Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
|
Namun, seperti yang diutarakan kalangan teoretisi strukturalis, hegemoni yang terlahir dari pengoperasian perangkat kenegaraan ternyata kurang efektif tanpa dibarengi dengan hegemoni yang tercipta melalui bahasa dan wacana: hegemoni dalam ranah simbolis. Pada titik ini, menarik untuk diamati bahwa Soeharto ternyata juga menyadari betapa besar pengaruh bahasa dan wacana bagi kelanggengan kekuasaannya.
Selama 32 tahun, Soeharto tidak henti-hentinya menggunakan wacana negara dan non-negara untuk meneguhkan status legitimasi kekuasaannya. Soeharto terus-menerus mengampanyekan kepada publik bahwa kepemimpinannya sah, konstitusional, dan menjadi suatu keniscayaan sejarah.
Buku ini memberi gambaran bagaimana Soeharto melakukan hal itu, khususnya dalam wacana resmi negara. Diangkat dari skripsi, buku ini menganalisis retorika Soeharto dalam pidato kenegaraan Presiden yang disampaikan di depan sidang paripurna DPR setiap 16 Agustus, dari 1990 hingga 1997.
Retorika itu menjelaskan mengapa kekuasaan Soeharto dapat bertahan sekian lama. Selain terus-menerus melakukan konsolidasi kekuasaan secara nyata, Soeharto melakukan konsolidasi kekuasaan pada ranah simbolis. Dengan bahasa yang menghibur dan menyesatkan, pidato-pidato Soeharto menggambarkan bahwa kekuasaan Orde Baru gemerlap dengan berbagai keberhasilan, kemajuan, harapan, dan optimisme. Dengan gambaran-gambaran itu, Soeharto berusaha mengelabui realitas empiris kekuasaannya.
Pidato Soeharto selalu menggambarkan, Indonesia adalah negara yang stabil dengan pertumbuhan dan fundamen ekonomi yang kuat. Simbol terpenting dalam legitimasi Soeharto adalah pembangunan ekonomi. Maka, ditampilkanlah data-data kuantitatif tentang pertumbuhan ekonomi, tentang berkurangnya angka pengangguran dan penduduk miskin. Soeharto juga menegaskan bahwa Orde Baru didirikan berdasarkan konstitusi dan tertib hukum. Dengan kata lain, Orde Baru dicitrakan sebagai orde yang sah dan konsitusional. Gambaran lain yang ditonjolkan Soeharto dalam pidato kenegaraannya adalah bahwa kunci keamanan nasional dan kelancaran pelaksanaan pembangunan adalah politik stabilitas yang diterapkan pemerintah.
Gambaran-gambaran di atas menimbulkan citra yang positif dan seolah memiliki legitimasi tentang rezim Orde Baru. Namun, citra ini hancur saat bangsa Indonesia dihadapkan pada krisis multidimensi pada tahun 1997. Soeharto ternyata tak berhasil menyelamatkan bangsa Indonesia dari kemunduran ekonomi. Kerusuhan-kerusuhan SARA yang merebak di berbagai daerah dan terungkapnya berbagai pelanggaran hak asasi manusia oleh Orde Baru juga menyadarkan rakyat bahwa gambaran-gambaran optimistis dalam pidato-pidato Soeharto hanyalah mitos belaka.
Pidato-pidato Soeharto bukanlah pidato yang istimewa. Pidato itu memiliki alur yang datar, ekspresi yang kurang kuat, dan tanpa aksentuasi yang mengejutkan. Soeharto bukanlah Sukarno, yang penuh daya pesona, seorang orator ulung yang meledak-ledak dan mampu menggetarkan emosi ribuan orang. Meskipun demikian, tetap saja bahasa yang digunakan Soeharto bukanlah bahasa yang netral, melainkan bahasa yang mengandung ambisi untuk menundukkan kesadaran kritis masyarakat, ambisi untuk melanggengkan relasi hegemonik antara negara dan masyarakat.
Hegemoni pidato Soeharto tidak hanya terjadi dalam ranah kesadaran masyarakat tentang realitas-realitas kekuasaan, tapi juga dalam menciptakan pola baku pidato pejabat Orde Baru. Dengan kata lain, pidato kenegaraan Soeharto menjadi acuan bagi pidato-pidato resmi pejabat pemerintah di semua tingkat, sehingga tak mengherankan jika pidato pejabat negara selama Orde Baru menunjukkan pola yang seragam. Dalam konteks inilah pidato kenegaraan Soeharto, menurut penulis, dapat membuka jendela untuk memahami retorika pejabat Orde Baru.
Lazimnya sebuah skripsi, buku ini bukan tanpa kelemahan. Buku ini tak menggambarkan ekspresi-ekspresi individual Soeharto karena keterbatasan penulis untuk menjangkau data-data pidato lisan Soeharto. Keterbatasan ini juga menyebabkan kurang terjembataninya kesenjangan antara substansi normatif pidato-pidato resmi Soeharto dan realitas empiris yang melingkupinya.
Kritik lain terhadap buku ini adalah judul yang terlalu ramai. Editornya menggunakan pilihan-pilihan kata yang sebenarnya tak perlu dan justru membuat judul buku terlalu melebar dan tidak membantu menjelaskan pokok persoalan.
Agus Sudibyo Analis ISAI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo