti oleh istri dan anak-anak mereka. Maka sebagai istri sang
pemimpin, Dewi pun harus pula membina kehidupan masyarakat di
tengah hutan itu. Ia memberi semacam kursus PKK kepada
istri-istri pengikutnya, mulai dari lahit-menjahit pakaian
dengan tangan, sampai rnengajar anak-anak menulis dan membaca
huruf Latin dan mengaji Al Quran.
Kini, untuk mengongkosi hidupnya, Dewi bertani di tanah
peninggalan Kiai Ardiwisastera. Areal tanah seluruhnya 6 ha,
termasuk bekas lokasi Institut Suffah, pesantren yang didirikan
Kartosuwiryo di zaman penjajahan dulu. Di sanalah dulu Karto
wiryo juga melatih prajurit-prajuritnya memakai senjata api.
Tapi batu-batu bata bekas reruntuhan pesantren terkenal, yang
pada 1948 dihancurkan antara Belanda itu, kini juga dijual Dewi
sebagai bahan bangunan. "Sebenarnya meskipun hanya tinggal
batu belaka, memiliki kenang-kenangan yang sangat berarti bagi
saya.
Apa boleh buat, saya butuh uang untuk menyekolahkan Sardjono,"
katanya dengan amat tenang.
Sardjono, putra bungsunya itu, sekarang duduk di sebuah
perguruan tinggi di Bandung. Kakak-kakak Sardjono, setelah
menyerah pada 1962, hanya sempat mengikuti kursus-kursus. Sebab
selama di hutan mereka tentu saja tidak sempat mengikuti
pendidikan formal.
Beberapa tahun lalu memang masih ada tokoh-tokoh bekas DI/TII
anak buah suaminya yang berkunjung dan memberinya sekadar uang.
Tapi belakangan tidak lagi, terutama sejak 1977, ketika anaknya,
Dodo Muhammad Darda dan belakangan Tahmid, ditangkap lagi karena
mengikuti gerakan Adah Djaelani yang berusaha membangkitkan
kembali "Negara Islam Indonesia" yang pernah diproklamasikan
oleh Kartosuwiryo di Malangbong pada 7 Desember 1949. Adah
Djaelani kini sedang diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
karena aktivitas gerakannya itu.
"Mereka sudah tidak ada yang datang lagi ke mari. Lebaran pun
tidak bersilaturahmi," kata Dewi. "Barangkali mereka takut,"
tambahnya. Maklum, penangkapan-penangkapan terhadap bekas-bekas
DI/TII memang mulai gencar lagi. Meskipun enggan bicara soai
politik, Si nenek menilai kebangkitan kembali gerakan DI/TII di
tahun-tahun 70-an sebagai tidak sesuai dengan pesan "Imam"
Kartosuwiryo.
Sebelum menjalani eksekusi pada bulan September 1962 di sebuah
teluk di pantai Jakarta, Kartosuwiryo sempat mengucapkan sebuah
wasiat di hadapan istri dan anak-anaknya di sebuah rumah tahanan
militer di Jakarta. Menurut Dewi, ketika itu suaminya antara
lain berkata, "tidak akan ada lagi perjuangan seperti ini sampai
seribu tahun." Dewi menangis. Karto pun yang mencoba tegar,
akhirnya mengusap air matanya.
Menurut Dewi, sebagian besar bekas anak buah suaminya sudah
mendengar wasiat yang harus dipatuhi itu. Mengapa belakangan
muncul Jamaah Darul Islam yang dipimpin Adah Djaelani? "Di
sinilah sulitnya anak-anak itu. Mereka rupanya tidak minta
petunjuk Tuhan. Mereka tidak berpikir matang-matang. Mereka itu
semberono sekali, padahal Bapak sudah berpesan tidak ada lagi
perjuangan seperti itu," kata Dewi seperti mengeluh. Tapi
diakuinya ada sebagian bekas prajurit Kartosuwiryo yang mematuhi
wasiat tersebut.
Pendapat seperti itu keluar dari mulut seorang wanita yang sudah
berkeriput, dengan urat-urat yang menonjol di kaki dan tangannya
sebagai tanda penderitaan yang panjang. Warna putih sudah pula
menyergap segenap rambutnya. Meski begitu kulitnya masih tampak
kuning, dan bersih, melantunkan bekas-bekas kecantikannya.
Dan si nenek berusia tigaperempat abad ini masih berusaha
berjalan tegak, mengunyah nasi keras atau daging meskipun
jajaran gigi depannya sudah rampal. Orang tua ini memang tampak
segar, barangkali lantaran ra1in minum ramuan jamu dari dedaunan
dan akar-akaran. Sejak masih g adis, bahkan ketika hidupnya
morat-marit karena berkelana belasan tahun di hutan, ia tetap
minum jamu bikinannya sendiri dengan resep tertentu. "Rasanya
pahit sekali, tapi khasiatnya bagus," katanya. Ia mengaku
pikirannya pun masih jernih.
Dewi lahir dari keluarga yang berkecukupan. Dan rupanya ia
sangat dekat dan terkesan dengan sikap hidup ayahnya,
Ardiwisastera. Pada usia 8 tahun, ia pernah diajak ibunya, Raden
Rubu Aisyah, berjalan kaki belasan kilometer ke Tarogong
menengok ayahnya di rumah tahanan. Pengalaman ini agaknya sangat
membekas di hatinya.
Ketika itu, 1916, terjadi keributan di Cimareme, Garut. Beberapa
kiai memelopori pembangkangan terhadap kewajiban menjual padi
kepada pemerintah Hindia Belanda. Akhirnya Haji Sanusi dari
Cimareme, ditembak mati disusul penangkapan besar-besaran
terhadap para kiai, termasuk ayah Dewi -- berikut beberapa
santrinya.
Dua belas tahun kemudian, ketika Dewi, yang manis berusia 20
tahun, muncullah seorang pemuda dari kota di rumah Dewi. Ia
pintar bicara, penuh daya tarik. Ia memang sangat terkenal
karena Sekretaris pribadi "singa podium" H. Oemar Said
Tjokroaminoto. Tiada lain dialah Maridjan, ketika itu 23 tahun.
Bukan tanpa alasan kalau Maridjan mampir ke rumah Kiai
Ardiwisastera yang juga tokoh SI di Garut itu.
Ia memang sedang mengumpulkan sumbangan dari para warga SI
untuk membiayai keberangkatan Haji Agoes Salim, tokoh SI lainnya
yang juga sangat terkenal ketika itu, untuk ke Negeri Belanda
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tapi di rumah itu
Maridjan tidak hanya menerima sumbangan uang, melainkan juga
seorang istri. Maridjan-Dewi menikah tahun itu juga, 1929.
Bagi Maridjan, gadis yang dipanggilnya Wiwi ini ada "pertalian
darah" dengan sebagai sama-sama keturunan Aria Penangsang --
tokoh dari kawasan Jipang dalam sejarah Kerajaan Demak di abad
ke-15 yang terlibat dan terbunuh dalam perebutan kekuasaan
setelah pamor Demak merosot. "Semula saya bakal mantu Haji
Agoes Salim," cerita Maridjan pada Ateng Djaelani, tokoh DI
yang lain. Karena konon Salim kalah berdebat dengan Maridjan,
semuanya batal.
Maridjan, tokoh SI dan pemimpin redaksi surat kabar Fadjar Asia
itu sangat mengesankan mertuanya. Bisa maklum, sebab anak
kelahiran Cepu (Jawa Tengah) ini -- yang pernah 4 tahun di
Sekolah Tinggi Kedokteran NIS Surabaya -- menguasai soal-soal
kemasyarakatan. Ia banyak membaca buku-buku mengenai sosialisme
dan komunisme, mungkin diperoleh dari pamannya Mas Marco
Kartodikromo, jurnalis terkenal saat itu.
Sebaliknya sang menantu pun memanfaatkan pengaruh mertuanya
sampai sang menantu berhasil mendirikan pesantren yang
diberinya nama Institut Suffah -- selanjutnya sebagai basis
menentang penjajah dan kemudian basis pembentukan DI/TII
setelah proklamasi kemerdekaan. Ardiwisastera sendiri belakangan
mengikuti jejak menantunya bertualang di hutan dan meninggal
pertengahan 1950, sekitar Gunung Galunggung.
Yang sangat mengesankan dari kehidupan Dewi sekarang ialah
sikapnya yang begitu tenang, bahkan cenderung diam. Riwayat
hidupnya yang lebih banyak dilumuri duka derita itu
diceritakan nyaris tanpa emosi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo