Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BARANGKALI karena pengaruh suasana tempatnya bekerja,
pergaulannya dan keterlibatannya pada urusan para seniman yang
suka berkumpul di Balai Budaya, Jakarta, Sumartono (kelahiran
Madiun 42 tahun lalu) terjun ke dunia seni lukis. Meski baru
sekitar setahun melukis secara sungguh-sungguh, pengurus Balal
Budaya sejak 1969 ini menghasilkan lukisan yang tak
mengecewakan. Dan gaya lukisan begitu biasanya disebut gaya
naif.
Pada dasarnya seorang pelukis naif bermaksud melahirkan bentuk
serealistis mungkin. Tapi modal pengetahuan teknis formal
kesenilukisannya minim sekali. Jadilah lukisan-lukisan macam
karya Henry Rousseau (biangnya lukisan naif) atau Grandma Moses.
Ciri utamanya bentuk-bentuk selalu digambarkan secara detil,
cenderung dekoratif. Rasa ruang lebih muncul dari cara
meletakkan obyek, daripada perspektif. Dan kalau melukis
manusia, lemah anatominya.
Semua ciri itu memang dipunyai lukisan Sumartono. Pepohonan
dalam pemandangan alamnya, daunnya dilukis satu-satu. Anak-anak
atau figur yang lain selalu menunjukkan kelemahan pengetahuan
anatomis. Dan ada semacam rumus dalam pewarnaan: langit selalu
biru kekuningan, pohon-pohon hijau, kuning dan coklat.
Kemenarikan lukisan naif terletak pada keluguannya. Ia menangkap
dunia dengan mata kanak-kanak.
Klenteng adalah lukisan Sumartono yang kiranya paling berhasil.
Didominasi merah jingga, gambar hiasan sebagaimana lazimnya
terdapat dalam klenteng muncul memberikan suasana keseluruhan.
Adapun Irsam, 37 tahun, pelukis yang pernah memenangkan gelar
lukisan terbaik dalam Pameran Besar Seni Lukis Indonesia 1974,
masih seperti dulu juga: dekoratif, mengambil ragam hias sebagai
motif, disusun dengan keseimbangan yang pas, dan sering
berkomposisi simetris.
Ada gejala perkembangan baru: topeng-topeng yang dideformasi
hanya menjadi bidang-bidang tanpa mengingatkan sesuatu bentuk.
Dan komposisi yang memanjang vertikal, yang tak lazim pada seni
lukis modern, memberikan suasana tersendiri.
Memang karya Irsam belum jelas benar arahnya--baru gejala. Dan
Sumartono pun memang tidak sebesar Henry Rousseau. Tapi,
hadirnya lukisan naif dalam pameran berdua ini, bagaimanapun
memperkaya keragaman seni lukis kita.
H/BB
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo