Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Makna Semangka bagi Perjuangan Palestina

Semangka jadi simbol dukungan bagi Palestina di tengah pembumihangusan Jalur Gaza oleh Israel. Menghindari pembungkaman digital.

6 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Semangka menjadi simbol dukungan bagi Palestina di tengah pembantaian warga Jalur Gaza oleh Israel.

  • Doktor komunikasi Monash University menjelaskan makna semangka dalam solidaritas bagi perjuangan Palestina.

  • Perlu tambahan informasi akurat dalam setiap unggahan semangka.

Media sosial telah memainkan peran penting dalam situasi perang, baik sebagai alat propaganda maupun sebagai alat advokasi pembebasan pihak yang ditindas. Di Indonesia, media sosial belakangan ini dipenuhi advokasi-advokasi yang bertujuan meningkatkan kesadaran akan krisis kemanusiaan di Palestina dan mengutuk agresi pemerintah Israel.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023, yang kemudian dibalas Israel dengan apa yang komunitas internasional banyak sebut sebagai “genosida terhadap warga sipil Palestina”, terjadi peningkatan aktivitas media sosial yang signifikan secara global ihwal konflik di Gaza. Tanda pagar #freepalestine telah digunakan lebih dari 5,2 juta kali di Instagram, sedangkan tagar #gazaunderattack telah diunggah sebanyak hampir 1,7 juta kali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kini bentuk lain kampanye pro-Palestina di media sosial adalah membagikan berbagai ilustrasi buah semangka, dari foto, karya seni, hingga emoji. Mengapa semangka dan apa maknanya dalam perjuangan kemerdekaan Palestina?

Kampanye Semangka

Warna semangka, yang terdiri atas merah (daging buah), hitam (biji), serta putih dan hijau (kulit), disebut merepresentasikan warna bendera serta identitas nasional Palestina. Membagikan foto atau ilustrasi semangka dan disertai tagar #freepalestine atau #asliceofhope mencerminkan dukungan terhadap Palestina.

Semangka sebenarnya telah lama menjadi simbol perlawanan rakyat Palestina terhadap Israel.

Kampanye semangka (watermelon resistance) muncul pertama kali setelah Perang Enam Hari pada 1967, ketika Israel menguasai Tepi Barat, Jalur Gaza, dan merebut Yerusalem Timur. Saat itu, pemerintah Israel menyatakan pengibaran bendera Palestina di tempat umum sebagai tindakan kriminal. Untuk mengelak dari larangan menggunakan bendera, orang Palestina dan pendukungnya mulai mengadopsi semangat semangka dan membawa bendera bergambar semangka pada setiap aksinya.

Jika dikaji lagi sejarahnya, semangat perlawanan melalui semangka juga terkait erat dengan aspek kedaulatan makanan. Pada masa Intifadah pertama (1987-1993), pemerintah Israel melarang petani Palestina menanam beberapa jenis bibit tanaman pangan, termasuk varietas asli Palestina dari semangka.

Sebagai gantinya, pemerintah Israel menanam bibit varietas hibrida dan hampir menyebabkan kepunahan varietas semangka lokal Palestina yang dikenal bernama Jadu'i. Jadi, secara singkat, semangka juga merepresentasikan semangat rakyat Palestina dalam mempertahankan hak atas tanah mereka.

Ilustrasi semangka sebagai simbol perlawanan Palestina. TEMPO/ Nita Dian

Menghindari Moderasi

Pada 2021, pemerintah Israel mengancam akan mengusir penduduk Palestina di Sheikh Jarrah karena ingin membangun fasilitas umum bagi kaum Yahudi Israel. Kampanye semangka kemudian langsung merebak, baik di media sosial maupun selama aksi protes massa di jalanan.

Hari ini, kampanye semangka kembali digunakan, lebih sebagai cara pengguna media sosial menghindari sensor dan pembatasan konten.

Pemerintah Israel memang telah lama menjalankan upaya sistemis secara global untuk membungkam dan menghilangkan jejak digital Palestina. Di bawah propaganda Israel, platform digital menerapkan lebih dari 4.800 tindakan pembatasan terhadap konten mengenai Palestina, termasuk penutupan akun dan shadowbanning (pembatasan distribusi konten) tanpa pemberitahuan serta persetujuan pemilik akun.

Meta, misalnya, mengakui bahwa mereka telah menghapus 795 ribu konten dalam tiga hari pertama perang di Gaza. Baru-baru ini, pengelola akun Instagram @eye.on.palestine harus bernegosiasi dengan Meta agar akunnya yang sempat ditutup secara sepihak dapat diaktifkan kembali.

Untuk mengelabui algoritma yang dipakai oleh platform media sosial, pengguna harus menggunakan Algospeak saat membicarakan Palestina dan Israel. Algospeak adalah cara menciptakan kata-kata baru atau menggunakan kode untuk mengganti kata asli dalam sebuah percakapan atau unggahan media sosial agar tidak dikenali oleh algoritma. Contohnya, kata P4le5+ina, i5r4el, dan G4z@ adalah Algospeak untuk Palestina, Israel, dan Gaza.

Praktik pembatasan secara diam-diam oleh platform media sosial ini menjadi ancaman bagi ekspresi pembelaan terhadap Palestina. Banyak pengguna jadi enggan mengambil risiko dan memilih berhati-hati dalam menunjukkan dukungan.

Namun harapan untuk selamat dari pembatasan sepihak platform media sosial muncul ketika kampanye semangka bergaung kembali di Instagram akhir-akhir ini. Semangka—setidaknya hingga saat ini—tidak termasuk dalam daftar kriteria sensor Instagram. Jadi, akun pengunggah gambar semangka dapat terbebas dari risiko pembatasan.

Semangat perlawanan Palestina dalam ilustrasi semangka pun lebih mudah diterima karena pesannya yang cenderung damai, ramah, dan universal. Kampanye semangka menguatkan argumen bahwa konflik di Palestina semestinya dilihat melampaui isu agama dan identitas bangsa.

Kampanye ini juga berhasil menarik perhatian lebih banyak pengguna. Jika pada detik ini kamu mengetik tagar #freepalestine di laman pencarian Instagram, puluhan hingga ratusan konten teratas di hasil pencarianmu mungkin menunjukkan gambar sepotong semangka. Namun, sebagaimana aktivisme lainnya yang menggunakan media sosial sebagai kendaraan, kampanye semangka memiliki risiko berakhir menjadi slacktivism alias usaha minimal untuk terlibat dalam sebuah aktivisme online.

Tanpa langkah strategis lainnya, kampanye semangka berpotensi menjadi gerakan advokasi temporer yang hanya trending sesaat. Agar gaung kampanye ini berumur panjang, upaya membanjiri platform media sosial dengan gambar semangka perlu diimbangi dengan membagikan informasi edukatif dan akurat mengenai Palestina.

Warga melihat kumpulan foto bertagar #standwithpalestine dalam aplikasi Instagram di Jakarta, 5 November 2023. TEMPO/ Nita Dian

Agar Lebih Bermakna

Sejauh ini, konten audio-visual perihal Palestina di media sosial telah membantu membentuk narasi global tentang situasi di negara itu.

Di TikTok, terdapat gelombang dukungan yang besar untuk Palestina. Axios.com, platform berita digital untuk audiens global mencatat, pada 16-23 Oktober 2023, jumlah view konten TikTok yang mendukung Palestina dan Israel relatif seimbang.

Tagar #standwithpalestine tercantum dalam 123 ribu unggahan dan ditonton sebanyak 11 juta kali. Adapun tagar #standwithisrael digunakan dalam 8.000 konten, dengan jumlah view sebanyak 12 juta. Namun, sepekan setelahnya (23-30 Oktober 2023), jumlah view konten yang menggunakan tagar #standwithpalestine sebanyak 285 juta, hampir empat kali lipat lebih tinggi dibanding unggahan bertagar #standwithisrael.

Perubahan arah dukungan ini dapat terjadi salah satunya karena dokumentasi audio-visual yang dibagikan oleh orang-orang yang tinggal di Palestina. Konten Instagram yang diunggah dua WNI di Gaza, @abumuslim_gaza dan @bangonim, misalnya, memberikan informasi autentik tentang kehidupan masyarakat Palestina.

Melalui unggahan mereka, pengguna Instagram dapat langsung melihat dampak buruk dari tindakan Israel tanpa dikaburkan oleh pemberitaan media, terutama media Barat, yang bisa sangat bias.

Pendukung kampanye semangka dapat mengiringi konten-konten seperti ini dengan menyebarkan narasi tandingan atas konten pro-Israel atau menyanggah misinformasi tentang Palestina. Dengan demikian, semangat perlawanan dalam sepotong semangka dapat mendorong keterlibatan dan dukungan global yang lebih bermakna terhadap kondisi di Palestina.

---

Artikel ini ditulis oleh Pratiwi Utami, doktor ilmu perfilman, media, komunikasi, dan jurnalisme dari Monash University. Terbit pertama kali di The Conversation.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus