Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kopi, 16:23, dan Kupu-kupu; Tiga Cerita untuk Memy
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fransiska Eka
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kopi
Mem, malam sebelum kau dilarikan ke rumah sakit, aku bermimpi. Mimpi buruk. Seseorang—tak kuketahui apakah ia lelaki atau perempuan—menyuruhku menggenggam tiga butir telur ayam kampung. Kau tahu, aku anak yang suka bertanya, keras kepala, dan pemarah, bahkan dalam mimpi sekalipun. Sssttt, dalam mimpi, aku justru bisa menjadi lebih bebas. Lebih diriku dari diriku yang mungkin kau tahu, meski kau sering mengomel saya lebih tahu lekuk-lekuk di tubuh kau daripada dirimu sendiri, karena tubuh kau itu berasal dari tubuh saya, dan jantung kau itu adalah jantung saya yang membagi detaknya. Kau ingat monster-monster yang kuperangi saat siesta? Tak seekor pun mati tanpa nama, meski aku tak memberi tahu nama-nama mereka. Kututurkan untukmu bentuk dan warnanya saja. Ada seekor burung unta, cokelat gersang seperti tanah sabana. Ia tak bersuara—burung unta yang sorot matanya menampakkan bodoh itu—tapi menabrakkan kepalanya ke dinding berkali-kali. Aku membagi tubuhnya jadi dua bagian, menggunakan pedang yang kupinjam dari seorang ksatria abad pertengahan. Yang lainnya lagi, seekor komodo jantan bersisik hijau neon. Kulitnya berlendir. Anyir memenuhi ruang ketika ia muncul! Lagi-lagi, aku membelahnya jadi dua bagian, memakai pedang yang kupinjam dari ksatria abad pertengahan; Oh, betapa Santa Joan of Arc telah menolongku mengatasi mimpi buruk itu!
"Kenapa? Kenapa kau seenaknya memerintah orang lain?"
Tak terdengar jawaban. Tiba-tiba saja tiga butir telur itu telah ada dalam genggam. Satu di antaranya pecah. Cair melewati celah di antara jari-jari tangan kiriku. Terlihat kuning telur mengalir umpama getah dan darah dari isi bisul yang mesti melesak keluar setelah dipecah; muncrat, meski bergerak perlahan. Bukan genggamku yang memecahkannya. Telah ada seseorang yang meretakkan cangkang telur itu.
Mem, harusnya kuceritakan kepadamu! Tapi, telah lama aku lupa soal mimpi-mimpi. Mengingat mimpi dan menceritakannya adalah kebiasaan kanak-kanak yang percaya takhayul. Juga, mimpi melawan monster-monster, sepanjang siesta, mengajarkanku untuk hanya waspada jika diganggu yang bukan manusia. Tarung itu tak menyiapkanku untuk membelah tubuh manusia, sama seperti kau tak mengajariku mewaspadai orang lain. Yang kau ajarkan hanya sebuah doa singkat, kalau ada yang aneh, dalam mimpi ataupun kenyataan, katakan saja: Tuhan, terjadilah padaku menurut kehendak-Mu. Aku lengah. Tak berdoa. Bahkan, jadi penurut kepada sosok yang tak kukenal, yang muncul dalam mimpi. Bodohnya!
Sepekan sebelumnya, seorang teman meramal. Oh, kematian, katanya. Ada tiga cangkir kopi. Satu terambil. Aku hanya melihat dua yang tersisa. Seseorang akan terambil darimu, tapi aku tak tahu ia siapa. Harusnya kuceritakan kepadamu, Mem, tapi apakah ceritaku akan mencegahmu minum secangkir kopi pagi itu? Pagi ketika aku nyaris merangkulmu untuk mengatakan betapa ringkih dirimu setelah kehilangan sepuluh kilogram berat badan. Gastritis, kata dokter. Penyakit yang mencuri kegembiraan manusia, seperti iblis, katamu. Pagi itu, aku juga hendak mengatakan, Mem, setelah dua puluh lima tahun jadi anak perempuanmu, aku baru tahu, pupilmu cokelat terang, bukan hitam malam.
Bisakah kita mengubah jalur kematian, Mem? Selalu kau bayangkan, pada saat terakhir, ayahmu akan menjemput. Tapi, tak kurasakan kehadiran seorang pun, saat itu. Kau telah tertidur selama tiga puluh tiga jam. Kau menyambut maut sendirian, seperti Kristus. Sendiri, seperti para kudus. Sendiri, seperti ayahmu. Sendiri, seperti kelak, aku.
Tuhan, kasihanilah kami!
16:23
“Pasien mengalami pecah pembuluh darah. Kita lihat perkembangannya. Kalau sampai besok pagi masih tidak sadar, dosis obat kita naikkan. Kalau sadar, bisa jadi dia lumpuh. Persiapkan saja dua kemungkinan terburuk. Tetap berdoa, siapa tahu ada mukjizat.”
Suara dokter perempuan itu gagak yang memekakkan telinga, panah yang menyasar tepat di jantung seorang anak perempuan yang menunggui ibunya sambil memindai kemungkinan apakah sang ibu akan melewati senja kedua di rumah sakit, atau akan berpindah ke kenyataan lain di mana ia tak dibatasi ruang pun waktu. Sang ibu mengamatinya, dari kenyataan yang lain itu, yang dekat sekaligus jauh; ruang yang membuat sang ibu melihat anaknya sebagai titik yang berdenyut di dalam rahim, bayi di pelukan, kanak-kanak yang bertanya, remaja yang pemarah, pekerja kantoran berseragam, dan kelak, seseorang yang ditunggui seseorang yang lain lagi hingga ia tiba pada napas terakhir untuk memanggil Mama! Segala yang dilihat sang ibu bagai potongan adegan-adegan dari film berbeda, dari masa yang berbeda, tumpang-tindih membentuk cerita utuh. Ia tahu segala sesuatu pada satu waktu yang sama, dalam bentuk rasa. Anak perempuannya menjelma Amelie, tokoh perempuan dalam film yang sering keduanya tonton. Amelie sibuk menelusuri jejak seorang lelaki dari peninggalan yang tak sengaja ia temukan. Otak sang anak sibuk menelusuri jejak pengalamannya sendiri: apakah rasa mendahului bahasa, apakah tanda mendahului peristiwa? Tak ada lelaki yang jadi kekasih seperti di film. Anak perempuannya sendiri saja, saat ini, juga nanti. Tokoh film itu punya nama yang sama dengan saya. Dapat ide dari siapa sampai saya punya nama ini, bukannya Maria atau Magdalena, Ma? Dari mimpi. Seorang perempuan membawakan hadiah dalam keranjang rotan berlilit pita merah muda. Kau adalah hadiah. Rasa itu menyelimuti anaknya. Untuk sementara. Cukup sebagai pelindung sampai ia harus berhadapan, muka ketemu muka, dengan sesal, marah dan duka. Monster itu, Amel, hanya rasa yang tak kau beri nama.
“Pukul 16.23, pasien saya nyatakan meninggal dunia.”
Teriak dokter adalah pusaran puting beliung yang mengisap, lantas melempar sang anak ke dalam gua tak berpenerang.
Oh, Santa Perawan Maria, Bunda yang Berdukacita, temani anakmu, anak dari hambamu yang perempuan.
Kupu-kupu
Hanya ada tiga tempat tidur di ruang ICU. Seorang pasien sudah harus dipindah dari UGD. Celaka! Pemerintah harusnya menambah jumlah unit ini, bukannya sibuk belanja anggaran untuk urusan lain. Salah seorang perawat mengumpat dalam benak, siapa yang mesti pergi untuk memberi tempat kepada si pasien baru? Ia telah melihat banyak kematian, ia telah menyiapkan banyak kematian, ia telah mendoakan banyak jiwa yang berpulang; kehidupan dan kematian adalah sebuah lingkaran utuh, dua urusan yang pasti dilewati manusia. Hari ini aku, besok kau. Setiap yang lahir pasti mati. Bahkan, Tuhan saja tak menyangkali kematian. Astaga! Ia menghela napas panjang. Kadang-kadang, pikiran kita bisa tiba pada kesimpulan iblis. Tuhan tak pantas mati!
Pasien pertama, seorang lelaki tua pada usia delapan puluh, terkena stroke dan terjatuh di kamar mandi. Setelah sepekan dirawat, tak juga ia tunjukkan tanda akan segera sadar, atau mati. Ia seperti tumbuhan, sekadar ada, tanpa gerak pun suara. Pasien kedua, bocah perempuan tiga belas tahun, korban tabrak lari. Ibunya tak pernah kelihatan meneteskan air mata saat tiba giliran jaga. Seorang dukun mengatakan si bocah akan sadar setelah lima hari, rohnya belum pergi jauh dan masih mendengar ketika dipanggil pulang. Ibunya percaya. Ia hanya perlu menunggui. Pasien ketiga masuk dalam kondisi paling sekarat. Seluruh organ vitalnya tak lagi berfungsi. Sembilan puluh persen, kemungkinan dia akan mati, kata dokter. Mintalah pastor melayani sakramen minyak suci, sang perawat meminta. Telah ia rasakan jiwa sang ibu yang memohon, lewat bisikan. Tiga jam kemudian, seorang pastor hadir di ruangan, barangkali bersama sekawanan malaikat penghibur, sebab suasana terasa sejuk-damai setelah gelisah meliputi. Sang perawat ingin mengatakan kematian bukan kekalahan. Ia ingin sang anak perempuan yang menemani ibunya tahu, kematian adalah perpindahan. Ibunya punya tubuh yang cahaya, sama seperti jiwa-jiwa lainnya yang melangkah bebas menjumpai Tuhan. Tapi percakapan semacam itu akan terdengar janggal. Ganjil. Betapa ia tak ingin, sekaligus merasa perlu.
Pukul lima belas. Apa kau bisa membisikkan doa di telinganya? Sang perawat harus memperbaiki posisi kepala sang ibu, dan segera teringat ibunya sendiri yang meninggal saat usianya baru sembilan tahun. Sudah dua puluh tahun berlalu, tapi peristiwa kematian itu seperti baru terjadi kemarin. Duka tidak akan pernah pergi. Tak akan bisa. Sang anak perempuan jadi robot patuh. Diucapkannya doa-doa. Angka-angka pada mesin menunjukkan pertanda buruk. Sang perawat tahu kematian sang ibu kian mendekat. Sang anak tahu, tapi telah ia matikan seluruh rasa pada dirinya.
“Waktu mama saya meninggal dua puluh tahun lalu, nenek saya bilang, manusia itu seperti kupu-kupu. Bertahun-tahun menjadi ulat dan kepompong, hanya untuk memiliki sayap yang indah. Lalu, terbang. Pulang, ke rumah.”
“Apa mama saya akan jadi kupu-kupu?”
Sang perawat menatap ke dalam pupil sang anak. Kosong, tak ada cahaya. Ingin ia katakan, dia berdiri di samping kananmu, tubuhnya yang cahaya sedang memelukmu. Tapi percakapan itu akan jadi percakapan ganjil. Terima kasih, nona perawat, kau perlakukan tubuh saya dengan baik, seperti saya bayi yang baru lahir. Nanti, setelah seluruh urusan ini selesai, kalau kau bertemu lagi dengan anak perempuan saya, katakan, mamanya sudah melawan dengan sekuat-kuatnya, dengan sehormat-hormatnya*, seperti semua perempuan pemberani dalam novel-novel yang ia baca.
“Ya. Seperti itulah manusia.” Enam puluh menit lagi, ia membatin. Nanti, nanti akan saya ceritakan, saat ia kembali ke sini untuk mengurusi surat keterangan kematian.
(2021)
*Kutipan kalimat Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.
Fransiska Eka saat ini bertempat tinggal di Ende, Nusa Tenggara Timur.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo