Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Layar Tancap yang Terus Terbentang

Meski jarang terdengar, layar tancap masih eksis. Bukan semata memutar film, tapi menciptakan ruang publik dan pesta rakyat.

27 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Lewat jauh dari masa keemasannya, layar tancap terus punya penggemar.

  • Film Warkop DKI sampai Barry Prima paling sering diminta oleh pemesan di Bodetabek.

  • DKJ Fest 2023 di Taman Ismail Marzuki memutar film-film lawas dalam negeri lewat layar tancap.

Hujan mengguyur atap Promenade Area, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, saat orang-orang padat berkerumun di aula terbuka itu. Tujuan mereka sama: menyaksikan layar tancap yang memutar Koboi Insyaf.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tepat pukul 19.00, pada Ahad, 25 Juni 2023, lampu dimatikan. Empat proyektor menembakkan gambar di dinding besar secara bergantian. Hadirin mencari posisi ternyaman untuk menonton film berdurasi 101 menit itu. Ada yang di bantal, kursi, atau ngedeprok di lantai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Benyamin Sueb tampil sebagai lakon utama sekaligus pembuka film karya Nawi Ismail pada 1986 itu. Boni, nama karakternya, menaiki kuda dari tangga otomatis. Adegan selanjutnya menampilkan seniman legendaris itu mengelus-elus kumis. Wajahnya disorot dari kaca spion yang tergantung di leher kiri kuda.

Boni dikisahkan sebagai orang yang ngidam menjadi koboi. Ke mana-mana, dia bersepatu bot, memakai rompi dan topi lebar, juga menenteng pistol. Film komedi ini penuh aksi tembak-tembakan dan kejar-kejaran. Kekonyolan dan celetukan Benyamin S. dan kawan-kawan membuat aula tersebut dipenuhi gelak tawa penonton di hampir sepanjang pemutaran.

Lana Nurdewi, penonton, terhibur oleh Koboi Insyaf. Ini pertama kalinya Lana menonton layar tancap. “Biasanya, pertunjukan publik yang saya tonton itu musik,” kata warga Jakarta Pusat ini. Dia mengenal film klasik Benyamin S. dari cerita orang tuanya. “Kebetulan dapat info dari Instagram ada layar tancap. Setelah nonton, ternyata sangat lucu filmnya.”

Teknisi menyiapkan proyektor film layar tancap di kawasan Sawangan, Depok. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.

Pemutaran film layar tancap ini merupakan bagian dari Festival Dewan Kesenian Jakarta atau DKJ Fest 2023 yang bergulir di TIM sejak 20 Juni hingga 7 Juli 2023. Layar tancap merupakan pemutaran gambar bergerak dari proyektor di layar besar, biasanya di luar ruangan. 

Ketua Komite Film DKJ, Ekky Imanjaya, mengatakan pemutaran layar tancap di festival itu bukan sekadar untuk bernostalgia, tapi juga menghidupkan kembali ruang-ruang publik yang bisa diakses oleh banyak orang. Metode penyiaran film ini berbeda dengan bioskop yang berlangsung di ruang tertutup dan menuntut penontonnya untuk tertib. "Di layar tancap, enggak jaim (jaga image) dan penonton bisa menonton sambil saling berkomentar," ujar dia. "Jadi, semacam pesta rakyat."

Dengan berlangsung di ruang terbuka, Ekky melanjutkan, siapa saja yang lewat bisa duduk dan menonton. Keterbukaan ini membuat film bisa dikenal lebih luas.

Ekky menambahkan, layar tancap merupakan metode ekshibisi yang populer di perdesaan dan pinggiran kota yang jauh dari bioskop. Hiburan rakyat ini populer pada 1970-an hingga 1980-an. 

"Waktu itu, pemutarannya sangat dikontrol oleh Orde Baru," ujar dosen perfilman Binus University ini. Untuk memutar layar tancap, harus memenuhi banyak syarat, dari kewajiban menggunakan rol 16 milimeter, harus diedit ulang, berjarak minimal 5 kilometer dari bioskop, hingga film harus lewat minimal dua tahun dari perilisan. Pemerintah juga hanya membolehkan pemutaran film Indonesia karena khawatir pengaruh asing akan merusak tatanan kehidupan di perkampungan dan perdesaan. "Tapi banyak yang melanggar dengan memutar film Mandarin dan Barat."

Kepopuleran layar tancap memudar mulai 1990-an. Penyebabnya, semakin banyak warga memiliki pemutar video, baik Betamax maupun VHS, dan berlanjut ke VCD. “TV dan hiburan lain juga makin banyak,” ujar Ekky. 

Dia mengatakan panitia DKJ Fest 2023 menghadirkan layar tancap juga untuk membantu pengusaha pemutaran film keliling itu tetap eksis. "Khususnya mereka yang usahanya dimulai dengan kecintaan terhadap film," katanya.

Teknisi menunjukkan potongan film sebelum ditayangkan dalam film layar tancap di kawasan Sawangan, Depok. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.

Persatuan Layar Tancap Indonesia (PLTI) merupakan kelompok usaha layar tancap yang diundang untuk menyuguhkan pemutaran film layar tancap kemarin. Nur Iyan, 50 tahun, salah satu pendiri PLTI, sedang membereskan alat-alatnya saat ditemui Tempo di lokasi pada Ahad malam lalu.

Iyan merupakan pecandu layar tancap sejak SD. Dia mengaku tak pernah absen dari setiap pemutaran layar tancap di kampung halamannya di Pamulang, Banten. Sampai tengah malam pun dia jabanin nonton, meski berisiko kena omel orang tua. 

Kecintaan itu tak luntur hingga dia dewasa. Sempat menjadi sopir angkot rute Pamulang-Ciputat, Iyan membeli rol film 16 milimeter pertamanya pada 2003. Saat ini, PLTI mengoleksi 400-an judul yang siap diputar di lokasi mana pun di seluruh Indonesia. 

Koleksi mereka terbentang sejak era 1970-an, termasuk Si Pitung (1970) dan Yang Muda yang Bercinta (1977). Untuk film baru, koleksi PLTI mentok di Serigala Terakhir (2009). Sebab, kata Iyan, film keluaran baru jarang mengeluarkan versi pita analog.

Sejarah Layar Tancap

Menurut Iyan, pemesan jasa datang satu atau dua kali setiap bulan. "Biasanya untuk hajatan atau libur Lebaran," katanya. Panggilan banyak datang dari Karawang, Depok, dan Bogor. 

Dia mengaku telah menggelar layar di berbagai tempat, dari aula terbuka, lapangan bola, sampai kebun warga. Beberapa kali layarnya sobek dan bambunya patah akibat angin ribut. Selagi masih bisa dipasang kembali, film terus berputar. "Kami berusaha memberi pesan bahwa layar tancap masih ada," ujar Iyan. Per order, biasanya mereka menyajikan empat atau lima film, sejak lepas magrib sampai tengah malam.

Judulnya bebas. Bisa hasil permintaan pemesan, bisa juga Iyan pilihkan, berupa film Barat, Mandarin, atau Indonesia. “Banyak yang request Warkop DKI, Kadir-Doyok, dan film laga Barry Prima,” kata dia.

ILONA ESTERINA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus