Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Berbeda dengan sebagian besar masyarakat Indonesia, para transpuan merayakan Lebaran di tengah kesepian.
Mereka tidak pulang kampung karena kekurangan uang dan penolakan masyarakat di kampung halaman.
Di Yogyakarta, komunitas transpuan menggelar open house untuk berkumpul dan mengobati kerinduan kepada keluarga.
AZAN subuh sahut-menyahut pada Rabu, 10 April 2024. Empat transpuan lanjut usia bergegas ke surau di tengah udara dingin 1 Syawal 1445 Hijriah itu. Mereka tiba paling awal di sebuah masjid di Kecamatan Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Dari pelantang suara, terdengar pengumuman: salat Idul Fitri dimulai pukul 06.30.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koordinator Waria Crisis Center, Rully Malay, duduk bersila dan memejamkan mata di saf paling belakang. Transpuan asal Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, itu melafalkan takbir berulang kali. Serban tenun melingkari kepalanya. Jubah putih membalut bajunya. Pakaian itu biasa dipakai bissu, gender kelima dalam tradisi Bugis, tatkala menunaikan salat Idul Fitri dan Idul Adha.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rully, Erni, Nur, dan Oneng tak mau memaksakan salat di saf perempuan—meski mereka merasa sebagai perempuan. Mereka berupaya tak membuat jemaah lain terganggu soal identitas gender mereka. “Jiwa dan ibadah menghadap Allah pada hari suci jauh lebih penting,” kata Rully, 63 tahun, kepada Tempo pada Rabu, 10 April lalu.
Rully Malay mengumandangkan takbir Idul Fitri di masjid di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, 10 April 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Rampung salat, keempat transpuan sepuh itu bersalaman dengan sebagian anggota jemaah. Mereka lantas pulang ke Waria Crisis Center. Rumah singgah yang berdiri sejak lima tahun lalu itu menampung transpuan lanjut usia dan difabel. Seorang transgender dengan autisme muda tinggal di sana. Semangkuk opor ayam, nasi, dan sambal racikan Rully tersaji di meja belakang rumah singgah.
Sejak sore sebelum malam takbiran, Rully bersama lima transpuan lainnya memasak dan membersihkan rumah kontrakan yang dikitari kebun sayur serta buah itu. Semua transgender yang tinggal di rumah singgah itu berasal dari luar Yogya. Sebagian tidur hanya beralaskan tikar.
Rully tinggal di Yogyakarta sejak 23 tahun lalu dan memutuskan menetap di sana dengan mengontrak rumah petak. Untuk mengobati kerinduan kepada keluarganya, Rully aktif menjalin komunikasi dengan ibunya. Dinihari sebelum salat Idul Fitri, ibunda Rully menghubunginya melalui sambungan telepon. “Ibu tanya saya salat di mana dan punya duit enggak,” kata Rully.
Bertahun-tahun dia tak pulang ke kampung halamannya di Bone. Dia juga memutuskan tidak mudik Lebaran karena berbagai keterbatasan, yakni duit yang cekak dan aktivitasnya yang padat di Yogyakarta. Untuk mudik ke Bone, dia harus menyiapkan sedikitnya Rp 5 juta untuk ongkos transportasi. Belum lagi dia perlu menyiapkan angpau Lebaran untuk keponakannya yang berjumlah 40 orang.
Rully menghabiskan sebagian hidupnya sebagai aktivis transpuan. Rully merupakan jantung dari deretan komunitas transpuan Yogyakarta, yakni Keluarga Besar Waria Yogyakarta atau Kebaya, Pesantren Waria Al Fatah, Ikatan Waria Yogyakarta, dan Sedulur Rumpun Nasionalis Indonesia atau Seruni.
Transpuan lanjut usia, Oneng (kanan), bersama rekan-rekannya bersiap melaksanakan salat Idul Fitri di masjid di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, 10 April 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Semua transpuan menyatakan Rully sebagai andalan mereka. Dia banyak berhubungan dengan jaringan organisasi masyarakat sipil dan punya serentetan pengalaman mengikuti berbagai pelatihan di luar negeri. Rully juga menjadi perawat para transpuan sepuh, yang sebagian telah meninggal karena sakit. Rully mengantar mereka ke rumah sakit, memandikan, dan pontang-panting mengurus seluruh kebutuhan. “Mereka saya anggap sebagai keluarga,” ujar Rully.
Di Yogyakarta, terdapat 32 transpuan sepuh dari total 274 transpuan. Selain di rumah singgah, transpuan lansia banyak tinggal di rumah kos dan mengontrak secara komunal. Ada juga yang tinggal di sekretariat Kebaya. Setiap tahun mereka tak bisa pulang kampung dan menahan rindu berkumpul bersama keluarga. Para transpuan itu mendapat penolakan dan pengusiran dari keluarga ataupun lingkungan.
Menurut Rully, selama puasa Ramadan dan Lebaran, transpuan tetap bekerja. Ada yang mengamen, memulung barang rongsokan dan sampah, membuat makanan ringan, serta menjahit demi bertahan hidup.
Seperti Rully, sudah bertahun-tahun para transpuan itu tak mudik. Mereka yang tinggal di sana pernah hidup menggelandang dari satu kota ke kota lain. Selain hidup tak menentu di jalanan, mereka kerap mendapat perlakuan kasar, dari cemoohan banci, dipukuli, dan ditangkap petugas Satuan Polisi Pamong Praja. Mereka memilih tinggal di Yogyakarta dan berkumpul bersama saudara senasib sepenanggungan. “Kangen keluarga, tapi kami harus menahannya,” kata Nur.
Di perempatan Maguwo, Lastri, transpuan asal Temanggung, Jawa Tengah, sedang mengamen. Penontonnya adalah pengguna jalan yang menikmati libur Lebaran hari pertama. Mengalungkan pelantang suara dan mikrofon, Lastri menyanyikan lagu campursari dan berjoget. Terik matahari menyengat, menyorot wajah Lastri yang berbedak dan berhias sanggul. Siang itu, Lastri mengenakan baju putih berenda dan rok merah muda. Berlebaran berarti menggunakan baju yang paling bagus. Dia menganggap itu busana terbaiknya. “Lebaran saya, ya, di jalanan,” katanya.
Lastri mengamen pada hari pertama Idul Fitri di Kelurahan Maguwoharjo, Yogyakarta, 10 April 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Lastri, 63 tahun, tinggal di Yogyakarta sejak 16 tahun lalu. Dia mengamen sejak umur belasan tahun. Sebelumnya, Lastri pernah merantau ke Surabaya dan Jakarta. Sejak bocah, Lastri kerap mendapat perundungan karena lebih senang bermain bersama perempuan.
Pendiri Yayasan Kebaya, Vinolia Wakijo, punya cara untuk mengatasi kesedihan transpuan karena tak bisa berkumpul bersama keluarga saat Lebaran. Vinolia sejak 18 tahun lalu menggelar open house untuk mengumpulkan semua anggota komunitas transpuan. Acara itu tidak hanya untuk transpuan, tapi juga untuk warga sekitar sekretariat Kebaya di Jalan Gowongan Lor, Yogyakarta.
Siang Lebaran itu, mereka menyantap soto racikan Mami Vin—sapaan Vinolia. Mereka menyebutnya soto intil. Intil artinya kotoran kambing, mengacu pada potongan kentang yang dibentuk bola-bola kecil. “Kumpul-kumpul seperti ini sudah menjadi tradisi supaya transpuan tak merasa sendiri,” ujar Vinolia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo