Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA 2 Oktober 2009, Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menetapkan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi. Sejak saat itu, pemerintah Indonesia menetapkan 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional. Ada beragam cara untuk memperingatinya, misalnya memakai kain batik atau baju batik pada tanggal tersebut. Batik juga biasa dikenakan dalam acara-acara resmi dan formal. Ada pula yang sudah terbiasa memakai batik sebagai baju harian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Batik adalah salah satu teknik mewarnai atau melukis dengan canting dan bahan lilin panas pada kain. Teknik ini disebut teknik batik tulis canting, teknik yang paling tua dan tradisional. Tiap motif biasanya memiliki filosofi dan maknanya sendiri. Dibutuhkan keterampilan, ketekunan, dan kesabaran untuk membuatnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Batik mampu mempesona banyak orang, bahkan dari mancanegara. Presiden Afrika Selatan 1994-1999, Nelson Mandela, pun mencintai batik. Ia kerap mengenakan batik dalam berbagai acara resmi dunia, termasuk saat menghadiri Sidang Umum PBB. Pada 1997, ia datang ke Indonesia dengan mengenakan batik.
Karya seni berjudul "Collapse I-III" (kanan) yang dibuat oleh seniman Polandia Ilona Bolińska-Walendzik di pameran POLA the Exhibition of Polish Contemporary Textile Art and Batik di Museum Nasional, Jakarta, 6 Oktober 2022. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Pada akhir abad ke-19, ketersohoran batik menarik perhatian ilmuwan Polandia, Michał Siedlecki dan Marian Raciborski. Dua nama inilah yang disebut-sebut punya andil besar dalam hal batik di Polandia. Tiga buku tentang batik diterbitkan di Polandia. Rupanya, teknik membatik sama dengan teknik yang dipakai untuk mewarnai dan melukis telur Paskah orang Polandia.
Teknik ini menjadi inspirasi berkembangnya seni tekstil di Polandia. Para seniman ikut berkiprah. Untuk menyambut Hari Batik dan mempererat hubungan diplomasi budaya, Kedutaan Besar Polandia di Indonesia menghelat pameran batik dan seni tekstil kontemporer bertajuk “Pola”.
Dua lembar karya menyambut para pengunjung di pintu masuk ruang pameran. Salah satunya berwarna hitam kemerahan di bagian atas dan bawah. Di tengahnya terdapat warna seperti cahaya mentari yang memancar di ufuk. Satu lembar lain didominasi warna putih dan kecokelatan dengan sedikit kelir hijau di bagian atas. Keduanya adalah kain batik karya Anna Krzeminska berjudul Defeat, Victory. Panjangnya hampir 3 meter dengan lebar hampir 2 meter.
Sang seniman menggunakan bentuk sintetis yang maksimal mirip dengan pola batik Indonesia. Warna yang ditampilkan kuat, menembus kain, mempunyai dimensi simbolis serta spiritual. Paduan warna ini dihasilkan dari pengalamannya memperlakukan batik sebagai kaca patri. Krzeminska adalah peneliti dan pengajar yang mendapat gelar doktor dari Fakultas Desain Interior Akademi Seni Rupa Warsawa.
Sebanyak 35 seniman Polandia memamerkan karya seni tekstil kontemporer dan koleksi batik kuno dalam pameran yang dikurasi oleh Joanna Waclawek ini. Kedutaan Besar Polandia menggelar pameran ini di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, selama 4-30 Oktober 2022. Pameran dibuka oleh Duta Besar Polandia untuk Indonesia, Beata Stoczyńska. Sejumlah perwakilan diplomatik negara sahabat dan sosialita serta pencinta wastra Nusantara terlihat hadir pada malam pembukaan.
Karya seni berjudul "A Scraps of Earth: Indonesia and Poland" yang dibuat oleh seniman Aleksandra Herisz. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Waclawek mengatakan dalam pameran ini tidak terdapat batik-batik kuno dari Polandia. Dia mengungkapkan, teknik membatik dan batik memang pernah populer di negaranya. “Sebelum Perang Dunia II masih banyak, tapi setelahnya sudah jarang. Karya yang ada saat ini kontemporer semua,” ujarnya. Waclawek mengatakan pergelaran pameran ini dilatari seringnya ia mendapat pertanyaan tentang batik dan seni tekstil di Polandia. Ia lantas mengajak para seniman unjuk karya seni tekstil kontemporer.
Para seniman memamerkan ragam tekstil kontemporer dengan berbagai ide. Menurut Wacklawek, ada yang terinspirasi peristiwa politik di Polandia dan alam, mengikuti teknik tradisi, juga mencari bahasa kain tentang warna, komposisi, serta struktur. Ada beberapa karya khas bahasa kain. Ada juga karya tentang dan perwujudan dongeng. Perkembangan seni kain dan tekstil saat ini cukup marak dan terwujud dalam beragam karya.
Begitu masuk ke area pameran, pengunjung akan disambut karya batik dan tekstil kontemporer, bukan batik bermotif seperti batik-batik Indonesia. Ada karya batik berwarna cerah dengan lukisan motif anatomi tubuh berupa dua lengan lengkap dengan urat nadi dan saraf-sarafnya, lalu tubuh yang dipeluk di bagian pinggulnya, sebuah lanskap seperti gunung api yang tengah meletus, kemudian pita-pita dengan serangkaian tulisan.
Karya lain berupa sulaman dan lukisan pada kain felt berbentuk oval berwarna merah terhampar di lantai. Karya berjudul John’s Carpet ini adalah perwujudan ruang imajinasi sang seniman. Ia membuat gambar yang aneh, lucu, dan menarik dengan sulaman dan tempelan bermacam-macam kain.
Matylda Laskowska dengan karya berjudul Tradition menghadirkan sebuah instalasi bergambar banteng siap menanduk dengan linocut dan dicetak pada linen. Bentuknya banteng yang digantung. Tiga binatang lain diletakkan di bawah instalasi banteng. Dia ingin menyampaikan siklus tradisi dalam visualisasi literal dari penderitaan yang dialami banteng di Spanyol.
Pengunjung melihat karya seni di pameran POLA the Exhibition of Polish Contemporary Textile Art and Batik di Museum Nasional, Jakarta, 6 Oktober 2022. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Laskowska hendak menyajikan secara langsung hubungan manusia dengan hewan di sekitarnya, dengan siapa ia terhubung melalui berabad-abad koeksistensi dan sejumlah ketergantungan. Karya linocut itu dicetak pada linen karena linen adalah bahan yang dikenal dan dipakai manusia selama ribuan tahun. Penggunaan bahan asli untuk mencerminkan matriks menjadi signifikan terkait dengan polemik perlakuan terhadap obyek hewan dalam karya ini.
Karya lain adalah batu-batu berlumut berjudul Superorganism buatan Elwira Szitetner. Sang seniman membuatnya dari bermacam material untuk menggambarkan spesies di alam. Ada pula karya Anna Przybylo yang menggunakan beragam material berupa tiga instalasi yang digantung membentuk semacam kabut hitam yang bergulung-gulung berjudul The Black Fog Cycle. Karya ini menggambarkan relief dan kain artistik, menceritakan ilustrasi dongeng tentang kabut hitam, tentang taman yang indah untuk mengusir ketakutan, kesedihan, dan nuansa melankolis yang dilambangkan dengan kabut hitam.
Pada elemen pertama, rangkaian dibuat sedemikian rupa dengan dominasi warna cerah—masih ada rangkaian-rangkaian sederhana. Pada lapisan kedua, untaian menjadi makin rumit dengan warna agak gelap. Pada elemen ketiga, terlihat rangkaian yang rumit, kaku, dan berwarna gelap. Jika dilihat dari depan ke belakang, karya itu seperti gulungan yang menakutkan.
Terdapat pula sebuah buku tebal dan tua bergambar motif burung dan sulur tanaman berjudul Java. Di sampingnya, sebuah buku tipis dengan tulisan berbahasa Polandia dan gambar empat telur Paskah lengkap dengan motif-motifnya serta selembar selendang batik sutra bermotif bunga dan burung diletakkan di dalam lemari kaca kecil. Tiga artefak kuno yang sangat berharga.
Buku-buku tersebut adalah buku babon tentang batik Polandia tulisan Michał Siedlecki berjudul Java: Nature and Art yang diterbitkan pada 1913 serta Batik: Easter Eggs on Fabrics, Practical Tips tulisan Marian Wisz yang terbit pada 1923. Keduanya terbit di Kraków, Polandia. Adapun batik tersebut adalah koleksi Piotr dan Elzbieta Mystkowscy yang didapatkan di Jawa oleh Czeslaw Mystkowski, pelukis Polandia (1928-1937), dan dikirimkan kepada adiknya di Polandia.
Tiga artefak ini menarik perhatian di antara batik dan karya seni tekstil kontemporer dalam pameran yang diselenggarakan Kedutaan Besar Polandia di Indonesia tersebut. Artefak-artefak itu menjadi bukti sahih tentang batik atau teknik batik di Polandia. Buku-buku ini menerangkan teknik membatik di Jawa serta kesamaan pewarnaan kain batik dan telur Paskah menggunakan lilin.
Teknik membatik ini sempat populer di Polandia sebagai teknik pewarnaan kain. Hal ini diterangkan dalam buku yang ditulis Maria Wronska-Friend, antropolog dan kurator museum James Cook University, Australia, yang berjudul Art Drawn with Wax: Batik in Indonesia and Poland (2008). Tiga artefak ini diletakkan di tengah-tengah karya.
Beberapa karya yang dipajang dibuat menggunakan teknik batik. Sebagian besar karya lain adalah karya instalatif yang dikembangkan dari penggunaan tekstil, karpet, dan material lain, seperti kanvas. Jejak teknik membatik masih terdapat dalam beberapa karya seniman dengan motif abstrak, fragmen, dan lukisan kontemporer.
Karya seni yang berjudul "Superorganism" oleh Elwira Sztetner di pameran POLA the Exhibition of Polish Contemporary Textile Art and Batik di Museum Nasional, Jakarta, 6 Oktober 2022. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Lihatlah karya Aleksandra Herisz yang digantung menjuntai ke lantai, terlihat seperti pepohonan dengan batang berwarna putih keabu-abuan yang berdiri di salah satu titik ruang pameran. Ia memang melukis memakai teknik batik dengan motif pohon birch, pohon yang mengacu pada simbolisme pohon Slavia. Pohon ini dikaitkan dengan femininitas dan kultus ibu pertiwi Slavia. Herisz membuat batik bermotif pohon-pohon birch yang jangkung beserta morfologi batangnya dengan retakan-retakan, sedikit cabang, dan daun-daun berlatar warna kuning, merah, cokelat, dan hitam.
Dalam lukisan batik berjudul Among the Birches ini, sang seniman ingin menampilkan sisi personalitasnya yang berada di antara pohon-pohon birch tersebut. Seniman lulusan Sekolah Tinggi Seni Plastik Negeri Poznan dan Akademi Seni Rupa Wrocław ini lahir pada Maret, bulan yang sering disebut sebagai Bulan Pohon Birch atau Bulan Birch. “Saya suka berada di antara pohon ini, memasuki ruang mereka, menjalin hubungan dengan mereka. Kulit putih mereka menarik cahaya untuk memantulkan banyak warna,” tuturnya.
Karya Herisz lain adalah dua lembar kain berwarna tanah dan hijau berjudul A Scraps of Earth: Indonesia and Poland (2020). Karya yang terinspirasi oleh bumi, yang mempunyai warna berbeda, yang paling indah terlihat dari langit, menciptakan mozaik yang menarik, dan menjadi ciri khas masing-masing di suatu wilayah di dunia. Dari kejauhan, dua karya ini bak lukisan permadani berwarna cokelat tanah, sementara bagian yang hijau seperti petak-petak sawah dipotret dari atas.
Karya batik lain dibuat Iwona Bolinska-Walendzik berjudul Collapse I-III. Karyanya terdiri atas tiga lembar kain seri batik yang merupakan fragmen vitrase yang pecah dari katedral di Frombork, Polandia. Kaca berwarna-warni yang dihancurkan bertahan hingga beberapa abad dan kemudian berpindah kepemilikan. Karyanya memperlihatkan metafora sifat kehidupan yang fana dan rapuh. Pada lembaran kain katun itu terlihat dua sosok manusia. Salah satunya tertutup kepalanya dan tampak mukanya saja dengan tangan kiri mengacungkan pentungan dengan fragmentasi beberapa potongan tangan dan dinding. Adapun pada lembar lain terlihat sosok berbaju biru dengan ekspresi agak ketakutan duduk bersimpuh menelangkupkan tangannya.
Selembar batik lain karya Mirablle Plums berjudul End of the Summer memperlihatkan dua sosok manusia di bawah pohon nan rimbun di tengah semak belukar. Satu sosok laki-laki dengan posisi duduk memandang ke depan. Kedua tangannya diletakkan di lutut dan pahanya, sementara sosok lain terlihat agak berbaring dengan kaki tertekuk dan tangan sedikit berlipat.
Karya lain berupa rangkaian perlengkapan elektronik pada papan printed circuit board, tenunan yang tersusun dari lebih dari 80 ribu simpul potongan kulit berukuran 3 x 3 meter berwarna keabu-abuan. Karya berjudul Infinity ini terlihat sangat kompleks. Tujuh karya kecil lain berjudul Season dibuat dari potongan kartu berwarna cerah.
Ada juga karya patchwork, sulaman, dan bordir. Sebuah karya bordir melukiskan beberapa sosok laki-laki dan pemandangan. Lalu ada karya batik dalam warna monokrom yang menampilkan seri wajah manusia dengan berbagai latar belakang serta litografi pada kain yang memperlihatkan beberapa wajah, seperti foto dalam bingkai yang mulai kusam.
Yang menarik, di bagian belakang tergantung jahitan kain katun dan satin berukuran raksasa, 4 x 8 meter. Karya sulaman tangan pada kain katun dan satin bikinan Karolina Lizurej ini terasa puitis. Karya berjudul Some Stories to Tell ini mengacu pada sejarah pemberontakan Warsawa pada Perang Dunia II. Tak kurang 250 ribu orang meninggal dan kota hancur dalam 63 hari. Sang seniman menggunakan foto-foto pemberontak hitam-putih asli untuk membuat buku sketsa unik yang terbuat dari kain. Karya tersebut juga mencakup fragmen puisi penyair Polandia, Krzysztof Kamil Baczyński, yang meninggal pada hari keempat pemberontakan.
Sementara di Indonesia kita mengenal beragam bahan warna alami dari kulit pohon atau kayu seperti indigo, bakau, mangga, akar-akaran atau rimpang, daun, dan bunga, seniman Polandia, Anna Goebel, memanfaatkan kol merah. Selain menghasilkan warna alami, penggunaan kol terhubung dengan refleksi isu masalah konsumerisme dan organik. Ia mengeringkan, menjahit, dan seperti menggulung kol sedemikian rupa untuk menampilkan instalasi.
Di bagian samping di ruangan yang sama, barulah kita akan menemukan beberapa koleksi Museum Nasional Indonesia, yakni batik kuno pesisiran. Sayangnya, tidak ada keterangan batik dari Lasem, Rembang, Jawa Tengah, dengan ciri khas warna merah darah ayam (abang getih pitik) dari akar noni; batik Madura dari Pamekasan, Jawa Timur, dengan motif jagat kupu yang biasa dipakai dalam upacara; batik pesisiran utara Jawa yang bermotif tumpal; ataupun batik Indramayu, Jawa Barat, dengan pewarnaan alami bermotif iwak etong. Terdapat beragam gambar binatang laut, seperti udang besar dan kepiting, juga tumbuhan laut. Batik ini dipercaya membawa kemakmuran untuk nelayan jika dipakai selama melaut.
Ada batik Pekalongan, Jawa Tengah, di dalam lemari kaca. Selembar batik berwarna krem dengan gambar dan tulisan “Baloen” terlihat unik menarik. Pada kain batik itu, terdapat beberapa panel. Pada tiap panel terlukis sebuah balon udara yang dinaiki seorang manusia, sementara di kiri-kanannya berhias gambar bunga dan burung. Lukisan itu dipengaruhi motif Eropa dengan detail minimalis dan latar solid dengan hiasan segitiga di bagian pinggir. Batik ini mungkin dibuat untuk memperingati sebuah peristiwa khusus. Banyak sekali batik yang dibuat untuk acara khusus bagi pasar kolonial di Jawa.
Berada di ruangan tersebut, terasa ada kekontrasan dengan karya-karya lain yang dipamerkan. Di satu sisi, dipamerkan karya kain, tekstil, dan elemen yang mendekatinya yang digarap sedemikian rupa. Di sisi lain, pengunjung seperti ditarik ke ruang waktu masa lalu dengan koleksi batik Jawa kuno. Keduanya memperlihatkan betapa teknik pewarnaan, struktur, dan motif berkembang sesuai dengan waktunya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo