Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IDAMAN bagi seorang pelukis ialah kesempatan berpameran tunggal.
Dia ingin menguji kemampuannya, seberapa jauh bisa berkomunikasi
dengan orang lain --para penonton. Bahkan ada yang beranggapan
bahwa pameran lukisan tunggal menentukan nasibnya sebagai
pelukis. Kalau karya tidak komunikatif, dianggap gagal.
Pandangan ini mengundang pendapat lain -- misalnya yang
beranggapan bahwa karya seni pasti komunikatif. Tergantung soal
waktu dan tempat saja.
Persoalan tersebut tentu bisa dipertanyakan pula pada A.S.
Budiono, 45 tahun, yang sedang berpameran tunggal 20 Februari-2
Maret di Galeri Baru Taman Ismail Marzuki.
Ia menampilkan 47 karya cat minyak dengan judul yang sama, yaitu
Irama. Kenapa sama? Apakah problem yang diungkapkan sama semua?
Atau ada hal-hal lain?
Bagi Budiono sendiri ternyata judul lukisan tidak penting. judul
hanyalah untuk memenuhi kebutuhan pameran karena sudah umum
dikerjakan orang.
Sementara itu banyak pelukis mengalami kesulitan memberi judul.
Katanya, apa pun judul yang diberikan selalu tidak tepat dengan
apa yang diungkapkan lukisan itu sendiri. Kalau pelukis memberi
judul Kuda karena memang dia melukis kuda, tidaklah akan
tercakup kekudaan yang diungkapkan dalam lukisan itu. Barangkali
judul memang tidak perlu diberikan, karena tidak punya arti
apa-apa.
Karya A.S. Budiono yang dipamerkan ini non-figuratif. Ia memang
sudah melukis begitu sejak awal tahun 60-an. Yang bisa ditangkap
secara visual: irama warna, bidang dan garis saja. Irama
komposisi yang vertikal dan horisontal menguasai ruang pameran.
Beberapa lukisan berkomposisi diagonal.
Konsekuensi Hidup
Irama tersebut memang terasa jelas -- mungkin karena kurangnya
variasi komposisi. Kekurangan ini tentu ada yang menganggapnya
sebagai kelemahan. Dan anggapan itu pastilah datang dari mereka
yang tidak suka memperhatikan kebutuhan senimannya sendiri.
Memang ada yang berpendirian, bahwa menilai lukisan tidak perlu
mengaitkannya dengan orangnya. Bagi mereka, bentuk yang
tampaklah yang menentukan isi atau ungkapan perasaannya.
Pandangan seperti itu tentulah ada konsekuensinya. Misalnya,
pengulangan bentuk dalam beberapa lukisan pastilah menghasilkan
pengulangan isi atau ungkapan perasaan. Contohnya pengulangan
irama dalam karya A.S. Budiono dalam lukisan nomor 30 dan nomor
34 yang berirama vertikal. Pastilah kedua lukisan itu dianggap
mengandung pengulangan isi dan ungkapan perasaan. Padahal kalau
mau berusaha lebih lama merasakan lukisan itu, akan terasa
perbedaan yang besar.
Menurut pendapat saya, karya Budiono yang dipamerkan ini
memiliki daya kedalaman perasaan. Untuk bisa sampai pada
kedalaman ini dibutuhkan kontemplasi di saat berhadapan dengan
lukisannya. Sebab kalau tidak, yang didapat hanyalah yang visual
saja. Padahal hal visual dalam karya Budiono sudah bukan soal
penting lagi.
Jadi, pemilihan judul Irama untuk seluruh lukisannya yang
dipetiknya dari hal visual itu karena konsekuensi hidup bersama
dengan orang lain saja.
Lukisan A.S. Budiono sendiri, bagi saya, adalah ungkapan
perasaan yang gelisah (konflik). Kegelisahan ini tercetus dalam
ketegangan kontras warna oker kekuning-kuningan dengan hitam,
biru -- merah diselingi warna terang lainnya. Tapi harap
dicatat, warna-warna ini digunakan bukan sengaja untuk
memperoleh rasa gelisah. Justru warnawarna itu lahir dari
kegelisahan. Sementara jiwanya gelisah, intuisinya jadi peka
sekali.
Hal ini sangat terasa pada rasa gerak sapuan kuasnya. Atau
ketepatan dalam meletakkan warna pada posisinya. Singkat kata,
karya A.S. Budiono betul-betul mempunyai kekuatan intuisi
seperti lahirnya kesenian Bali atau kesenian tradisional lain.
Nashar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo