Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cerpen: Depri Ajopan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Bukankah ia sudah lama mati? Kenapa tiba-tiba ada tulisannya yang baru terbit?” Mereka yang duduk bertiga sudah membaca cerpen hari itu, ditulis oleh Suti yang sudah mereka bunuh sepuluh tahun lalu. Ia kawan Marsinah, seorang jurnalis yang dianggap perusuh, akhirnya ikut dibunuh.
“Tidak mungkin cerpen ini dikirim ke media dua atau tiga bulan lalu karena dia sudah mati. Tidak mungkin juga dikirim sepuluh tahun lalu sebelum kematiannya,” ungkap Pak Johan sambil berpikir apa sebenarnya yang terjadi.
“Setahuku, dia bukan seorang cerpenis, tapi ilustrator. Kalau memang ia masih hidup, untuk apa ia menulis cerpen di koran itu? Menyatakan dia masih hidup lagi? Untuk menakut-nakuti? Apa dia tidak bisa melakukannya dengan cara lain sebagai ilustrator?" Refli yang duduk paling sudut memainkan pikirannya.
“Atau jangan-jangan ada seseorang yang meminjam namanya, biar karyanya cepat dimuat di media nasional itu?” sambung Marlis, yang cemas karena takut sebentar lagi dimasukkan ke jeruji besi, terbata-bata.
“Tidak mungkin,” Refli tidak setuju pernyataan kawannya.
“Walaupun negeri kita bobrok dan masih sering terjadi plagiat di antara pengarang gadungan, dengan cara lain yang lebih halus, tidak menggunakan nama orang lain. Nama Suti memang dikenal beberapa media, tapi bukan sebagai cerpenis, melainkan seorang ilustrator. Jadi tidak masuk akal apa yang kau katakan.” Refli memejamkan mata, mengingat kembali masa terjadinya pembunuhan itu.
“Kalau ia benar masih hidup, terus siapa yang kita bunuh itu?” Ketiga orang itu sama-sama berpikir, strategi apa lagi yang akan diatur selanjutnya untuk keselamatan mereka. Di dalam kepala mereka masing-masing terisi setumpuk kegelisahan.
“Apa pun yang terjadi, kalau perempuan itu masih hidup, kita harus segera melenyapkannya!” Sambil Refli mengelus-elus jenggotnya yang berdosa walaupun sering tersentuh air wudu.
“Kalau dia masih hidup, aku bisa mati di tempat, karena selain kalian, cuma dia dan Marsinah yang tahu, akulah yang memerintah membunuh Bupati yang jujur itu.” Pak Johan yang sudah turun dari jabatannya mondar-mandir tak tenang. Suasana hening. Ketiganya sama-sama mengerutkan kening.
“Ya, kan kau yang membunuhnya. Jadi kau sendiri yang harus bertanggung jawab, Johan.” Dalam keadaan ketakutan seperti itu, Marlis mencoba mundur dari masalah.
“Kau kira, kalau aku tertangkap, tidak menyebut nama kalian, kita kan bekerja sama dalam hal itu agar aku terpilih jadi Bupati, dan kalian juga dapat jabatan. Lagian pelakunya kan kalian,” Pak Johan menunjuk kedua temannya dengan perasaan marah.
“Itu kan atas perintahmu,” jawab salah seorang, yang disetujui seorang lagi.
“Pokoknya kalau rahasia yang kita tutupi dibeberkan perempuan itu dengan bukti-bukti konkret, kita bertiga sama-sama diringkus dalam penjara.” Pak Johan bertambah panik.
“Kita harus bisa cari solusi secepatnya, bagaimana supaya selamat.”
Kesimpulan yang mereka dapat dalam pertemuan itu, mereka sepakat untuk menyelidiki keberadaan Suti. Kalau Suti benar-benar masih hidup, baru mereka beraksi menggunakan jurus baru untuk melukai Suti, dan mungkin bisa jadi membunuhnya lagi untuk yang kedua kali.
* * *
Pak Johan melihat Suti di pasar, membuat ia kocar-kacir. Begitu Suti pergi, ia menampakkan wajah kembali, jalannya seperti mau berlari. Di parkiran tiba-tiba ia bertemu Suti lagi yang membuat jantungnya hampir copot. Suti tersenyum saja melihat ia buru-buru masuk ke mobil.
Ia langsung menuju rumah kawannya yang ikut terlibat dalam pembunuhan itu. Sutilah satu-satunya saksi yang melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana suruhan Pak Johan menghabisi target dengan sadis menggunakan senjata api pemberiannya. Dan akhirnya Suti juga terpaksa dibunuh malam itu setelah ia sempat melapor ke Marsinah. Sebelum peristiwa pembunuhan itu diangkat jadi berita, Marsinah juga ikut tewas.
“Benar, Suti masih hidup. Aku baru ketemu di pasar. Dia pasti mau balas dendam. Apa yang harus kita lakukan sekarang?” Wajah Pak Johan semakin pucat, napasnya mendengus-dengus, raut ketakutan jelas terpampang di wajahnya.
“Secepatnya juga kita harus membunuhnya!” Perintah Refli.
“Bagaimana kalau ia hidup lagi?”
“Tidak mungkin,” jawab seorang lagi, menghidupkan rokoknya.
“Tidak mungkin bagaimana, sekarang juga dia masih hidup setelah dibunuh.” Pak Johan menghapus keringat yang mengalir di keningnya menggunakan sapu tangan. Dengan perasaan tak tenang, ia memasukkan kembali sapu tangan basah itu ke kantongnya.
“Kita pasti tertipu.”
“Tertipu bagaimana maksudmu, Refli?”
“Ada yang tidak beres dalam pembunuhan itu. Walaupun sekarang kita sudah tidak berkuasa, kita tetap bisa mencederainya.”
Hening sesaat. Lalu mengalir satu ide dari kepala Refli.
“Sebaiknya kita harus selidiki dulu. Siapa tahu dia bukan Suti yang sebenarnya. Wajahnya saja mirip.”
“Terus kenapa ia tersenyum ketika melihatku waktu di pasar itu? Berarti ia mengenaliku,” pertanyaan Pak Johan langsung dipotong.
“Aku setuju denganmu, Refli. Bisa jadi dia Suti yang lain. Dan semua omongan Johan ngawur tentang Suti. Jelas-jelas kalian tahu bagaimana cara kita membunuh Suti.” Mereka sama-sama mengingat kembali tragedi itu. Suti yang berdarah jatuh di atas aspal. Kepalanya yang terbentur masih diinjak.
“Kita harus cari akal, bagaimana supaya kita bisa segera ke kampungnya memastikan apa dia benar sudah mati atau masih hidup.”
“Kalau membuat warga curiga, sama saja kita bunuh diri,” bantah Pak Johan.
“Itu lebih baik daripada orang lain yang melakukannya,” balas Marlis. Pak Johan yang tidak setuju dengan keputusan itu semakin pusing, tapi ia terpaksa mengikuti perintah Refli pergi ke kampung Suti karena tidak ada pilihan lain. Mereka pergi bertiga dengan sebuah mobil milik Pak Johan.
* * *
Kampung itu di bawah Gunung Pasaman. Sungainya yang panjang begitu jernih. Para pedagang jeruk manis berdempetan di pinggir jalan, di bawah tenda kecil menjual dagangannya yang masih segar, diletakkan di atas meja disusun rapi.
“Numpang nanya Buk, apa Ibu kenal dengan Suti?” Ibu penjual jeruk manis itu menatap Pak Johan dan kawannya.
“Suti anaknya Bu Merlis?” Tanya ibu itu balik. Lelaki itu terdiam menatap kawannya minta jawaban. Yang ia tahu hanya Suti, dan tak tahu silsilah keluarga perempuan itu, termasuk nama ibunya.
“Mungkin iya, Buk,” jawab Pak Johan dengan sedikit ragu.
“Bapak ini aneh, mencari orang yang tak dikenal. Ada perlu apa?” Johan merasa dihardik, tak tahu harus jawab apa. Refli dan Marlis yang dari tadi diam terpaksa ikut menengahi.
“Benar, Buk. Suti anaknya Bu Merlis. Dia saudara saya, Buk. Nama saya Marlis.” Refli mencoba membantu menggunakan nama kawannya.
“Kalian lurus saja dari sini, terus ada simpang, belok kiri. Nanti kalian temukan rumah bercat biru, di depannya pohon mangga. Itu rumah Vera,” ucap ibu itu menjelaskan.
“Kami cari Suti, bukan Vera, Buk,” tutur Marlis, karena ia rasa ibu itu salah menyebut nama. “Sama saja, Vera itu kakaknya Suti, tanya saja Bapak ini kalau tak percaya.” Refli hanya mengangguk sok tahu. Untung saja bukan dia yang mengutarakan apa yang dikatakan Marlis. Kalau itu terjadi, tentu saja kecurigaan semakin bergemuruh di dalam hati ibu itu terhadap Refli yang mengaku saudara Suti, tapi tidak kenal dengan kakaknya Suti, bisa membuat perjalanan mereka semakin tersendat-sendat. Mereka bertiga pergi dengan hati cemas, memastikan apakah Suti yang mereka bunuh benar masih hidup.
* * *
Rumah biru itu berukuran kecil. Halamannya ditanami rumput hias yang dikelilingi bunga-bunga merah yang tertanam dalam pot. Pagar rumah itu terbuat dari bambu yang sudah dipoles.
“Assalamualaikum,” dari luar pagar Refli mengucap salam. Perempuan tua baru saja keluar setelah membuka pintu. Ia memperhatikan lekat-lekat ketiga orang itu. Ia tak mengenalnya.
“Apa benar ini rumah Suti, Buk?” Perempuan tua yang memakai kerudung lusuh itu mengangguk.
“Untuk apa mencari cucuku?” Perempuan tua itu belum juga membukakan pagar.
“Ada perlu sedikit, Buk. Mau ngomong sebentar,” tutur Pak Johan ingin memastikan apakah Suti itu benar Suti yang dibunuhnya.
“Untuk apa ngomong dengan anak sekecil itu?” Ibu tua itu memanggil cucunya dengan suara lemas. Suti yang lagi bermain dengan teman sekelasnya buru-buru datang, membawa mobil-mobilan milik temannya.
“Ada apa, Nek?” Tanya anak kecil itu, kemudian menatap Pak Johan dan kawan-kawannya. Debu masih menempel di pipi Suti.
“Maaf, Buk, kami salah orang,” ucap Marlis lega, karena ia yakin Suti benar-benar sudah mati, dan mereka bertiga selamat. Tapi lain yang terjadi dengan Pak Johan. Ia teringat pada Suti yang ia lihat di pasar itu. Ia yakin itu pasti Suti, walaupun Suti jadi-jadian, yang penting dia yakin itu Suti yang mengancam keselamatan mereka.
* * *
Malam itu, Pak Johan tidur sendirian di rumahnya. Seseorang datang mengetuk pintu tanpa mengucap salam. Tak mungkin istri dan dua orang anaknya yang ia yakin masih berada di luar kota. Pelan-pelan ia yang bergetar bangkit dari tempat tidur, membuka pintu dengan gerak ketakutan. Ia melihat wajah Suti yang menerobos masuk menghidupkan lampu dan duduk di atas sofa.
“Pak Johan, ketahuilah aku bukan Suti, tapi Marsinah. Aku memakai wajah kawanku yang sudah kau bunuh dengan caramu yang sadis. Setelah itu, aku juga kau perintahkan untuk dibunuh. Kau tak usah bertanya bagaimana caraku memakai wajah Suti. Kau tak perlu tahu itu.”
“Untuk apa kau datang kemari, Marsinah? Kau sudah mati.” Pak Johan yang ketakutan tak mampu melawan. Ia memaksakan diri mengusir rasa takut yang menyelimuti dirinya.
“Aku memang sudah mati, sekarang aku jadi hantu. Asal kau tahu Pak Johan yang bodoh, hantu tidak harus bangkit dari kubur berwajah jelek bercampur lumpur dan berbau busuk. Aku hantu yang turun dari langit untuk membunuhmu dan kawanmu secara bergilir. Aku juga mau membalaskan dendam temanku, Suti, yang kau habisi tanpa perasaan.”
“Bukan aku yang membunuh kalian.”
“Ya, tapi itu terjadi atas perintahmu, keparat,” Pak Johan mendadak berdiri. Ia tak mau mati konyol.
“Aku tidak percaya dengan omong kosongmu. Tidak ada orang yang sudah mati kembali lagi.” Ia mengangkat kursi, melempar Marsinah, dan ia merasa melempar Suti. Secepat kilat Marsinah mengelak.
“Pak Johan yang tolol, asal kau tahu, ada kehidupan kedua setelah kematian yang pertama.” Tangan Marsinah yang masih memakai wajah Suti mencekik leher Pak Johan. Lidahnya menjulur keluar.
Depri Ajopan, SS, lulusan Pesantren Musthafawiyah Purba-Baru, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Menyelesaikan S-1 Program Studi Sastra Indonesia di Universitas Negeri Padang. Menulis fiksi dan diterbitkan di sejumlah media. Ia bergiat di Komunitas Suku Seni Riau dan mengajar di Pesantren Basma Darul Ilmi Wassa'adah, Kepenuhan Barat Mulya, Rokan Hulu, Riau, sebagai guru bahasa Indonesia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo