Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di layar, seorang perempuan muda berjalan di trotoar. Tiba-tiba ia melompat kecil dan membuat gerakan menari. Lalu ia kembali berjalan melintas di sebuah lorong berbatu di jalan kota. Ia berlari riang menyusuri jalanan, naik-turun tangga, mengaca di depan kaca etalase toko. Ia kembali menari di sebuah mobil yang berhenti di tepi jalan, menari hip-hop di sebuah trotoar lebar, serta melemparkan satu kaki melingkar dengan gerakan berdiri di tangan (hand stand). Ia tidak peduli pada orang yang lalu-lalang memperhatikan gerakannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selanjutnya, kamera kembali menyorot langkah perempuan itu di lorong. Ia berlari zig-zag dengan gembira dan kembali menari di sebuah lorong pusat belanja. Dalam adegan lain, tampak ia menari dengan gerak yang lentur menyentuhi pasir dan debur ombak. Kemudian ia kembali ke pelataran sebuah bangunan tua yang megah. Mata para pengunjung pun tertuju kepada perempuan tersebut. Di pelataran itu, ia sempat melakukan hand stand cukup lama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam film lain, seorang penari, Yaara Moses, juga terlihat sangat lepas dan bebas dengan gerakan tubuhnya. Perempuan berkaus panjang merah itu menyeberang jalan, menyandar dengan tangan kirinya sedikit terangkat seperti melambai untuk menghentikan mobil. Tapi dia tak hendak menyetop mobil-mobil yang lewat. Dia malah bergerak jejingkrakan. Diiringi irama musik, perlahan ia menari dengan koreografi kontemporer di tengah jalan yang sepi berlatar bukit di kejauhan itu.
Ia lalu melangkah, menyeberang lagi, tapi tiba-tiba sudah muncul di tengah lorong sebuah pusat belanja. Ia kembali menari, membebaskan gerak tangan dan kakinya. Beberapa orang melintas sambil menatap ke arah si gadis penari itu. Kadang-kadang ia bergerak seperti robot, seperti menari hip-hop dengan musik yang rancak. Di bagian ketiga, ia muncul di samping sebuah taman hiburan dengan latar rel roller coaster berwarna biru dan tiba-tiba muncul di perpustakaan. Ia menari perlahan ketika orang lain tengah fokus berkonsentrasi.
Kedua koreografi di atas, yang berasal dari Cile dan Israel, masing-masing berjudul Misogyny Pandora karya sutradara Felipe Diaz dan koreografer Javiera Acuna Rosati serta Over a Low Flame karya sutradara Amit Sides dan koreografer Yaara Moses. Gerak lepas koreografi kedua perempuan itu terbingkai indah dalam video film tari yang ditayangkan di Gedung Kesenian Jakarta, 25 Oktober lalu. Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta memenangkan dua video film tari itu bersama empat pemenang video tari lain berjudul Weaving Anteh dan Breathe (sutradara Sammaria Simanjuntak dan koreografer Marintan Sirait), Another I (sutradara dan koreografer Kresna Kurnia Wijaya), serta Vestiges of Disappear (sutradara dan koreografer Jinyoung Park dari Korea).
Keenam karya itu menyisihkan 48 film dari kompetisi film tari bertajuk "Imajitari Festival Film Tari Internasional 2018" Dewan Kesenian Jakarta. Enam film ini memenangi penilaian dari para juri yang terdiri atas Arnd Wesemann (kritikus tari Jerman), Chairun Nissa dan Faozan Rizal (sineas, sutradara), dan Eko Supriyanto (koreografer). Keenam karya itu dinyatakan sebagai yang terbaik dalam memenuhi unsur teknis perfilman, unsur gerak, dan ide dalam koreografinya.
Adapun kedua karya di atas memperlihatkan kebebasan dan keberanian perempuan berekspresi dengan gerakan koreografinya. Para penari ini tak malu berekspresi di berbagai tempat. Mereka berani menampilkan "kekuatan" tubuh dan karya tanpa peduli pandangan orang lain. "Ini isu yang cukup menarik," ujar Arnd Wesemann seusai acara.
Film tari lain, Weaving Anteh, bercerita tentang konflik industri dan produksi garmen tradisional. Karya ini terinspirasi oleh dongeng Nyai Anteh yang menjadi penghuni bulan dan terus menenun untuk membuat tangga turun ke bumi. Dalam film ini, selain koreografi yang difilmkan, sutradara memasukkan unsur animasi.
Sementara itu, film Vestiges of Disappear memperlihatkan seorang koreografer yang menutupi muka dengan rambutnya. Gerak koreografinya pelan terfokus ke arah tangan. Di saat lain, kedua tangannya berada di antara dedaunan.
Lalu Another I memperlihatkan seorang petugas kebersihan yang hendak bekerja dan menemukan sebuah dompet. Setan berusaha menggoda dan membujuknya untuk memiliki dompet tersebut. Muncullah dua sosok si petugas yang menari dengan gerak dasar balet ini. Sesosok yang terlihat malu-malu dalam bayangan yang keluar dari cermin dan sosok lainnya adalah sosok yang nyata.
Wesemann mengungkapkan cukup terkejut dengan animo peserta festival ini. Peserta banyak yang datang jauh dari Indonesia alias luar negeri. Namun, ia menilai film tari dari Indonesia bisa bersaing dengan film sejenis dari luar negeri meski ia menemukan ada beberapa koreografi dari Indonesia yang terlihat aneh. "Tapi saya lihat sebagian dari mereka punya konsep ide yang kuat. Meski ada pula yang menari lebih baik, tapi idenya kurang karena mereka menari dengan gembira." DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo