Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
DI tengah gempuran wacana kajian budaya tentang runtuhnya batas-batas negara pada era global semacam sekarang ini, presentasi Paviliun Indonesia pada pergelaran Art Stage Singapura 2013 justru menunjukkan kecenderungan memandang Indonesia dalam kacamata yang romantis, nostalgis, dan statis. Penggunaan kata "paviliun" tidak hanya menegaskan referensi sejarah yang nyaris basi. Pemilihan seniman dan karya-karyanya juga berpotensi memberikan pemahaman yang kurang terarah mengenai seni kontemporer di Indonesia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo