Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Mengapa pesawat terbang jatuh

Sutradara: aldisar syafar karya: arthur miller terjemahan: asrul sani produksi: teater remaja jakarta. (ter)

12 Juni 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMUANYA ANAKKU Karya: Arthur Miller Terjemahan: Asrul Sani Sutradara: Aldisar Syafar Produksi: Teater Remaja Jakarta. *** ADA masanya tema perbenturan individu dan sosial terasa sangat aktuil. Penjelajahan masalah kebenaran dan kepalsuan -- dalam hubungan kepentingan pribadi dan nilainya di tengah hidup bersama -- selalu peka, kapan saja terdapat kecenderungan umum untuk "berbuat praktis", dengan "jalan apa saja", semata-mata untuk diri sendiri. Tema itulah yang menyebabkan karya yang dipentaskan grup ini (sebagai penampilan pertarna di TIM setelah lulus Festival tiga tahun berturut-turut, 2628 Mei), terasa mempunyai 'nilai lebih'. Ia menambah jumlah karya yang titik beratnya tidak semata-mata terletak "hanya" di sekitar penyajian. All My Sons (1947), naskah sukses pertama dari Arthur Miller - dan bukan yang terbaik -- bisa dilihat dalam 'corak Ibsen' oleh temanya seperti di atas. Ini adalah cerita tentang Joe Keller, pengusaha alat-alat pesawat terbang, yang di masa perang telah menual 121 buah onderdil (kepala silinder yang kebetulan retak) kepada Angkatan Udara AS--dan mengakibatkan terbunuhnya 21 orang pilot. Termasuk yang jatuh adalah Larry, anaknya sendiri. Tetapi Joe tidak harus bertanggungjawab. Sudah tersedia seorang bawahan Herb Deever -- yang telah melakukan penjualan itu secara langsung, dan karenanya pengadilan memilih dia untuk penjara. Herb memang melimpahkan kesalahan itu kepada atasannya, yang menurut dia telah menyuruhnya -- lewat telepon -- untuk mengantarkan barang pesanan iu. Tapi bukankah pembicaraan telepon tidak bisa menjadi bukti? Masalahnya sekarang: bila akhirnya Joe bisa dibuktikan -- di luar pengadilan -- sebagai orang pertama yang harus bertanggungjawab, mengapa ia lakukan itu? Mengapa ia memberi kesempatan kepada George leever, putera Herb membencinya demikian parah? Alasan Joe, yang diberikan kepada anaknya yang lain, Chris, adalah alasan seorang pengusaha yang telah membangun dirinya dengan susah-payah selama 40 tahun--toh belum tentu jitu. 121 kepala silinder retak -- dan itu berarti seluruh bangunan 40 tahun itu ambruk hanya dalam lima menit. Kecuali bila ia bisa "menyelamatkan"nya dengan menyuruh memperbaiki sebisa-bisa, dan mengirimkannya pada saat dibutuhkan sambil tetap memegang kepercayaan dan kontrak. Ia sendiri, anehnya, tidak yakin alat-alat vital itu akan serta merta dipakai: iaberharap beberapa waktu sesudah itu pekerjaannya akan sudah jalan lagi dan ia bisa membuktikan bahwa relasi itu membutuhkannya, dan akan melupakan "kesembronoan" yang akan dibereskannya itu. Sudah tentu perhitungan itu kasar sekali -- apalagi bagi puteranya Chris yang veteran perang. Tetapi untuk seorang Joe, apa kiranya yang lebih penting dari perusahaan -- yang sebentar lagi justru akan diterimakan ke tangannya'? Dunia bagi Joe adalah dunia usaha & keluarga: ayah dan anak. Sejak mulai merangkak sebagai pengusaha, ia yang praktis bukan orang yang berpendidikan dan tak punya "filsafat yang aneh-aneh", memegangi hal itu sebagai satu-satunya ide. Tanggungjawab kepada tanah air, ataupun kepada nyawa manusia seperti yang ditudingkan Chris anaknya, memang masuk ke dalam telinganya. Tetapi ia toh tidak berkehendak menciptakan kecelakaan. Ia sendiri mengasihi semua pilot yang gugur itu ("Semuanya anakku", katanya). Dan selain ia yakin bahwa anaknya Larry meninggal bukan karena pasal silinder--yang hanya dipakai untuk jenis pesawat yang tak pernah dikemudikannya, baginya 'berbakti kepada tanah air' itu omongan yang agak sulit. "Perang dan damai adalah masalah dolar dan seni". Juga: siapa yang bekerja tanpa dibayar apaapa dalam perang ini? Bertruk-truk bedil dan alat-alat perang dikirim ke front -- hanya setelah terjadi tawar-menawar harga antara pembeli dan pedagang. "Kalau uangku kotor, maka di seluruh Amerika tidak ada satu kelip yang bersih. Seluruh negeri harus ikut kalau aku mesti masuk penjara". Dan Chris pun loyo. Bukan karena ia setuju. Tetapi karena, seperti dikatakan nya kepada Ann (anak Herb Deever dan bekas tunangan Larry yang sekarang mau dikawininya): "Ini negeri anjing-anjing besar. Di sini seseorang tidak lagi kita sayangi, tapi kita makan. Cuma, sekali ini ada beberapa orang yang mati. Dunia memang sudah begitu". Jadi, sebagai pelahiran sikap "kekiri-kirian" Miller sehabis perang, yang dihadapi Chris rasanya tak kurang dari sebuah "sistim". Meskipun di dasar hati ada sesuatu yang sangat tidak beres, dan meskipun para tetangga Joe -- di luar bisnis -- sebenarnya menuding keluarga ini. Tetapi Joe harus salah. Dan Miller, berbelok dari Ibsen, dengan cara yang tidak begitu bagus lantas memenangkan rasa kesetia-kawanan tanah air -- atau kemanusiaan, satu hal yang justru bisa diperdebatkan dalam konteks ini dari kepentingan pribadi (plus "Sistim" maupun tidak). Ann, tunangan Larry dulu, menunjukkan surat Larry yang ditulis di hari meninggalnya. Katanya: betapa ia merasa malu mendengar ayahnya sendiri dan ayah Ann tertuduh. "Setiap hari 3 - 4 pesawat jatuh, dan mereka sibuk di sana - berdagang". Ia sendiri pun, seterusnya, sebentar lagi akan terbang dan mungkin juga akan dikabarkan hilang. "Kalau ayah ada di sini sekarang", kata Larry, "kutembak dia". Maka pistol pun meletus--di belakang panggung. Joe menghukum dirinya sendiri. Masuk Dalam Masalah Semua itu bisa diikuti jelas dari mulut para pemain. Sementara para penonton duduk tenang untuk 2 1/2 jam di Teater Tertutup syarat pertama untuk satu pertunjukan yang berhasil. Bila terdapat kekurangan, maka itu pertama kali harus dicari pada perimbangan "legitimasi" tokoh loe dan Chris. Dimainkan dengan cukup bagus oleh Prijo S. Winardi, tokoh Joe (yang telah dirias dan didandani begitu rupa sehingga kayak boneka) sebenarnya bukanlah hanya seorang majikan. Bagian dari dirinya yang terasa kurang sekali dikembangkan -- lebih dari sekedar teknik pemunculan yang cukup -- adalah justru wataknya yang kukuh namun bersahaja, yang disebabkan tak lain oleh latar belakang pemikiran "seorang pekerja bengkel" yang jauh dari dunia ide-ide. Hanya dengan "ciri petani" ini itu Joe akan lebih merebut simpati penonton, dan tumbuh secara lebih kuat sebagai eksponen konflik - manakala yang dihadapi Chris bukan sekedar keyakinan yang bertentangan, tapi sebuah dunia yang sebenarnya lain. Tetapi lebih berat dari Joe adalah tokoh isterinya, Kate, yang memegang peran penting dalam plot meskipun bukan dalam masalah. Di panggung, nyonya ini terkesan tak lebih dari seorang perempuan keras kepala, yang bersitegang melarang Chris mengawini Ann karena ia menyatakan yakin bahwa Larry masih hidup. Ia tampak semata-mata tokoh yang tak mau kalah dan tak usah dikasihani - tak lain karena penonton kurang diberi kesempatan melihat "dunia inspirasinya yang tak terkendalikan", alias kehidupan 'dalam'nya. (Baginya, Larry harus tetap hidup agar suaminya bukan seorang pembunuh). Kedua contoh itu hanyalah menunjukkan betapa tantangan kepada akting dalam drama jenis begini, berbeda dari "akting" hanya sebagai bagian kecil dalam tontonan kontemporer milik sutradara (dan karenanya nilai 'bagus' dalam kedua jenis itu hakikatnya berbeda tingkat) menjadi lebih berat. Bukan semata karena akting di sini menumbuhkan plot. Melainkan juga lantaran ia masuk ke dalam masalah sebagai penubuhan komponen. Kedunguan Bebas Tetapi pemahaman kepada masalah, bagi grup ini, kurang besar dibanding rasa tertarik kepada "keindahan peristiwa". Sutradara merobah bagian penutup drama. Sesudah bunyi tembakan, diceritakan ibu Chris tercegak sambil mengucap: Joe, Joe... dan kalimat-kalimat selebihnya boleh memberi kesan ia menjadi gila (konsisten dengan kehidupan batin yang selalu diingkarinya dengan sukses). Tapi dalam pementasan, yang gendeng justru Chris (kira-kira karena menyesal menyebabkan ayahnya bunuh diri). Ini mungkin dianggap "lebih sedih", sebab dengan begitu Chris tak mungkin kawin dengan An (dan Ann bisa menjerit kecil sambil memeluknya sebelum lampu mati). Padahal siapa yang berkata bahwa peristiwa pada All My Sons lebih penting dibanding masalah? Siapa yang berkata bahwa Miller sama dengan Tennessee Williams, untuk sebuah penutup yang 'sayu' misalnya? (Dan siapa yang berkata bahwa merobah-robah naskah satu perkara sepele?) Dialog tokoh dokter Jim, tentang kejujuran, yang diucapkan di satu bagian sehubungan dengan diri Chris, juga diangkat sutradara dan ditempelkan dibagian penutup sesudah Joe mati -- dihubungkan dengan diri Joe. Jim berdiri di atas serambi sotoh ( porch), sementara semua yang lain di bawah, dan dengan "histrionik" mengkhotbahkan kalimat kejujuran itu -- " kata mutiara" Miller yang kuno -- sambil menyulap sandiwara ini tiba-tiba menjadi sebuah tragedi Yunani. Bahwa sutradara yang muda itu perlu memindah dan menempel kalimat-kalimat itu, justru menunjukkan bahwa masalah sentral lakon ini, perbenturan individu dan sosial, memang tidak bisa dihabisi oleh term kejujuran dan ketakjujuran -- dan bukan itu penutupnya. Tidak ini bukan soal sloganistis "kreatifitas sutradara" yang aleman itu. Ini adalah soal adakah orang menginginkan berkembangnya semangat yang wajar untuk berusaha mengerti dan mencipta, ataukah justru "kedunguan bebas" yang keren. Keindahan Fikiran Tetapi citarasa remaja itulah yang kenyataannya mewarnai daya tarik. Pertunjukan terutama diselamatkan oleh penguasaan teknik baku (yang kadang-kadang sutradara lebih senior justru gagal) dalam menyusun tempo dan dramatisasi dan dengan sendirinya juga ritme. Akting, untuk naskah jenis begini belum boleh dibilang bagus (lagi pula 100 menjadi "belanda" mana mungkin, nyo). Tetapi justru mengingat tantangan itu maka pementasan yang bertumpu pada akting itu -- dibanding dari dua grup lain yang juga baru "lulus": Lisendra Buana dan Teater Ibukota pada minggu-minggu sebelumnya -- terhitung lebih berharga dan lebih rapi. Dengan boberapa catatan untuk pemain Ny. Kate (Sum Hutabarat), dan dengan sama sekali mengeluarkan seorang pemain anak kecil, tujuh atau delapan pemain lainnya menunjukkan nilai sedang --dan di antara mereka itu Deddy Mizwar (Chris) terrnasuk yang menonjol. Selain itu tak ada apa-apa. Setting yang cukup mahal itu, dengan citarasa pada konstruksi (bukan model) yang mulai diulang-ulang--dan dengan warna kuning kemerahan yang tidak mewakili bobot - terasa dibuat ya sebagai penunjuk tempat (bukan sugesti suasana) dan bukan sebagai bagian integral. Belum dikembangkannya penggunaan ruang (tak ada permainan di panggung atas, kecuali turun-naik atau memanggil), dan tak digunakannya lampu sebagai pemberi tekanan mood, menyebabkan harus tergelar semata-mata garis-gerakan konvensionil yang untuk itu memang dikerjakan dengan mengerti. Juga belum adanya keberanian menggunakan musik -- yang memang banyak tantangannya. Tetapi sekiranya sutradara sekali lagi menekankan diri pertama kali pada masalah dan bukan peristiwa yang lebih fisik, tentulah tidak harus "suasana Amerika" yang pertama kali ingin dikejarnya seperti ditulis dalam folder yang terbukti bukan barang mudah. Melainkan pendekatan ide di sebuah panggung yang lebih kaya -- sambil tak usah menuruti petunjuk pengarangnya yang tetek bengek. Itu berarti di samping pendewasaan kemampuan yang lebih teknis sifatnya dibutuhkan pendalaman lain. Kenyataannya kesenian jenis ini--berbeda dari tontonan kontemporer yang lebih mengutamakan imaji-imaji murni -- tetap saja satu institusi yang percaya kepada dua hal induk: nurani & keindahan pemikiran .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus