SEMUANYA ANAKKU
Karya: Arthur Miller
Terjemahan: Asrul Sani
Sutradara: Aldisar Syafar
Produksi: Teater Remaja Jakarta.
***
ADA masanya tema perbenturan individu dan sosial terasa sangat
aktuil. Penjelajahan masalah kebenaran dan kepalsuan -- dalam
hubungan kepentingan pribadi dan nilainya di tengah hidup
bersama -- selalu peka, kapan saja terdapat kecenderungan umum
untuk "berbuat praktis", dengan "jalan apa saja", semata-mata
untuk diri sendiri. Tema itulah yang menyebabkan karya yang
dipentaskan grup ini (sebagai penampilan pertarna di TIM setelah
lulus Festival tiga tahun berturut-turut, 2628 Mei), terasa
mempunyai 'nilai lebih'. Ia menambah jumlah karya yang titik
beratnya tidak semata-mata terletak "hanya" di sekitar
penyajian.
All My Sons (1947), naskah sukses pertama dari Arthur Miller -
dan bukan yang terbaik -- bisa dilihat dalam 'corak Ibsen' oleh
temanya seperti di atas. Ini adalah cerita tentang Joe Keller,
pengusaha alat-alat pesawat terbang, yang di masa perang telah
menual 121 buah onderdil (kepala silinder yang kebetulan retak)
kepada Angkatan Udara AS--dan mengakibatkan terbunuhnya 21 orang
pilot. Termasuk yang jatuh adalah Larry, anaknya sendiri. Tetapi
Joe tidak harus bertanggungjawab. Sudah tersedia seorang bawahan
Herb Deever -- yang telah melakukan penjualan itu secara
langsung, dan karenanya pengadilan memilih dia untuk penjara.
Herb memang melimpahkan kesalahan itu kepada atasannya, yang
menurut dia telah menyuruhnya -- lewat telepon -- untuk
mengantarkan barang pesanan iu. Tapi bukankah pembicaraan
telepon tidak bisa menjadi bukti?
Masalahnya sekarang: bila akhirnya Joe bisa dibuktikan -- di
luar pengadilan -- sebagai orang pertama yang harus
bertanggungjawab, mengapa ia lakukan itu? Mengapa ia memberi
kesempatan kepada George leever, putera Herb membencinya
demikian parah? Alasan Joe, yang diberikan kepada anaknya yang
lain, Chris, adalah alasan seorang pengusaha yang telah
membangun dirinya dengan susah-payah selama 40 tahun--toh belum
tentu jitu. 121 kepala silinder retak -- dan itu berarti seluruh
bangunan 40 tahun itu ambruk hanya dalam lima menit. Kecuali
bila ia bisa "menyelamatkan"nya dengan menyuruh memperbaiki
sebisa-bisa, dan mengirimkannya pada saat dibutuhkan sambil
tetap memegang kepercayaan dan kontrak. Ia sendiri, anehnya,
tidak yakin alat-alat vital itu akan serta merta dipakai:
iaberharap beberapa waktu sesudah itu pekerjaannya akan sudah
jalan lagi dan ia bisa membuktikan bahwa relasi itu
membutuhkannya, dan akan melupakan "kesembronoan" yang akan
dibereskannya itu.
Sudah tentu perhitungan itu kasar sekali -- apalagi bagi
puteranya Chris yang veteran perang. Tetapi untuk seorang Joe,
apa kiranya yang lebih penting dari perusahaan -- yang sebentar
lagi justru akan diterimakan ke tangannya'? Dunia bagi Joe
adalah dunia usaha & keluarga: ayah dan anak. Sejak mulai
merangkak sebagai pengusaha, ia yang praktis bukan orang yang
berpendidikan dan tak punya "filsafat yang aneh-aneh", memegangi
hal itu sebagai satu-satunya ide. Tanggungjawab kepada tanah
air, ataupun kepada nyawa manusia seperti yang ditudingkan Chris
anaknya, memang masuk ke dalam telinganya. Tetapi ia toh tidak
berkehendak menciptakan kecelakaan. Ia sendiri mengasihi semua
pilot yang gugur itu ("Semuanya anakku", katanya). Dan selain ia
yakin bahwa anaknya Larry meninggal bukan karena pasal
silinder--yang hanya dipakai untuk jenis pesawat yang tak pernah
dikemudikannya, baginya 'berbakti kepada tanah air' itu omongan
yang agak sulit. "Perang dan damai adalah masalah dolar dan
seni". Juga: siapa yang bekerja tanpa dibayar apaapa dalam
perang ini? Bertruk-truk bedil dan alat-alat perang dikirim ke
front -- hanya setelah terjadi tawar-menawar harga antara
pembeli dan pedagang. "Kalau uangku kotor, maka di seluruh
Amerika tidak ada satu kelip yang bersih. Seluruh negeri harus
ikut kalau aku mesti masuk penjara".
Dan Chris pun loyo. Bukan karena ia setuju. Tetapi karena,
seperti dikatakan nya kepada Ann (anak Herb Deever dan bekas
tunangan Larry yang sekarang mau dikawininya): "Ini negeri
anjing-anjing besar. Di sini seseorang tidak lagi kita sayangi,
tapi kita makan. Cuma, sekali ini ada beberapa orang yang mati.
Dunia memang sudah begitu". Jadi, sebagai pelahiran sikap
"kekiri-kirian" Miller sehabis perang, yang dihadapi Chris
rasanya tak kurang dari sebuah "sistim". Meskipun di dasar hati
ada sesuatu yang sangat tidak beres, dan meskipun para tetangga
Joe -- di luar bisnis -- sebenarnya menuding keluarga ini.
Tetapi Joe harus salah. Dan Miller, berbelok dari Ibsen, dengan
cara yang tidak begitu bagus lantas memenangkan rasa
kesetia-kawanan tanah air -- atau kemanusiaan, satu hal yang
justru bisa diperdebatkan dalam konteks ini dari kepentingan
pribadi (plus "Sistim" maupun tidak). Ann, tunangan Larry dulu,
menunjukkan surat Larry yang ditulis di hari meninggalnya.
Katanya: betapa ia merasa malu mendengar ayahnya sendiri dan
ayah Ann tertuduh. "Setiap hari 3 - 4 pesawat jatuh, dan mereka
sibuk di sana - berdagang". Ia sendiri pun, seterusnya, sebentar
lagi akan terbang dan mungkin juga akan dikabarkan hilang.
"Kalau ayah ada di sini sekarang", kata Larry, "kutembak dia".
Maka pistol pun meletus--di belakang panggung. Joe menghukum
dirinya sendiri.
Masuk Dalam Masalah
Semua itu bisa diikuti jelas dari mulut para pemain. Sementara
para penonton duduk tenang untuk 2 1/2 jam di Teater Tertutup
syarat pertama untuk satu pertunjukan yang berhasil. Bila
terdapat kekurangan, maka itu pertama kali harus dicari pada
perimbangan "legitimasi" tokoh loe dan Chris. Dimainkan dengan
cukup bagus oleh Prijo S. Winardi, tokoh Joe (yang telah dirias
dan didandani begitu rupa sehingga kayak boneka) sebenarnya
bukanlah hanya seorang majikan. Bagian dari dirinya yang terasa
kurang sekali dikembangkan -- lebih dari sekedar teknik
pemunculan yang cukup -- adalah justru wataknya yang kukuh namun
bersahaja, yang disebabkan tak lain oleh latar belakang
pemikiran "seorang pekerja bengkel" yang jauh dari dunia
ide-ide. Hanya dengan "ciri petani" ini itu Joe akan lebih
merebut simpati penonton, dan tumbuh secara lebih kuat sebagai
eksponen konflik - manakala yang dihadapi Chris bukan sekedar
keyakinan yang bertentangan, tapi sebuah dunia yang sebenarnya
lain.
Tetapi lebih berat dari Joe adalah tokoh isterinya, Kate, yang
memegang peran penting dalam plot meskipun bukan dalam masalah.
Di panggung, nyonya ini terkesan tak lebih dari seorang
perempuan keras kepala, yang bersitegang melarang Chris
mengawini Ann karena ia menyatakan yakin bahwa Larry masih
hidup. Ia tampak semata-mata tokoh yang tak mau kalah dan tak
usah dikasihani - tak lain karena penonton kurang diberi
kesempatan melihat "dunia inspirasinya yang tak terkendalikan",
alias kehidupan 'dalam'nya. (Baginya, Larry harus tetap hidup
agar suaminya bukan seorang pembunuh). Kedua contoh itu hanyalah
menunjukkan betapa tantangan kepada akting dalam drama jenis
begini, berbeda dari "akting" hanya sebagai bagian kecil dalam
tontonan kontemporer milik sutradara (dan karenanya nilai
'bagus' dalam kedua jenis itu hakikatnya berbeda tingkat)
menjadi lebih berat. Bukan semata karena akting di sini
menumbuhkan plot. Melainkan juga lantaran ia masuk ke dalam
masalah sebagai penubuhan komponen.
Kedunguan Bebas
Tetapi pemahaman kepada masalah, bagi grup ini, kurang besar
dibanding rasa tertarik kepada "keindahan peristiwa". Sutradara
merobah bagian penutup drama. Sesudah bunyi tembakan,
diceritakan ibu Chris tercegak sambil mengucap: Joe, Joe...
dan kalimat-kalimat selebihnya boleh memberi kesan ia menjadi
gila (konsisten dengan kehidupan batin yang selalu diingkarinya
dengan sukses). Tapi dalam pementasan, yang gendeng justru
Chris (kira-kira karena menyesal menyebabkan ayahnya bunuh
diri). Ini mungkin dianggap "lebih sedih", sebab dengan
begitu Chris tak mungkin kawin dengan An (dan Ann bisa
menjerit kecil sambil memeluknya sebelum lampu mati). Padahal
siapa yang berkata bahwa peristiwa pada All My Sons lebih
penting dibanding masalah? Siapa yang berkata bahwa Miller sama
dengan Tennessee Williams, untuk sebuah penutup yang 'sayu'
misalnya? (Dan siapa yang berkata bahwa merobah-robah naskah
satu perkara sepele?)
Dialog tokoh dokter Jim, tentang kejujuran, yang diucapkan di
satu bagian sehubungan dengan diri Chris, juga diangkat
sutradara dan ditempelkan dibagian penutup sesudah Joe mati --
dihubungkan dengan diri Joe. Jim berdiri di atas serambi sotoh
( porch), sementara semua yang lain di bawah, dan dengan
"histrionik" mengkhotbahkan kalimat kejujuran itu -- " kata
mutiara" Miller yang kuno -- sambil menyulap sandiwara ini
tiba-tiba menjadi sebuah tragedi Yunani. Bahwa sutradara yang
muda itu perlu memindah dan menempel kalimat-kalimat itu, justru
menunjukkan bahwa masalah sentral lakon ini, perbenturan
individu dan sosial, memang tidak bisa dihabisi oleh term
kejujuran dan ketakjujuran -- dan bukan itu penutupnya. Tidak
ini bukan soal sloganistis "kreatifitas sutradara" yang aleman
itu. Ini adalah soal adakah orang menginginkan berkembangnya
semangat yang wajar untuk berusaha mengerti dan mencipta,
ataukah justru "kedunguan bebas" yang keren.
Keindahan Fikiran
Tetapi citarasa remaja itulah yang kenyataannya mewarnai daya
tarik. Pertunjukan terutama diselamatkan oleh penguasaan teknik
baku (yang kadang-kadang sutradara lebih senior justru gagal)
dalam menyusun tempo dan dramatisasi dan dengan sendirinya juga
ritme. Akting, untuk naskah jenis begini belum boleh dibilang
bagus (lagi pula 100 menjadi "belanda" mana mungkin, nyo).
Tetapi justru mengingat tantangan itu maka pementasan yang
bertumpu pada akting itu -- dibanding dari dua grup lain yang
juga baru "lulus": Lisendra Buana dan Teater Ibukota pada
minggu-minggu sebelumnya -- terhitung lebih berharga dan lebih
rapi. Dengan boberapa catatan untuk pemain Ny. Kate (Sum
Hutabarat), dan dengan sama sekali mengeluarkan seorang pemain
anak kecil, tujuh atau delapan pemain lainnya menunjukkan nilai
sedang --dan di antara mereka itu Deddy Mizwar (Chris) terrnasuk
yang menonjol.
Selain itu tak ada apa-apa. Setting yang cukup mahal itu, dengan
citarasa pada konstruksi (bukan model) yang mulai
diulang-ulang--dan dengan warna kuning kemerahan yang tidak
mewakili bobot - terasa dibuat ya sebagai penunjuk tempat
(bukan sugesti suasana) dan bukan sebagai bagian integral. Belum
dikembangkannya penggunaan ruang (tak ada permainan di panggung
atas, kecuali turun-naik atau memanggil), dan tak digunakannya
lampu sebagai pemberi tekanan mood, menyebabkan harus tergelar
semata-mata garis-gerakan konvensionil yang untuk itu memang
dikerjakan dengan mengerti. Juga belum adanya keberanian
menggunakan musik -- yang memang banyak tantangannya. Tetapi
sekiranya sutradara sekali lagi menekankan diri pertama kali
pada masalah dan bukan peristiwa yang lebih fisik, tentulah
tidak harus "suasana Amerika" yang pertama kali ingin dikejarnya
seperti ditulis dalam folder yang terbukti bukan barang mudah.
Melainkan pendekatan ide di sebuah panggung yang lebih kaya --
sambil tak usah menuruti petunjuk pengarangnya yang tetek
bengek.
Itu berarti di samping pendewasaan kemampuan yang lebih teknis
sifatnya dibutuhkan pendalaman lain. Kenyataannya kesenian jenis
ini--berbeda dari tontonan kontemporer yang lebih mengutamakan
imaji-imaji murni -- tetap saja satu institusi yang percaya
kepada dua hal induk: nurani & keindahan pemikiran .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini