Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUNCULNYA Ebiet turut meneguhkan lagi popularitas musik pop --
yang sejak sekitar pertengahan 1979 mulai naik kembali, bahkan
kelihatan mendesak pasaran dangdut di sana-sini. Juga, tak
kurang pentingnya, merupakan langkah lanjut dalam usaha
peningkatan mutu lirik pop kita. Seorang musikus Yogya, yang
sering menjadi juri festival musik, menilai musik pop kini
"makin menarik, tidak cengeng lagi." Meskipun dinilainya
terkadang masih "kurang komunikatif.
Mungkin dia benar. Tapi keluhan bahwa lirik pop Indonesia
dijejali dengan kata "mengapa hatiku . . . " misalnya, tidak
berlaku untuk lirik-lirik Franky & Jane, Ebiet atau Leo Kristi.
Lirik mereka tak menangis lagi. Bercerita tentang cinta, pun
kini Ebiet misalnya berani berkata: Cinta bukan mesti bersatu.
Biar kucumbui bayangmu.
Bahkan dalam Pesta, si Ebiet meledek musik yang diperdengarkan
dalam ruang ajojing itu. Pada sebuah pesta dansa/Aku jadi
teringat/Waktu ibuku di kampung/menumbuk padi/Sebab/Musik
berdetak seperti/Lesung ditalu.
Agaknya, setelah beberapa tahun dilupakan, lirik musik kembali
menengok pada puisi. Dipopulerkan oleh Trio Bimbo dengan penyair
Taufiq Ismail, hampir sepuluh tahun lalu, 1978 muncul Franky &
Jane yang menyanyikan sajak-sajak Yudhistira ANM Massardi.
Setahun kemudian muncul Ebiet G. Ade. Sebelumnya, 1975, muncul
Leo Kristi dengan konser rakyatnya, yang juga menyuguhkan lirik
yang berpaling pada puisi. Dan tidak begitu lama sebelumnya
tercatat lirik Guruh -- yang segera diikuti oleh munculnya
lirik-lirik "puisi" yang ruwet, yang misalnya dihasilkan oleh
lomba cipta lagu yang dijurii antara lain oleh Keenan, Chrisye,
juga Guruh. Itulah lirik-lirik yang keliru memahami puisi
sebagai "barang antik" -- dan tenggelam.
Ada sesuatu pada lirik-puisi kelompok terakhir itu yang berbeda
dari misalnya lirik Guruh, Keenan, Chrisye atau Eros Jarot,
maupun Bimbo yang mendahului mereka -- meskipun agak dekat
dengan Iwan Abdulrahman dengan 'Grup Pencinta Lagu'nya. Kelompok
yang lebih muda itu tidak menjadikan lirik sebagai sarana memuja
keagungan -- kecuali sebagian pada Leo Kristi. Mereka bercerita
tentang kampung, nelayan dan rakyat dengan cara bertutur yang
dengan sendirinya melantunkan satu himbauan. Mereka seperti
mencoba memalingkan muka dari gedung-gedung dan riuh lalu lintas
-- pada angin, padang-padang dan orang-orangnya. Sebuah petikan
Ebiet, dari Berita Kepada Kawan:
Kawan,
Coba dengar apa jawabnya
Ketika ia kutanya: mengapa?
Bapak-ibunya telah lama mati
Ditelan bencana tanah ini
Sesampainya di laut
Kukabarkan semuanya
kepada karang, kepada ombak, kepada matahari
Tetapi semua diam
Tetapi semua bisu
Tinggal aku sendiri
Terpaku menatap langit
Barangkali di sana ada jawabnya
Mengapa di tanahku terjadi bencana
Mungkin
Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita
Yang selalu salah dan
Bangga dengan dosa-dosa
Atau Alam mulai enggan bersahabat
dengan kita
Coba kita bertanya
pada rumput yang bergoyang
Ebiet, berdarah Banyumas (Jawa Tengah) asli, memang tak asing
dengan puisi. Sejak duduk di SMA Muhammadiyah, di Yogya, dia
dekat dengan penyair Emha Ainun Nadjib. Di mana saja Emha muncul
membacakan puisinya, muncul pula Ebiet menyanyikan puisi-puisi
itu dengan gitarnya. Anehnya, ketika album pertamanya muncul,
tak sebiji pun sajak Emha dia nyanyikan. "Saya hanya menyanyikan
sajak saya sendiri," katanya.
Lingkungan itulah yang agaknya membentuk lirik-liriknya.
Apalagi, 1974, ketika anak bungsu di antara 6 bersaudara itu
lulus SMA dan terpaksa nganggur karena tak ada biaya sekolah --
dan tak tahu mau kerja apa -- ia lebih terlibat dengan
sekelompok seniman muda Yogya. Dan di tahun itu, tercatat
segerombolan seniman senirupawan Indonesia, termasuk yang dari
Yogya, sedang mencoha "memberontak." Mereka yang kemudian
dikenal sebagai kelompok Senirupa Baru Indonesia itu
mengetengahkan karya-karya yang sebagian berbau protes. Protes
pada barang-barang plastik karena mematikan industri kecil,
protes kepada pembangunan yang mereka ketahui tak merata.
Memang tak jelas benar seberapa jauh itu semua mempengaruhi
perkembangan Ebiet. Tapi itulah lingkungannya. Dan ia pun
bernyanyi tentang keluarga pengemis: Tuhan/Selamatkanlah istri
dan anakku/Hindarkanlah mereka dari iri dan dengki/Kepada yang
berkuasa dan kenyang/Di tengah kelaparan/Oh, hindarkanlah mereka
dari iri dan dengki/Kuatkanlah jia mereka, bimbinglah di
jalanMu
Dengan suksesnya dua albumnya, pemuda umur 25 tahun berkacamata
minus setengah itu tak lagi bergelandangan, tak lagi terpaksa
menahan lapar. Sebuah Honda Civic, dengan setia membawanya ke
mana pergi. Meski kini masih tidur di rumah sempit di satu
kampung, di Yogya, tak lama lagi sebuah rumah yang layak bagi
mereka yang sukses akan dimilikinya. Apakah ia akan masih
menyanyikan rakyat dengan bahasa yang polos? Siapa tahu. Yang
mungkin jelas bisa diharap, andai pemuda yang diberi nama
orangtuanya Abdul Gafar Abdullah itu masih terus menyanyi,
liriknya taklah akan sulit dipahami. Ia, rasanya, bukan pencipta
syair dengan kalimat "indah" nan gelap.
Lirik itu jualah kekuatan Franky & Jane, kakak-beradik kelahiran
Ambon (yang sudah kehilangan keambonannya, kata teman-temannya)
yang bekerja sama dengan Yudhis dan dengan seorang bernama
Hare. Baru dalam volume 4-nya yang beredar bulan lalu, Frank
tampil dengan 4 lirik ciptaan sendiri.
Orang memang masih boleh menanyakan peranan musik alias
instrumen alam lagu-lagu semacam itu. Tetapi Ebiet, Franky &
Jane, seperti juga Leo Kristi, memang menegaskan kehadiran
'musik bertutur' dalam pop Indonesia. Di situ musik sudah tentu
vital -- namun sebagai pengiring. Yang hadir kemudian boleh jadi
memang bukan sebuah 'lagu' yang merupakan kesatuan bunyi-bunyian
dan lirik, tetapi dua hal yang jalin-menjalin. Boleh terasa bau
gitarnya, bau troubador, bau country -- bunyi-bunyian yang
selalu tiba-tiba tersibak untuk memberi kesempatan lirik
menonjol, tetapi tidak sebenar-benarnya hilang ia akan berlanjut
seakan memberi komentar atau menyambung kisah.
Itu misalnya terasa pada Berita Kpada Kawan Ebiet yang sudah
dikutip, dan yang musiknya aneh bisa mengingatkan orang pada
Bach. Tanpa dibebani keruwetan musik yang memaksa telinga
mendengarkan, seorang sopir di mobil juga bisa mendengar dengan
baik apa yang dituturkan lirik lagu Franky & Jane seperti:
Kuayun sepeda jengki ke arah pelabuhan/Dengan kawan-kawan kau
bergurau di jalan/Kautinggalkan kamar tidurmu/Yang kecil di
rumah kontrakan/Di kampung yang padat penghuninya. Dan semuanya
gampang dipaham.
Juga Leo Kristi. Walaupun arek Suraboyo ini terasa lebih genit,
dengan kegemarannya memasukkan seruan "ei ei ei" atau sekedar
"la la la" dengan perasaan gagah. Ia punya kecenderungan
ekspansif, bila tak bisa ekspresif. Kereta Laju dalam Nyanyian
Tanah Merdeka misalnya, tanpa dimasuki seruan-seruan itu
rasanya lebih enak didengar.
Leo memang tidak sehening dan sesantai Eranky & Jane maupun
Ebiet dengan nada tinggi-rendah yang kontras, dan dengan teknik
produksi suaranya yang terasa dibikin (meskipun Ebiet kadang
juga masih kurang wajar), ia bisa terasa ngotot. Apa lagi bila
liriknya menggunakan sejumlah kata hebat seperti pilar-pilar,
abadi, tubuh berkembang dan semacam itu.
Tetapi lirik yang bagus sudah tegak -- dan didengar oleh
parasopir. Mungkin waktunya tidak terlalu banyak lagi bagi Ebiet
atau yang lain-lain -- sebab selalu akan dimunculkan yang baru.
Tapi kesempatan masih kita berikan kepada Ebiet:
Dia berjalan dengan kakinya
Dia berjalan dengan tangannya
Dia berjalan dengan kepalanya
Tetapi ternyata dia lebih banyak
Berjalan dengan pikirannya.
Situ tahu maksudnya? "Tidak, saya sebetulnya tidak tahu. Tapi
kedengarannya enak, Mas," jawab Sutarno, Sopir kolt Yogya-Sala
itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo