Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBAGAI penelaah kebuda-yaan, Goenawan Mohamad (GM) telah menulis perihal su-sastra, teater, film, seni rupa, filsafat, dan politik. Ia juga melahirkan puisi, naskah pertunjukan, novel, dan belakangan, yang sangat pro-duktif, lukisan. Khazanah pemikiran yang kaya dan pengalaman sebagai seni-man adalah gabungan langka yang me-mung-kinkan GM melahirkan telaah reflektif yang khas tentang kebudayaan. Kumpulan esai di buku ini menunjukkan seni rupa di ba-wah teropong ambiguitas pengalaman estetik.
Bagi GM, pengalaman estetik layaknya lu-kisan berpigura. Ada jiwa dan proses kreatif, tapi semua itu bayangan chaos tan-pa kesatuan. Klaim tentang kesejatian, ke-ter-ukuran, dan rumusan adalah mustahil; tiap kali pigura mesti diterobos untuk menghadirkan keindahan, yakni “yang tak terduga-duga” (halaman 6). Inilah esai pertama yang menjadi landasan GM mem-bicarakan karya seni, khususnya seni rupa, dan tentu saja puisi di sana-sini.
Berulang kali ditegaskan penampikan atas pengalaman estetik sebagai “pe-nguasaan”, “penjajahan”, ataupun “penang-kapan”. Sebaliknya, yang ditawarkan ada-lah “emansipasi”, “pembebasan”, dan “pe-nebusan”. Contoh paling sederhana, GM menulis: “Sangat berisiko untuk meng-klaim bahwa karya potret seseorang me-nangkap wajah seseorang” (halaman 9).
Dari sini ia mengajak berumit-rumit, “Seni rupa menjalani apa yang disebut Agam-ben sebagai “pemurnian”: yang uta-ma bukanlah dimensi estetik, peneri-ma-an indrawi sang penglihat terhadap obyek yang indah. Aksentuasi itu digantikan oleh pengalaman kreatif sang seniman yang melihat dalam karyanya hanya sebuah janji kebahagiaan, une promesse de bonheur.” Janji kebahagiaan itu adalah “subjek dalam dunianya sendiri”, seperti keriangan men-cipta pada proses kreatif lukisan Hanafi atau-pun antusiasme lukisan-lukisan Affan-di (halaman 24-25).
Bentuk esai tampaknya memungkinkan GM leluasa merentang-luaskan horizon pemikiran seperti itu. Pengandaian di baliknya, agaknya esais (atau penyair) bu-kanlah pemikir yang memang mau tun-tas “merampungkan” berbagai hal. Jus-tru melalui ambivalensi semacam itu, pe-nyair—kata Gaston Bachelard—menjadi te-rasa lebih sugestif ketimbang filsuf dan mem-biarkan pembacanya menafsirkan lebih jauh.
Memang, sejak awal kariernya, GM ber-pihak pada “puisi”. Ia menyangkal susastra yang dijajah secara apriori oleh berbagai konvensi ataupun ideologi politik. Tapi hal itu tidak berarti susastra bebas dari politik. Ia menghindari berbicara mengenai genre, ide, atau konsep tertentu perihal seni. Maka, meski, misalnya, kritikus seni rupa menganggap suatu genre (lukisan) telah tamat dalam perkembangan seni rupa, bagi GM, tak berarti karya semacam itu tidak bisa berbicara lagi kepada kita.
Manusia Estetik Bernama GM/Tempo
Ia membahas ihwal tatapan melalui subyek lukisan Jaka Tarub hingga sifat grotesque karya Nyoman Masriadi, dari lukisan Ingress sampai foto-foto Nico Dhar-majungen dan Mapplethorpe. Yang meng-gugah adalah perihal melihat sebagai pengalaman “menyambut apa yang justru tak tampak” (Merleau-Ponty). Saat itu, peng-alaman melukis ataupun memandangi lu-kisan terkait dengan pengalaman tubuh yang lepas dari konsep atau ide (halaman 65-66). Dengan kata lain, gaya dalam seni rupa boleh jadi kedaluwarsa, tapi tafsir tak mungkin bisa dihentikan.
Karya arsitektur Peter Zumthor dan Tadao Ando, misalnya, bagi GM, terkait dengan puisi, “berhubungan secara di-na-mis dengan dunia”. Manusia bukanlah “pe-nakluk”, melainkan “berdiam secara puitis” (Hölderlin), suatu unsur dengan yang lainnya “meresapkan dan terpesona”, seperti sajak Sapardi Djoko Damono ten-tang hujan. Pengalaman estetik itu ber-upaya membebaskan diri dari kuasa po-litik ataupun epistemik. Arsitektur yang ber-hubungan dengan ruang bukanlah ide, me-lainkan pengalaman tubuh (halaman 116-119).
GM adalah manusia estetik, seperti kita dengar dari Barnett Newman, misal-nya. “Paleontologi,” kata seniman ini, “ha-nya bisa mengajukan proposisinya jika proposisi itu dibangun di atas pos-tu-lat bahwa tindakan estetik selalu menda-hu-lui tindakan sosial. Kebutuhan kita untuk bermimpi lebih kuat dibanding ke-cen-derungan pada asas manfaat. Mitos muncul lebih dulu sebelum kebiasaan berburu.” Dengan kata lain, manusia pertama-tama bagi Newman adalah manusia estetik.
Selain penyuntingan teks yang belum rapi di buku ini, sesuatu yang mengganggu muncul, yakni pemuatan reproduksi lu-kisan Affandi, Para Pejuang (1972), yang menimbulkan keraguan akan ke-asliannya (halaman 5). Mengapa karya semacam ini yang diajukan sebagai “cetusan kemerdekaan”? Lalu sebuah lukisan Lempad tiba-tiba nyelonong tanpa kete-rang-an (halaman 12). Yang lain: semua reproduksi lukisan tak mencantumkan sumber, dan indeks tidak pula disediakan.
HENDRO WIYATNO, KURATOR SENI RUPA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo