Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di usianya ke-95, Surastri Karma Trimurti hanya berbaring di atas ranjang kayu berwarna cokelat. Hampir dua tahun ia menetap di kamar berukuran 2 x 3 meter persegi bercat putih di daerah Caman, Bekasi. Makan bubur dan minum dilayani seorang pembantu.
Surastri—ia lebih dikenal sebagai S.K. Trimurti—sangat lemah. Ia tidak mampu mengangkat kepalanya dari bantal, juga sulit membuka kedua matanya. Yang lebih menyedihkan, kedua tangannya diikat di sisi tempat tidur dalam posisi merenggang ke samping. ”Itu karena ibu suka menggaruk, dan bila menggaruk, kulitnya yang telah tipis bisa berdarah,” kata Heru Baskoro, putra keduanya.
S.K. Trimurti adalah kolumnis yang sangat dikenal hingga 1960-an. Namun, sejak 1991, di usia 79 tahun, ia tak sanggup lagi menulis. Kini, kumpulan tulisannya yang pernah dimuat di berbagai media massa sepanjang 1939–1991 telah dibukukan. Tak semua tulisannya bisa terlacak, tapi dari 30-an tulisan yang disajikan di buku ini kita sudah bisa membayangkan stamina dan kemampuan perempuan ini.
Ia mulai menulis di usia 21 tahun. Pada 1933, ia mengikuti kursus kader politik Partindo di Bandung. Oleh Soekarno ia diminta membantu Sanusi Pane untuk mendirikan sekolah dan menulis di Fikiran Ra’jat.
”Tri, tulislah karangan, nanti kami muat dalam majalah Fikiran Ra’jat.”
”Tak dapat, Mas, Aku belum pernah menulis dalam majalah atau koran.”
”Kau bisa.”
Ia bingung, sebab saat itu pun ia baru mengenal mesin ketik. Sebelum tiba di Bandung, tepatnya 1932, saat menjadi guru sekolah perempuan di Banyumas, untuk pertama kalinya ia menggunakan benda itu. Ia harus membuat undangan untuk anggota koperasi.
Di Fikiran Ra’jat, ia menulis riwayat penjajahan Belanda. Ketika Soekarno dipenjarakan dan Fikiran Ra’jat ditutup, ia diperingatkan polisi pemerintahan jajahan. ”...Nona masih anak-anak, lebih baik nona meneruskan sekolah saja, daripada dihasut Soekarno.”
Ia memutuskan untuk kembali ke kediaman orang tuanya di Klaten, Jawa Tengah. Di sana, ia menjadi pembantu tetap untuk surat kabar Berdjoang terbitan Surabaya. Sebagai anak keluarga praja dengan paman menjabat wedana polisi Belanda, kegiatan Trimurti tidak didukung keluarga. Pernah ia bertengkar dengan ayahnya karena sang ayah tak setuju ia mengunjungi seorang pemimpin Partindo yang baru keluar penjara Sukamiskin.
Itu membuatnya tak betah di rumah, lalu sering ”minggat” ke berbagai kota. Ia hijrah ke Solo pada 1935. Di sini ia mendirikan Bedug, majalah perjuangan berbahasa Jawa yang kemudian untuk memperluas pembacanya, diganti menjadi Terompet yang berbahasa Indonesia.
Di Yogya, ia memimpin majalah Marhaeni. Di sinilah ia mulai merasakan penjara setelah ketahuan menyebarkan pamflet untuk anggota Persatuan Marhaen Indoneisia. Ia dikurung sembilan bulan. Setelah bebas, ia pergi ke Semarang. Di sini ia bergabung dengan harian Sinar Selatan dan Suluh Kita.
Perempuan kelahiran Boyolali ini kembali menginap di hotel prodeo selama enam bulan setelah sebuah tulisannya muncul di Sinar Selatan. Tulisan anonim dan dianggap Belanda sangat membahayakan. Isinya menyerukan kepada rakyat Indonesia untuk tidak membela baik Belanda maupun Jepang. Mereka sama-sama penjajah. Rakyat, seru artikel itu, lebih baik memperkuat diri untuk mempersiapkan kemerdekaan. Di bawah artikel itu, ia membubuhkan nama Muhammad Ibnu Sajuti. Seorang lelaki yang kerap dipanggil Sajuti Melik yang kelak menjadi suaminya.
Pada masa penjajahan Jepang S.K. Trimurti sempat menjalani tahanan rumah selama setahun. Bolak-balik masuk penjara tak membuatnya kapok menulis. Pada 1947, ia menjadi Menteri Perburuhan. Saat itu ia menulis, bahwa pendapatannya sebagai kolumnis yang bisa mengumpulkan Rp 3.000 selama sebulan jauh lebih besar dari gaji mentri yang cuma Rp 750. Apalagi, akunya, ia termasuk penulis cepat ”Saya bisa membuat tulisan dalam sepuluh menit,” kata Trimurti waktu itu.
Kini wanita perkasa itu berbaring lemah. Tapi ingatannya terlihat selalu berdenyut aktif. Ia tiba-tiba sering melantunkan lagu berbahasa Belanda atau Jawa. Saksi mata saat Soekarno membacakan naskah proklamasi di Pegangsaan ini juga sering mengigau seolah-olah tengah berdialog dengan Soekarno. Seolah-olah pemimpin bangsa itu berada di depannya.
Faisal Assegaf
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo