Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FITRI Setyaningsih berdiri mematung dengan sepasang sepatu bot merah di balik pintu masuk Galeri Institut Français Indonesia-Lembaga Indonesia Perancis (IFI-LIP) Yogyakarta, Jumat malam, 23 Desember 2022. Matanya tajam menatap satu per satu lukisan abstrak perupa Ferdy Thaeras yang dipajang di luar kebiasaan: ditempel pada dinding ruang pamer dengan jarak tak sampai semeter dari lantai. Ada yang berserak di lantai, ada juga yang nangkring di langit-langit. Ruangan itu pun berhias tiga lembar kain yang digantung dan selembar lain digelar di lantai dengan coretan cat warna pastel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penari bergincu merah itu melangkah untuk menggapai kain pertama yang tergantung. Ia menggulung, lalu mengurainya, menarik, kemudian melepasnya. Fitri membungkuk di tepi dinding, lalu merangkak di bawah lukisan-lukisan yang dipajang rendah itu, membiarkan gaun merahnya “mengepel” lantai. Ia ngelesot di antara penonton yang bersebar. Seperti Fitri, sebagian pengunjung yang ingin melihat lukisan-lukisan itu harus membungkukkan badan, bila perlu berjongkok atau ngelesot.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah ruangan, Fitri kembali bermain dengan kain yang menggantung. Ia membentangkannya, seolah-olah ingin mengukur seberapa lebar. Lalu ia berbaring di hamparan kain putih, memegang botol plastik berisi cat hitam, dan crot… crot…. Penari itu menekan perut botol. Cairan hitam berhamburan membasahi kain putih yang menggantung, menodai gaun merahnya, membentuk citraan abstrak pada baju dan kain putih itu.
Kembali ia berjalan dari kain satu ke kain lain dengan rute membentuk angka delapan. Begitu terus berulang-ulang, sebelum penari bergaun merah itu mengakhiri pertunjukan. Pertunjukan solo Fitri mengawali pembukaan pameran tunggal Ferdy Thaeras bertajuk “Les Bonnes” yang berlangsung hingga 14 Januari 2023. Sekilas Fitri ingin menggambarkan “perjuangan” Ferdy tinggal di apartemen sekaligus studionya selama enam bulan di Manhattan, New York, Amerika Serikat, sejak awal 2022.
Dengan tubuh setinggi 189 sentimeter, Ferdy tinggal di kamar sempit berukuran 2 x 3 meter. Ia mesti berbagi ruang dengan kopernya, buku-bukunya, tempat tidurnya, juga aktivitas melukisnya. Bisa dibayangkan bagaimana noda cat akrilik berceceran di sana. “Ferdy pernah tak sengaja menumpahkan cat di lantai kayu apartemennya. Sialnya, bekasnya masih terlihat jelas,” kata kurator pameran, Joned Suryatmoko.
Ferdy berusaha menutupi noda itu dengan goresan menyerupai tekstur lantai. Noda cat pun tersamar. Rupanya, yang dilakukan Ferdy itu menarik bagi Joned. Sebab, sebagai pelukis beraliran abstrak, Ferdy berusaha membuat ilusi realistis. Ilusi itu pun dibuat justru bukan pada karyanya, melainkan lantai kayu. “Itu menunjukkan pergulatan seni abstrak tidak jauh dari realitas sehari-hari,” tutur Joned.
Keduanya lantas bertemu untuk membahas rencana pameran tunggal dan pertunjukan itu. Termasuk menjumput judul naskah teater Les Bonnes (Sang Pelayan) karya penulis Prancis, Jean Genet, menjadi tema pameran. Naskah itu mengisahkan dua pelayan kakak-adik, Solange dan Claire, yang bekerja pada majikan kaya raya yang dipanggil Madame pada1930-an. Dalam naskah itu, dua pelayan tersebut berpura-pura menjadi majikan sembari merancang rencana pembunuhan majikan yang sesungguhnya.
Direktur IFI-LIP Yogyakarta François Dabin menjelaskan, naskah Les Bonnes punya banyak persamaan dengan kasus kriminal terkenal di Prancis yang terjadi pada 1930, pembunuhan sadis dua pelayan bersaudara terhadap majikan mereka. “Tapi Jean Genet selalu menyangkal sumber inspirasinya. Padahal kasus kriminal itu juga menginspirasi banyak karya sastra, sinematografi, dan teater,” ujar Dabin saat memberi sambutan.
Dalam pameran, bagi Ferdy, pemilihan warna adalah bagian dari bentuk energi yang ia rasakan saat mulai berkarya. “‘Les Bonnes’ titik awalnya dari kealpaan warna, hitam dan putih. Lalu menjadi merah. Dan tak tertutup kemungkinan bertemu dengan warna lain,” ucap lulusan Fakultas Seni Rupa Jurusan Desain Komunikasi Visual Institut Kesenian Jakarta ini.
Ia membagi 24 karya lukisan yang dibingkai menjadi enam seri, yakni Les Bonnes, Saint Marks, Paradox, Enigma, Nexus, dan Protagonis. Sedangkan kain-kain yang dipresentasikan Fitri Setyaningsih dimasukkan ke seri Survivor. Sepintas sepuluh lukisan seri Les Bonnes membentuk citraan dua sosok yang abstrak, bahkan mirip huruf kanji. Tiap lukisan dipoles dengan dua warna yang menonjol: hitam-merah, hitam-biru, hitam-abu, hitam-cokelat.
Dalam seri Paradox, Ferdy lebih berani memainkan warna hitam dan merah. Bahkan satu lukisan nyaris diblok menggunakan cat akrilik hitam dengan menyisakan sentuhan merah di satu tepinya. Warna-warna dominan itu seolah-olah menggambarkan pengalaman hidup gelap-terang seseorang.
Seperti pengakuan yang disampaikannya, pameran tersebut adalah fase penting hidupnya sebagai seniman. Sebab, ia telah berulang kali berganti profesi, antara lain model, aktor, pengarah gaya, penulis, dan editor.
Dalam satu lukisan seri Protagonis yang diberi judul Before the Beginning, Ferdy menggunakan warna putih untuk mendominasi. Sentuhan warna merah pun menjadi tampak pudar. “Pada akhirnya karya ini memelankan hidup yang begitu cepat, hiruk-pikuk,” kata Ferdy.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo