Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Membebaskan Gerak, Menolak Ornamen

Festival tari kali ini sebagian membawa kecenderungan baru, lebih esensial, dan tak semata bertumpu pada teknik.

19 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di bibir panggung, seorang perempuan membaca puisi. Darinya, berlarik-larik kata meluncur takzim. Sebuah pencapaian yang dihasilkan dari persekutuan ketenangan membaca dan kekuatan kata. Dua lembar kertas telah habis terbaca. Di lembar ketiga, sesosok tubuh muncul di belakangnya, berjalan tenang, dan diam di tengah panggung, untuk memulai sebuah gerakan improvisasi.

Tubuh yang menari itu Ming-Shen Ku, koreografer perempuan Taiwan. Ia tampil membuka Indonesian Dance Festival VII/2004 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, pertengahan minggu lalu. Karya Ming-Shen Ku yang diberi judul Beyond Silence itu bersanding dengan 11 karya koreografer dalam negeri dan tiga karya koreografer asing lainnya, Takiko Iwabuchi (Jepang), Min Tanaka (Jepang), dan Gerard Mosterd (Belanda).

Beyond Silence ditarikan tiga wanita berpakaian kasual (kemeja putih dan celana panjang hitam dan abu-abu): Ming-Shen Ku, Anli Su, dan Yau Chen—pembaca puisi yang ikut menari di bagian akhir. Karya ini diciptakan dengan pendekatan contact improvisation, sebuah konsep yang diprakarsai Steve Paxton, koreografer postmodern asal Amerika. "Saya hanya menyusun struktur berupa rangkaian cue," ujar Ming-Shen Ku selepas pertunjukan.

Struktur itu tersusun dari sebuah ide perihal eksistensi. Ku menyusunnya lewat sebuah puisi tentang pertanyaan diri, berkelindannya tiga tubuh dalam gerak, dan setangkai bunga. "Bunga adalah komunikasi itu sendiri," kata Nona Ku, peraih gelar master of fine arts dari Universitas Illinois, Amerika. Hinggap bergantian di jari-jari mereka, bunga itu seolah bahasa yang tersampaikan dan diterima ketiganya.

Konsep contact improvisation menjadi sangat efektif dalam Beyond Silence karena Ku mengisinya dengan bahasa gerak yang berangkat dari teknik release dan seni bela diri. Ketika diciptakan Steve Paxton pada 1972, contact improvisation merupakan metode gerak yang sangat terpengaruh naturalisme Asia seperti tai chi dan aikido. Paxton menyajikan tari sebagai gerak alami, sesuai dengan karakter setiap pelakunya. Hasilnya, kebebasan ini memunculkan kemampuan untuk memperhatikan dan bereaksi, ketimbang memanipulasi dan mengarahkan tarian. Ann Cooper Albright, dosen program teater dan tari di Oberlin College, Ohio, bahkan menyebut metode ini sebagai bentuk tari yang demokratis dan tanpa pretensi.

Kekuatan Beyond Silence tidaklah semata perkara teknik. Ku memakai metode ini untuk menampilkan sebuah puisi interior yang berangkat dari pencarian ke dalam diri. Tak ada keinginan untuk bermegah-megah di dalamnya.

Itu berbeda dengan beberapa karya Indonesia yang tampil. Ritus Legong (Kadek Suardana), Iradad (Asnawi Abdullah), Dia Ada tapi Tak Nyata (Lenny Herviah), dan Bedhaya Layar Cheng Ho (Bambang Besur Suryono) masih menekankan diri pada ornamentasi, tema besar, keindahan artistik, dan keriuhan, seolah takut untuk membiarkan panggung kosong. Namun tidak semua karya Indonesia yang tampil demikian. Hanny Herlina, I Nyoman Sura, dan Ali Sukri adalah contoh koreografer yang lain itu.

Berjudul Touch, karya Hanny berangkat dari Music for Multiple Viola (2000) karya Tony Prabowo. Komposisi musik biola ini terdiri atas tujuh bagian. Yang diambil Hanny hanya bagian tiga, lima, dan tujuh. Bagian tiga berdasarkan natural harmonics dan artificial harmonics. Bagian lima dimainkan dengan teknik dodekafoni. Dan terakhir, pada bagian tujuh, biola dimainkan dengan modus tujuh nada. Pada bagian ini, digunakan teknik permainan Bartok pizzicato, tremolo, dan portamento: setiap pemain hanya memainkan satu nada yang berbeda.

Bentuk komposisi musik ini diadopsi Hanny ke dalam gerak. Ia menjadikannya sebuah struktur gerak yang lambat-cepat-lambat. Alumni tari Institut Kesenian Jakarta ini mengisi struktur dengan gerakan tari Sunda dan Bali. Tak ada tema atau narasi di dalamnya. Karya ini melulu dihasilkan dari persentuhannya dengan musik.

Demikian pula I Nyoman Sura, yang terinspirasi perjalanan bulan. Ia membentuk bulan dengan tubuh dan kostumnya. Lewat dua bilah bambu panjang yang dibentangkan di bawah rok lebarnya, dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar ini membentuk siklus bulan, dari purnama hingga sabit, dalam karya Bulan Mati. Inspirasinya sendiri datang dari film surealis The Cell yang dibintangi Jennifer Lopez. Sedangkan Kaca milik Ali Sukri (Padang Panjang) dipersembahkan sebagai intensitas gerak akrobatik yang mengandalkan kelenturan tubuh.

Dengan fokus yang tegas, mereka bertiga berhasil untuk tidak menjadikan elemen tradisi hanya sekadar ornamen. Mereka telah menggunakan gerak tradisi sebagai salah satu teknik gerak, seperti yang dilakukan Ming-Shen Ku dan Min Tanaka. Sebagai pendiri Tokason Butoh Troupe, Tanaka menggunakan butoh untuk menghasilkan intensitas gerak improvisasi selama 70 menit dalam In Love with the Locus. Penampilannya di Gedung Kesenian Jakarta membuktikan senioritasnya di dunia tari internasional. Lelaki berusia 59 tahun ini menggedor situasi psikologis penonton dengan gerakan teramat lambat, gamang, repetitif, tapi dengan bobot yang konstan. Hasilnya adalah sebuah puisi gerak yang kompleks tentang kerapuhan, kesedihan, tapi juga kegembiraan permainan.

Penampilan Tanaka dan Ming-Shen Ku memang berhasil menyelamatkan Indonesian Dance Festival, yang kali ini tak banyak mengundang koreografer asing seperti penyelenggaraan sebelumnya. Penampilan mereka berhasil memperlihatkan bagaimana kesederhanaan dan interioritas lebih bermakna ketimbang mengejar kemegahan tampilan. Masukan inilah yang memang memaknai penyelenggaraan sebuah festival internasional.

F. Dewi Ria Utari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus