Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POTRET PEMBANGUNAN DALAM PUISI
Kumpulan sajak-sajak: Rendra
Penerbit: Lembaga Studi Pembangunan, Jakarta, 198a Tebal: 110
hal., HVS, dihiasi 23 foto karya Hardi.
Inilah sajakku.
Pamflet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.
(Sajak Sebatang Lisong)
MEMANG, sebagaimana ditulis Prof. A. Teeuw dalam pengantarnya,
sajak-sajak Rendra dalam kumpulan ini tak menunjukkan suatu
perkembangan yang sama-sekali baru. Kecuali barangkali
keterusterangan penyairnya dalam memilih bentuk pengucapan yang
lebih langsung dan menuding: Aku tulis pamplet ini/karena
lembaga pendapat umum/ditutupi jaring labah-labah (Aku Tulis
Pamplet Ini).
Bisa dipaham, dengan titik tolak seperti itu, yang kemudian
ditulis Rendra lebih merupakan "pendapat umum" atau hal-hal yang
diyakininya menjadi pendapat orang banyak. Pada halaman pertama
ia menulis,Orang-orang Harus Dibangunkan/ Kesaksian harus
diberikan/ Agar kehidupan bisa terjaga.
Tak cuma itu. Rendra--yang aktif pula menyuarakan pendapatnya
dan pernah juga dipenjara bersama para mahasiswa beberapa waktu
lalu -- pun mengajak: kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya, keluar ke desa-desa, mencatat
sendiri semua gejala, dan menghayati persoalan yang nyata.
Persoalan yang nyata? Rendra menderetkannya dalam pamflet
panjang yang penuh ketidaksabaran ini. Tak kurang dari 8 pamflet
mengecam pendidikan dan sistemnya. Pendidikan negeri ini
berkiblat ke Barat/Di sana anak-anak memang disiapkan/Untuk
menjadi alat dari industri . . . Tetapi kita dipersiapkan
menjadi alat apa? Kita hanya menjadi alat birokrasi! (Sajak Anak
Muda).
Kekuasaan yang menindas, teknokrat yang angkuh, pengangguran,
guru yang brengsek, para mahasiswa yang melempem, orang kaya
yang korup, keluarga yang berantakan, ketidakadilan dan
kemiskinan dan segala yang buruk dan jorok, semua terpampang
dalam Potret Pembangunan ini. Hampir tak ada yang dibiarkan
lolos. Rendra mengepung dan menjotosnya dengan kata-kata. Dengan
lancar dan penuh kemahiran. Dan kita tak diberi kcscmpatan
menghirup kesegaran sedikit pun. Ah, begitu pengap rasanya hidup
ini.
Sajak-sajak yang ditulisnya pada tahun 1975-1978, dalam usia
40-an, ini adalah tanggapan terhadap keadaan -dari sisi yang
muram --yang dibiarkan lepas bebas. juga agak berlebih-lebihan.
Dan itu ditulis bersamaan atau sesudah ia menulis sajak-sajak
yang menurut reeuw "bersifat mistik murni dan berdasarkan
spekulasi-spekulasi dan praktek-praktek khas yoga," (.Syair
Teratai,Anuning Ning yang disiarkan lewat Kompas dan Sinar
Harapan).
Diam di puncak gunung bagaikan pertapa yang hanya memberikan
fatwa-fatwa yang dingin dan jauh, bukanlah peran yang sesuai
untuk Rendra. Drama-dramanya membuktikan hal itu, terutama Kisah
Perjuangan Suku Naga(1975) dan Sekda (1977).
Setelah kumpulan Blues untuk Bonnie (ditulis di Amerika Serikat
1964-1967, diterbitkan 1971), agaknya Rendra tak bisa lagi
bertutur dengan lirih Dan keadaan semakin membuatnya penasaran .
Berkali drama-dramanya dilarang dipentaskan. Berkali-kali
pula ia harus berhadapan dengan para penguasa. Sementara itu
publik menghura-huranya dan memberikan keplok yang riuh. Semua
itu sedikit banyak tentu memberi pengaruh pada perkembangannya
sebagai pribadi, sebagai penyair, sebagai dramawan, dan sebagai
aktor. Dan jika kini ia menjadi penulis pamflet yang menggeram
karena mendengar suara jerit hewan yang terluka, sesungguhnya
boleh diterima secara wajar.
Ia hanya ingin memberi kesaksian. Meskipun, sebagaimana
dikatakan Teeuw, "sajak-sajak ini bukan laporan obyektif
kenyataan yang ada di Indonesia sekarang." Artinya, yang
dikatakan Rendra adalah hasil olahan beberapa keadaan dengan
"bumbu-bumbu."
Pada akhirnya, dalam Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon, Rendra
yang 7 November nanti genap 45 tahun, berkata:
Ya! Ya! Akulah seorang tua!
Yang capek tapi belum menyerah pada mati.
Kini aku berdiri di perempatan jalan.
Aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing
Tetapi jiwaku mencoba menulis sajak.
Sebagai seorang manusia.
Yudhistira AN Massardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo