Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Kota Kantata

Kota Kantata lahir dari sebuah sayembara.

16 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SESAAT sebelum pedangku menebas leher lelaki yang kukenal sejak kanak-kanak itu, kami berbincang dengan pandangan menerawang pada sebuah kota pelabuhan yang sibuk melakukan bongkar muat barang. Tidak seperti kota lainnya yang memiliki sejarah peperangan panjang disertai kisah kepahlawanan, Kota Kantata lahir dari sebuah sayembara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah pulau yang semula dianggap sebagai tempat bersarangnya segala jenis dedemit, hewan buas, dan makhluk jadi-jadian menjelma menjadi bandar pelabuhan yang ramai. Lahan-lahan pertanian yang subur, denyut perdagangan, pengaturan kota yang rapi dan terencana, hingga armada laut yang andal membuat siapa pun tidak akan percaya bahwa kota di Pulau Malabar itu dipimpin oleh seorang pemuda berkasta rendah dari sebuah desa di lembah perbukitan yang separuh penduduknya meninggal karena dililit kelaparan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pulau Malabar hanya sebuah titik kecil dari luas Kerajaan Mada yang terbentang dari timur ke barat, dari wilayah pesisir hingga pegunungan. Suara menggelegar dari perut gunung api yang terletak di sisi barat pulau yang sesekali terdengar diyakini sebagai raung kemarahan penunggu pulau yang membuat tak seorang pun mau tinggal atau sekadar mendekat ke pulau yang dikelilingi oleh lautan dengan ombak ganasnya itu. Hingga seorang pemuda bernama Kantata yang menyingkap keseraman Pulau Malabar. 

Kantata serupa panglima andal, tanpa peperangan berhasil menjatuhkan kejayaan sebuah kerajaan besar yang membangun peradabannya sejak ratusan tahun silam. Seperti kerbau dicocok hidungnya, separuh penduduk Mada bersedia pindah ke Pulau Malabar meninggalkan tanah kelahirannya. Kerajaan Mada semula dikenal sebagai kerajaan agraris yang maju: di mana tongkat dilempar, di situlah tumbuh batang-batang yang akan memberikan buah-buah kehidupan. Penduduknya yakin berkah Dewata tumpah di bumi Mada. Akan tetapi, ketika pembukaan lahan pertanian mulai dilakukan serampangan, kemakmuran menumbuhsuburkan kesombongan, dan kekayaan melahirkan manusia-manusia bengis yang berlaku seperti Tuhan, bumi Mada pun dihunjam kemarau panjang. 

Kantata tidak punya kedigdayaan seperti para pendekar dan jawara, dia hanyalah pemuda yang berkali-kali gagal mengikuti pemilihan prajurit. Bukan karena tidak cakap secara fisik atau tak terampil dalam bermain tombak dan pedang, dewan istana tidak mengenal latar belakang keluarganya. Mimpinya untuk bersumpah setia di bawah panji Kerajaan Mada pupus sudah. Dia harus menerima takdir: membalur punggungnya di bawah matahari, berjibaku dengan cangkul dan kerbau. 

Saat kondisi Mada berada di titik nadir: kekeringan menghantui seluruh negeri, kematian karena kelaparan nyaris setiap hari, serta pencurian dan perampokan tak terkendali, rakyat dikejutkan oleh kedatangan beberapa prajurit yang membawa panji Kerajaan Mada yang berwarna merah dan bergambar sebilah keris serta gapura pada kainnya. Mereka membacakan sebuah pengumuman. 

Prabu Jantaka mengadakan sayembara. Rakyat yang sudah terbiasa dengan tagihan upeti dan perampasan gadis untuk persembahan merasa heran saat raja hendak memilih seorang pemuda untuk dilantik menjadi penguasa sementara Kerajaan Mada. Sang Prabu tidak hendak lengser keprabon. Dia hanya membutuhkan hiburan dengan melihat kerakusan rakyatnya yang sedang dilanda kelaparan. Mungkin Sang Prabu telah bosan meminta tumbal dan persembahan dari darah-darah perawan.

Wajah-wajah legam yang berkilat karena keringat hanya menatap kosong ke arah prajurit yang membacakan pengumuman. Kepala mereka berisi berbagai pertanyaan. Permainan apa lagi yang hendak dibuat oleh rajanya? Apakah sayembara itu adalah perintah Dewata sebagai jalan mengembalikan kemakmuran Kota Mada? Suara-suara itu hanya menjadi milik mereka sendiri. Mulut mereka tetap terkunci, tertelan bersama tawaran menggiurkan yang dibawa oleh prajurit-prajurit bertubuh kekar dan tegap. Bayangan mendapat kemewahan dan segala kenikmatan sebagai raja adalah tawaran menarik, tetapi akan dibuang ke Pulau Malabar setelah masa sayembara usai membuat bayangan kematian begitu kental. 

Tak ada seorang pun pemuda yang rela mengantarkan nyawanya dengan sia-sia. Meski kehidupan negeri semakin memburuk, mereka memilih memakan apa saja untuk bertahan hidup daripada harus merelakan tubuhnya dicabik hewan buas yang menjadi penghuni Pulau Malabar.

Setelah tak satu pun pemuda bersedia ikut sayembara, Prabu Jantaka menjadi geram dan menaikkan tawaran. Dari hanya satu bulan, masa sayembara diubah menjadi enam bulan, waktu yang dianggap sepadan untuk bisa menikmati kemewahan sebelum jiwa berpisah dari badan. Kemiskinan yang terus menggigit mulai menggoyahkan ketakutan yang membelit. Seorang pemuda yang dikenal sebagai jawara kampung tampil sebagai tumbal.

Sejak menduduki kursi kebesaran Kerajaan Mada, yang dilakukan pemuda itu hanya bersenang-senang: makan dengan lahap hingga meniduri selir-selir raja setiap malam secara bergiliran. Dia menduga kemampuannya bermain pedang bisa membuatnya lolos dari keseraman Pulau Malabar. Setelah masa sayembara usai dan dia dibuang ke pulau tanpa penghuni itu, kepalanya ditemukan mengambang di lautan satu minggu kemudian.

Prabu Jantaka merasa senang dan terhibur. Pada sayembara berikutnya, terpilih seorang pemuda buta. Pemuda itu meminta pengobatan pada matanya. Semua tabib terbaik didatangkan. Sebelum nyawanya melayang, dia ingin menyaksikan keindahan dunia yang belum pernah dilihatnya.

Penglihatannya bisa dipulihkan tepat satu bulan sebelum masa sayembara usai. Melihat betapa indahnya dunia, dia merasa enggan dibuang. Pemuda buta yang sudah tidak buta lagi itu mencoba melarikan diri, tetapi gagal. Kepalanya dipenggal di alun-alun Kota Mada.

Tak puas dengan akhir sayembara kedua, Sang Prabu memilih pemuda ketiga. Kali ini pilihannya jatuh pada Kantata. Tulang belulang yang bertonjolan di balik kulit tipisnya serupa teriakan nyaring yang memekakkan telinga meminta pertolongan. Melihat pemuda yang wujudnya seperti tengkorak hidup itu, raja merasa akan mendapat tontonan yang menarik. Dia menduga-duga kerakusan apa yang akan dilakukan oleh Kantata. 

Pada hari pertamanya menjadi raja, Kantata menolak saat dayang istana menawarinya banyak makanan dan selir-selir. Dia meminta hal lain yang belum pernah diminta oleh peserta sayembara sebelumnya. Dia melakukan penawaran agar Sang Prabu mengubah masa sayembara menjadi satu tahun. Penasaran dengan pemuda yang menolak kenikmatan istana, Prabu Jantaka mengabulkan permintaan Kantata.

Tanpa menunda, Kantata memilih tiga ratus prajurit terkuat untuk dikirim ke Pulau Malabar. Dia juga mengundang ahli bangunan dan tata letak kota kerajaan. Dengan panduan para ahli, seribu pemuda dari desa diberangkatkan menyusul ke pulau itu. Sementara itu, di istana, dia memanggil mangkubumi, hulubalang, cerdik pandai, dan orang-orang yang dianggap dapat membantunya. Tidak ada yang mengetahui apa yang direncanakan Kantata. Prabu Jantaka menertawakan perbuatan pemuda desa yang dianggapnya dungu itu.  

Lima bulan sebelum masa jabatannya berakhir, Kantata mengajak rakyat Mada pindah ke Pulau Malabar. Iming-iming mendapat rumah, lahan pertanian yang subur, dan puluhan kepeng emas membuat tawaran itu serupa guyuran air di tengah dahaga yang panjang. Apalagi kabarnya, Pulau Malabar tidak mengalami kekeringan seperti di Mada. 

Para pemuda penganggur yang senasib dengan Kantata menjadi pendaftar pertama. Mereka berangkat ke Pulau Malabar dengan harapan memenuhi dada. Rombongan terakhir yang pindah adalah para perempuan muda, anak-anak, dan orang tua yang masih memiliki semangat bekerja. Hingga pada akhir masa jabatan Kantata, separuh penduduk Mada telah tinggal di Kota Kantata. 

Prabu Jantaka sangat terkejut, tetapi dia terikat ucapannya sendiri dan tak bisa berbuat apa-apa meski nyaris separuh kekayaan kerajaan habis dipakai oleh Kantata. Para menteri kerajaan, penasihat raja, hingga para bangsawan memuji kecerdikan pemuda desa itu. Mereka, yang sudah lelah melihat kondisi kerajaan yang terus merosot, diam-diam memberi dukungan kepada Kantata. Setelah masa sayembara usai, dengan tenang, Kantata berangkat ke Pulau Malabar yang telah ramai.    

“Tidak ada harapan lagi di Mada,” ucap Umbara kala itu. Suaranya yang berat membuyarkan lamunanku. “Wajar kalau mereka berduyun-duyun pindah,” dia melanjutkan.

Aku berdecak kesal mendengar kalimat yang dilontarkan seorang prajurit utama. Meski penuturannya tidak keliru, aku tak bisa membenarkannya. Kota Mada seperti lelaki ringkih yang tertatih-tatih menuju tebing dengan batu cadas menanti di dasarnya.

“Pengkhianat harus dipenggal!” sentakku kepada Umbara. 

Pandangan kami terus meneropong jauh ke kota pelabuhan di pesisir Pulau Malabar. Selama bertahun-tahun, aku memang memendam dendam kepada Sang Prabu yang telah mengambil orang-orang yang kucintai: orang tuaku tewas dipenggal setelah dituduh enggan menyetor upeti serta adik perempuan dan kekasihku mati dalam upacara persembahan. Akan tetapi, sebagai seorang prajurit, aku terikat sumpah setia di bawah panji kebesaran Kerajaan Mada. Titah Sang Prabu adalah titah Dewata yang harus kujunjung di atas kepala. 

“Apa kita harus tetap melanjutkan penyerangan?”

“Tentu saja! Panji Kerajaan Mada harus tegak berdiri di Malabar.”

Ketenteraman dan kemakmuran Kota Kantata adalah bukti kuatnya pemuda, tetapi perintah Sang Prabu untuk meratakannya adalah sebuah tugas yang harus ditunaikan segera. Dengan mengerahkan prajurit terbaik dengan persenjataan lengkap, kota bersama penghuninya yang telah berkhianat kepada Mada harus kuberi hukuman. 

“Mereka adalah orang-orang yang lelah terhadap kondisi Mada. Apakah mereka salah jika mencari kehidupan yang lebih baik?” Umbara menoleh ke arahku.
Serentak aku menarik pedang dari warangkanya. Mata pedang yang berkilat kuarahkan tepat di leher Umbara.

“Kantata pemuda cerdik, aku mengakuinya. Tapi ingat sumpah setia kita kepada Sang Prabu. Tidak pantas rasanya berkata seperti seorang pengkhianat!”

Umbara mengeraskan rahangnya saat mendengar kalimatku. Kemarahan menyala pada matanya. Sama sepertiku, keluarganya mati di tangan algojo kerajaan dan kekasihnya direnggut paksa oleh Sang Prabu.  

“Bersikaplah seperti seorang prajurit,” aku melanjutkan sambil mendorong tubuhnya dan menyarungkan kembali pedang pada warangkanya. 

Kutinggalkan Umbara untuk mengecek pasukan yang sudah siap bertempur. Kapal kami sebentar lagi tiba di tepi pantai sebelah selatan pulau, daerah lengang tanpa penjagaan. Aku sudah menyusun strategi perang dengan teliti dan matang. Kota Mada yang dikelilingi perbukitan akan menjadi benteng pertahanan. Pasukan pemanah akan merangsek ke atas bukit, melindungi pasukan pedang yang akan menyusup masuk ke Kota Kantata. Dalam sekali penyerbuan, bisa dipastikan Kota Kantata dapat dihancurkan. 

Tiba-tiba terdengar suara pedang beradu. Aku berlari menuju asal suara itu. Prajurit telah bergelimpangan di atas dek. Tak jauh dari sana, Umbara sedang melayangkan sabetan kepada prajurit lain yang tengah mengepungnya. Aku mencabut pedang dan berlari ke tengah arena pertempuran.***


Puspa Seruni, penulis kelahiran Situbondo, Jawa Timur, yang saat ini menjadi pengajar di Politeknik Kelautan dan Perikanan Jembrana, Bali.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Para penulis bisa mengirimkan cerpen, puisi, dan esai seni-budaya untuk Tempo lewat email: [email protected] dan cc: [email protected]. Panjang cerpen maksimal 13.000 karakter. Kiriman puisi minimal lima judul. Panjang esai maksimal 6.000 karakter. Karya-karya tersebut belum pernah terbit di medium apa pun, seperti media, blog, hingga media sosial. Lampirkan biodata singkat, alamat lengkap, kontak, dan nomor rekening. Waktu tunggu maksimal enam pekan. Terima kasih.

Puspa Seruni

Puspa Seruni

Penulis kelahiran Situbondo, Jawa Timur, yang saat ini menjadi pengajar di Politeknik Kelautan dan Perikanan Jembrana, Bali.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus