Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Mendorong buku untuk dibaca

Pameran buku di prj diikuti 300 penerbit. pt pustaka grafiti mengadakan diskusi buku agama. penerbitan indonesia ketinggalan. unas mendirikan pusat penerjemah nasional. gairah membaca meningkat.

8 Agustus 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEROMBOLAN anak sekolah menengah yang berseragam, Sabtu pekan lalu, membanjiri Aula A, PekanRaya Jakarta. Mereka, yang membolos dari sekolah, berdesakan di lorong kios-kios yang memamerkan tak kurang dari 25 ribu judul buku -- berlangsung sampai 10 Agustus ini. Di antaranya 5.000 judul adalah produksi 1986-1987. "Ini pameran bergengsi," kata Menteri Pendidikan & Kebudayaan Fuad Hassan, yang membuka acara. Pagi itu juga disemarakkan oleh Balet Betawi, gubahan Farida Feisol, plus musik pimpinan Ully Sigar Rusady. Di arena ini, PT Pustaka Grafiti malah menyelenggarakan Diskusi Buku Agama, Selasa ini, yang melibat Menteri Agama Munawir Sjadzali, Dr. Harun Nasution, dan M.A.W. Brouwer. Pameran diikuti tak kurang dari 300 penerbit -- dan 12 dari mancanegara. Mereka memanfaatkan 135 stand yang tersedia sebagai ajang promosi. "Kami menginginkan agar pameran ini berhasil jadi sarana promosi buku dan minat baca yang intensif di masyarakat," begitu ucap Drs. Arianto T., ketua panitia pameran. Dengan tema "Menuju Masyarakat Membaca", pameran Ikapi ini diharap, "Meningkatkan permintaan buku, memacu tumbuhnya industri buku, dan merangsang kreativitas penulisan." Menyimak harapan tersebut, lantas bagaimana kondisi perbukuan di negeri ini? Bagi sebagian masyarakat kita, buku masih komoditi di luar kebutuhan sehari-hari. Berdasarkan hasil poll TEMPO yang diedarkan Juni lalu, sebagian besar (44,%) responden membelanjakan sebatas Rp 10 ribu tiap bulan untuk keperluan membeli buku. Yang menghabiskan sampai Rp 50 ribu per bulan cuma 3,5% (lihat Mengukur. . . ). Dilihat jawaban responden yang mengisi angket itu ada yang berpendapatan minimal Rp 100 ribu per bulan, persoalan tersebarnya buku agar jadi bagian keseharian kita rasanya tak lagi melulu terhambat faktor daya beli seperti yang pernah disebut banyak pihak, dulu. Tetapi ini, "lebih karena prioritas kebutuhan," kata Ignas Kleden, staf LP3ES dan kolumnis, pada Sri Indrayati dari TEMPO. Pada kenyatannya, jumlah buku yang diterbitkan di Indonesia pada 1986 saja cuma 45 ribu judul. Diasumsikan masing-masing dicetak 5.000 eksemplar atau 10 ribu -- ini kalau bernasib baik masuk proyek Inpres. Tapi bagi negeri berpenduduk hampir 170 juta jiwa ini, dengan sisa yang masih buta huruf 8,74 juta (pada 1986), penerbitan buku sebanyak itu tentu belum memadai. Pihak Ikapi sendiri, misalnya, pernah mengatakan kepada pers, kita sangat jauh ketinggalan. bahkan, dibanding dengan India dan Malaysia, apalagi Jepang. Di negeri-negeri itu, dalam setahun rara-rata terbit satu juta judul buku. Dalam keadaan begitu pun, yaitu rasio penerbitan buku yang tak sebanding dengan jumlah penduduk, buku-buku itu baru habis terjual setelah dua sampai tiga tahun -- dan ini umumnya, di luar buku laris seperti kumpulan humor itu. Belakangan terbukti: buku laris tak melulu yang bertema lelucon atau yang santai-santai saja. Lihat, misalnya, buku Hatinurani Melawan Kezaliman -- kumpulan surat-surat Bung Hatta kepada Bung Karno, periode 1957-1965, yang disunting Mochtar Lubis. Buku terbitan Pustaka Sinar Harapan (PSH) 1986 itu sudah dicetak ulang tiga kali, masing-masing 5.000 eksemplar. Juga ada kabar bagus yang lain melalui mulut Manajer Pemasaran PSH, Tri Diah: buku Filsafat Ilmu, karya Yuyun S. Suryasumantri, sejak terbit 1985, kini mengalami cetak ulang empat kali, yang sekali cetak 5.000 eksemplar. Susulan seronok datang pula dari PT Pustaka Grafiti, anak perusahaan PT Grafiti Pers, yang menerbitkan majalah TEMPO. Melihat kekosongan dan langkanya buku ilmiah berbobot di pasar, direkturnya, Harun Musawa, memanfaatkan peluang ini. Semula, dengan menerbitkan buku-buku yang sebagian besar malah hasil penelitian atau disertasi itu, Harun yang gendut itu menyadari kemungkinan akan ketemu tembok pahit, di pasar. "Ternyata, dugaan itu keliru," ujar Harun pada Nadjib Salim dari TEMPO. "Buku-buku itu cukup laku. Bahkan, dari 60 judul yang sudah terbit, sekitar 50% dicetak ulang, dan 25% di antaranya cetak ulang beberapa kali." Misalnya Dolly (semula sebuah skripsi, penelitian mengenai kehidupan wanita tunasusila di kompleks Dolly, Surabaya), lalu Ikhwanul Muslimun, dan Permesta, Pemberontakan Setengah Hati. Di sisi lain, kata Harun lagi, "keuntungan yang kami terima dari menerbitkan buku jenis itu kurang dari 10%." Tapi dia tak sendiri. Dalam soal "untung kecil" ini, ada rincian dari G. Aris Buntarman, kepala pemasaran penerbit PT Gramedia. Aris mengatakan pada Moebanoe Moera dari TEMPO, biaya (rata-rata) untuk tiap judul adalah 10% untuk pengarang dan hak cipta (copy right), 10% PPN, 30% bahan baku, 30% rabat yang diberikan kepada toko buku, hampir 20% untuk karyawan, pemeliharaan gedung, dan lain-lain. "Berdasarkan rincian itu, untung 5% saja sudah bagus," kata Aris. Kata bekas guru SMA Kanisius Jakarta yang bergabung di Gramedia sejak 1977, titik impas bisa dicapai jika mencetak 3.500 eksemplar per judul. Promosi, faktor pendukung penting penyebaran buku-buku itu, ternyata hanya menyedot seputar 3% dari biaya -- paling tidak itu di Gramedia. Padahal, promosinya agresif. "Pola yang kami gunakan tak hanya sekadar informatif dan persuasif lagi. Juga agitatif," tutur Aris lagi. Dan ada cara lain yang ditempuh Gramedia. Yaitu menyelipkan buku di antara kue dan minuman, dalam sebuah keranjang bingkisan. Ini mengikuti kebiasaan yang sudah berlaku di Inggris. Pada Lebaran lalu, misalnya, cara itu sudah dilakukan. Lalu ada pula katalog, berbentuk buku, yang memilah-milah jenis buku hasil penerbit itu: khusus buku nonfiksi bidang sains, nonfiksi bidang bahasa dan sastra. Katalog yang dicetak mewah ini tak sekadar memuat judul buku, bahkan membeber ringkasan atau sinopsisnya. Bagaimanapun efektivitas promosi itu, kata Aris, 80% masih tetap bergantung pada media cetak. Buku bermutu tak selamanya datang dari para penerbit swasta yang kebetulan berafiliasi kepada bisnis media cetak tersebut. Awal Desember tahun lalu, Rektor Universitas Nasional Sutan Takdir Alisjahbana mendirikan Pusat Penerjemah Nasional (PPN). Dengan modal pertama Rp 100 juta dari Universitas Nasional, PPN merencanakan menerjemahkan 1.000 judul buku tiap tahun. Sementara ini, yang diprioritaskan buku rujukan (textbook) dan buku ilmu pengetahuan mutakhir. Pertimbangannya, "Untuk merebut ilmu pengetahuan modern dari bangsa lain," kata sastrawan berusia 10 windu ini. PPN disebutnya bukan proyek bisnis, tapi akademis. Dan buku-buku yang sudah diterjemahkan itu akan ditawarkan ke penerbit yang berminat. Atau kalau tidak, tutur Takdir, akan diterbitkan sendiri. Hingga Maret lalu, misalnya, sudah diterjemahkan 17 judul, dengan biaya per buku rata-rata Rp 3 juta. Berdasarkan gairah yang sudah bangkit itu, harapan pihak Ikapi untuk mendorong tumbuhnya industri buku boleh jadi tak bertepuk sebelah tangan. Tinggal kembali ke masalah lama: bagaimana minat konsumen, yang kian semangat melahap buku. Apalagi, sekarang ada buku laris, seperti Mati Ketawa Cara Rusia (Grafiti), Lupus -- sebuah serial, diterbitkan oleh Gramedia. Lantas disusul buku serius, semacam Teori Ekonomi dan Kebijaksanaan Pembangunan-nya Prof. Sumitro Djojohadikusumo, terbitan Gramedia, yang dicetak 5.000. Buku ini habis di pasaran dalam tempo satu bulan, Juli lalu. Pertanda minat baca menaik? Harun Musawa mengatakan, "Menurut saya, minat baca masyarakat sekarang ini masih sulit diduga. Apa yang bisa kita jadikan tolok ukur untuk melihat meningkatnya minat baca?" Tetapi jika berdasarkan poll TEMPO itu, indikasi ke arah sana jelas tampak. Alasan responden untuk beli buku ternyata lebih banyak, karena melihat masalah yang dikandungnya (42%), dan bukan sekadar karena judulnya (34,9%). Pertimbangan harganya? Ini di urutan belakang (7%). Bahkan pengarang atau penerjemah, sampul, plus kualitas cetak, bobot pengaruhnya untuk menentukan seseorang membeli buku, masing-masing 3,6%. Lebih jauh lagi, analisa Ignas Kleden, yang menyebut buku belum sebagai prioritas pembelanjaan, agaknya akan berubah. Sebab, dilihat dari lima prioritas pembelanjaan per bulan di luar kebutuhan primer, buku menduduki tempat teratas (63,5%). Berikutnya, 60,6%, adalah hiburan (kaset, video, bioskop, darmawisata), lalu alat rumah tangga (56,4%). Lebih menarik lagi, 50,4% justru membaca nonfiksi. Fiksi menjadi pilihan 41,5%. Ada benarnya. Buku, yang oleh Fuad Hassan disebut sebagai gejala kota, pelan-pelan akan berubah jadi barang bergengsi bagi banyak keluarga. Dalam banyak kasus, daya dorong menekuni buku memang harus berawal dari lingkungan keluarga. Mohamad Cholid, Laporan biro-biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus