Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
1903-1918. Pembelehan Radja Ka-dja. Tulisan lusuh—dengan ejaan lama—itu dapat dibaca di din-ding luar sebuah bangunan di kawasan Jagalan, Solo. Dari zaman Belanda sampai sekarang, tempat itu m-asih menjadi tempat penjagalan sapi. Ba-ngunan itu memiliki ruangan kuno yang dilengkapi roda-roda katrol de-ngan rel-rel besi.
Tiap malam, sapi-sapi digelandang dari kandang melalui lorong. Sampai di ”hall pembantaian” itu, sapi-sapi digorok, disembelih. Badannya ditancap-kan pada lengkung-lengkung tajam besi di roda-roda katrol, lalu dikerek. Dan dengan posisi bergantung, sapi-sapi tanpa kepala itu diputar berjalan dari satu ruang ke ruang lain.
Di dalam ruangan berbau anyir itu, selama sebulan ini penari Solo, Eko Supriyanto, menggembleng menciptakan koreografi. Bersama rekan-rekannya, ia bergelantungan di roda-roda katrol, membuat komposisi dari kotak-kotak saren, darah yang membeku. Ia juga la-tihan menjagal dan menguliti. ”Saya mencoba meraup darah dari rongga le-her sapi, juga mengapak tulang-be-lu-lang menjadi dua bagian,” katanya.
Itulah persiapan Eko Supriyanto men-jadi sosok Rudiro, yang merupa-kan personifikasi Rahwana dalam film teranyar Garin Nugroho, Opera Jawa: Sinta Obong. Untuk peringatan 250 tahun Mozart di Wina 2006, Peter Sellars, sutradara opera ternama, memilih para sineas dunia untuk membuat sebuah film bertema musikal. Garin terpilih bersama Bohman Gobadi (Iran), Mohamad Saleh (Afrika), Tsai Mi Liang (Taiwan), dan Apichatpong Weera-sethakul (Thailand). ”Saya ketemu Sellars awal tahun ini saat bersamanya diskusi di Amsterdam tentang pembunuhan si-neas Theo Van Gogh,” kata Garin.
Syuting baru dimulai September nan-ti. Pekan lalu Garin dan krunya meninjau calon lokasi di Solo-Yogya, antara lain di daerah Tembi, daerah Kaso-ngan, kawasan Candi Plaosan, dan kawasan Pabrik Gula Madu Kismo. Bisa disebut film ini separuhnya bakal berisi ade-gan tari dan musikal. Dialog pun da-lam bentuk tembang. Maka, hampir seluruh pemeran film adalah penari.
Kisah utama film ini tentang seorang pe-rajin gerabah bernama Setio dan is-trinya, Siti, bekas primadona wa-yang orang. Seorang pemilik penjagalan sa-pi, mafia kampung bernama Rudiro, berusaha merebut Siti. Ia mengirim bing-kisan baju tari indah dan seorang penabuh gamelan tua ke Siti. Kisah ini membawa ketiganya, adegan demi ade-gan, dalam lakon Ramayana. Setio menjadi Rama, Siti menjadi Sinta.
Sebagai Setio (Rama) adalah Miroto, penari alusan Yogya. Sementara Sinta diperankan bekas putri Indonesia, Artika Sari Devi. Dalang Slamet Gundono akan menjadi pewarta yang membagi cerita menjadi tiga babak. Masing-m-asing penari untuk kebutuh-an film ini menciptakan sejumlah koreo-grafi khusus.
Selain adegan di tempat penjagalan di atas, Eko sebagai Rudiro alias Rahwana, misalnya, menyiapkan adegan pe-perangan. ”Untuk perkelahian, saya mengambil gaya free dance Broadway, antarkelompok berhadap-hadapan,” tuturnya. Akan halnya Miroto, selain menciptakan koreografi bagi Rama, juga untuk Sinta. Miroto, misalnya, sebagaimana upacara penyucian Buddha, bakal memberikan beras di dahi Sinta, dan menciptakan koreografi benang, yang ditarik sana-sini membentuk sarang laba-laba yang mengelilingi-menjaga Sinta.
Retno Maruti, yang berperan sebagai ibu Rahwana, menyiapkan koreografi mengekspresikan kegelisahan seorang ibu melihat kisah cinta putranya tak sampai. Akan halnya Nyoman Sura, pe-nari Bali yang dikasting Garin sebagai Lesmana, ditugasi mencipta koreografi tentang kesia-siaan mencegah Siti tak keluar rumah. Ia bakal membuat lingkaran-lingkaran benda-benda alam dari tanah dan kencur. ”Saya berangkat dari konsep sesaji di Bali,” k-atanya.
Lalu Jecko Siampo, penari asal Fak-fak, Papua, terpilih sebagai Hanuman, yang akan memimpin pasukan kera. Ia diminta membuat koreografi yang para penarinya mengguna-kan bahan tanah, menggambari tubuh me-reka seperti dalam kultur Papua. ”Garin memilih saya menjadi Hanuman setelah melihat penampilan pementasan saya, In Front Papua,” kata Jecko sembari terta-wa-tawa karena ma-sih tak mengerti bagaimana dia h-arus me-nembang Ja-wa.
Sementara itu, figuran pasukan kera akan memakai para penari Soreng warga Desa Gejayan, lereng Merbabu, yang selama ini dibina oleh budayawan Sutanto. “Ratusan orang pun bisa saya siapkan” kata Tanto. Seluruh aransemen tembang bakal ditata oleh Rahayu Supanggah. Kostum yang dirancang Samuel Watimena rencananya tentu saja tidak seperti wayang orang Bharata, tapi cenderung gabungan antara avant garde dan etnis.
Menciptakan koreografi dengan rata-rata 3 menit rupanya cukup sulit. Sebab, selama ini para penari terbiasa dengan durasi lama. ”Nanti mungkin ya kita menari lima menit, tapi hasilnya terus diedit,” kata Miroto. Agar koreografi para penari ini membentuk kesatuan, Tri Sapto, yang dulu pada 1970-an menjadi Hanuman di panggung sen-dratari Prambanan, ditunjuk seba-gai koordinator. Sedangkan Arswen-di Nasution, aktor utama Teater Mandiri, menjadi pengawas pemeranan. Mereka berdua bertanggung jawab menggem-bleng Artika Sari Devi, yang tak memi-liki dasar tari, agar dalam beberapa minggu ini cakap menembang dan menari.
Garin, seperti biasa, ingin filmnya penuh penonjolan visual. Menurut Garin, Sinta Obong direncanakan selalu berkesinambungan di antara ade-gan, ko-reografi, sampai musik. Syut sel-alu akan diawali dengan menyorot kegiat-an dengan properti tertentu. Materi pro-perti itu kemudian menjadi bahan utama koreografi. Misalnya, ada adegan makan dengan memakai pincuk—daun pisang yang dibentuk—lalu pincuk-pincuk dikembangkan menjadi koreo-grafi topeng beraneka ragam. ”Saya me-makai elemen-elemen bunyi dari gentong keramik pecah, sapi disembelih, berbagai permainan anak tradisi,” kata Rahayu Supanggah.
”Yang sulit adalah menyambung adeg--an sehari-hari menjadi koreogra-fi,” Garin mengakui. Karena itu, ia me-mi-lih kamerawan asal Malaysia, Teoh Gay Hian—ia sering membuat iklan untuk televisi swasta kita—yang menurut dia andal pada detail. Kamera akan mengikuti secara intim gerak para pe-nari. ”Bukan tidak mungkin antara koreografer dan kameraman terdapat perbedaan angle. Itu nanti kita didiskusikan,” kata Miroto.
Garin juga merencanakan filmnya banyak memakai bahasa metafora. Untuk itulah ia mengajak sejumlah pe-rupa papan atas Indonesia menciptakan instalasi pada adegan-adegan tertentu. Instalasi bukan sekadar aksen, tapi juga bahasa gambar utama. Para perupa ini diberi kebebasan menafsir. Dalam sebuah adegan di sebuah rumah di depan Candi Plaosan, direncanakan Retno Maruti menembang di depan me-sin jahit. Lalu, kain yang dijahitnya menje-lujur jauh ke luar rumah, memben-tuk sebuah karpet panjang. Perupa senior Sunaryo direncanakan bakal membu-at instalasi kain merah sepanjang 1 ki-lo--meter yang melewati sawah-sawah, pagar, pepohonan.
Nindityo, misalnya, kebagian membuat instalasi untuk adegan menjaga Sinta. Ia memikirkan akan menempatkan kursi goyang—yang lalu ada sosok deformasi manusia terkulai duduk—sebagai latar tarian Sinta. Agus Suwage bersama Tita Rubi bakal membuat instalasi adegan saat Setio membuat patung Siti dari tanah liat. ”Kami akan membikin patung keramik sebesar manusia yang sedikit demi sedikit meleleh,” kata Suwage. Sementara itu, Entang Wiharso dan S. Tedy, untuk me--metaforakan penyerangan—meski belum pasti—sudah memiliki gagasan bakal memakai kurungan-kurungan ayam. Di dalamnya, ada orang meringkuk ditutup kain putih, lalu ”ditusuk-tusuk” hingga berdarah. Akan halnya Hendro Suseno akan membuat instalasi berupa boneka-boneka kapuk yang dilindas setrika arang kuno di sudut-sudut ruang penjagalan.
Di atas kertas, film ini sangat me-narik. Penuh visualisasi mistis, puitis, dan teror. Cerita diakhiri sebuah koreo-grafi penikaman Sinta. Rama mencungkil hati Sinta—dengan tusuk kon-de pem-beriannya yang dicabut dari rambut Sin-ta. Syuting memang masih sebulan lagi, tapi berkumpulnya para penari dan perupa itu sudah merupakan “ekspe-rimen” tersendiri. Jarang para seniman Indonesia bisa berkumpul begitu. Seolah karya ini bukan milik Garin pribadi, melainkan sebuah kolaborasi bersama yang dipersembahkan kepada Mozart, genius yang pada tahun-tahun terakhir kehidupannya menghasilkan The Magic Flute, La Clemenza di Tito, dan The Requiem.
Soal utama adalah bagaimana hasil ekspresi nama-nama besar dalam du-nia persilatan seni kita itu akhirnya bisa menjalin suatu simpul yang padu. Untuk seni rupa saja, sudah ada enam perupa pilihan Garin yang berbeda karakter. Tapi, inilah tantangan utama film. Sebab, kalau gagal, sebagaimana diucapkan Garin sendiri, arwah M-o-zart pun bakal cuma menyaksikan sendratari biasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo