Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERJALANAN Yustoni "Toni" Volunteero ke dunia seni tergolong berliku. Minatnya belajar seni rupa muncul sejak ia di sekolah menengah. Sebenarnya Toni berniat masuk Sekolah Menengah Seni Rupa, tapi ayahnya tidak mengizinkan. Selulus SMA negeri, ia melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Yayasan Keluarga Pahlawan Negara Yogyakarta, jurusan akuntansi. Selepas dua tahun kuliah akuntansi, akhirnya Toni berhasil meyakinkan sang ayah setelah ia minggat dari rumahnya. Ia diizinkan mendaftar di Fakultas Seni Rupa Institut Seni Rupa Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di ISI, Toni sering kesulitan dengan tugas menggambar sketsa dan nirmana. Kelak ketidakmahirannya dalam menggambar sketsa kerap menjadi lelucon di antara kawan-kawannya, tapi Toni cuek saja. Ia menganggap setiap gambar ada nilainya. Meski seni murninya tidak mumpuni, kelebihan Toni ada pada sosoknya yang karismatis, penuh dengan ide provokatif, dan terkesan nakal. Dia juga dikenal karena kemampuannya memobilisasi orang lain. Keunikan itu terlihat sejak awal ia berkarya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pameran tunggal perdananya berlangsung di kandang ayam di sebuah kampung kota Wirobrajan, Yogyakarta. Toni mengubah kandang ayam menjadi sebuah ruang pameran darurat sebelum mengundang penduduk kampung untuk melihat karya seninya. Itu ia lakukan pada 1996. Biasanya untuk berpameran di tengah kampung seperti ini harus ada izin dari polisi lebih dulu. Dia mengabaikan aturan tersebut.
Mengenang Yustoni Volunteero
Kala itu Toni terinspirasi oleh praktik turun ke bawah (turba), yang menjadi ciri khas tradisi berkesenian kaum kiri. Pada pameran perdana ini, dia menampilkan beberapa tema, seperti orang-orang hilang, penggusuran, dan berbagai bentuk praktik terorisme negara dalam kehidupan sehari-hari. Pada salah satu karya yang ditampilkannya, Toni menggambarkan seseorang yang sedang dihujat ramai-ramai dan digonggong oleh seekor anjing bertulisan "PKI Kowe". Karya perdananya merupakan gambar pena di atas kertas: kolase yang padat dan berantakan serta terkesan mengabaikan aturan estetika. Melihat karya-karyanya, kita seperti disihir oleh ketergesaan, selain ketakutan.
Toni seorang yang supel bergaul lintas komunitas. Jauh sebelum era media sosial, dia sudah menjadi "hub" atau penghubung berbagai komunitas. Ketika demonstrasi mahasiswa meledak di Yogyakarta pada 1997, dia menjadi jembatan aktivis mahasiswa melalui organisasi seperti Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY) dan Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan (KPRP). Sebelumnya, di Yogya ada jarak antara kampus-kampus mahasiswa di utara (Universitas Gadjah Mada, Sanata Dharma, Atma Jaya), yang dianggap melek politik serta intelektual, dan mereka yang di selatan yang kreatif (ISI Yogyakarta).
Para mahasiswa ISI menghadirkan parodi dan seni pertunjukan dalam demonstrasi. Selera humor Toni yang tinggi dan kenakalannya konon menghibur dan membuat wajah para prajurit yang menghadang demonstran tersenyum. Toni membuat baliho-baliho yang akan menjadi propaganda artistik dalam berbagai demonstrasi. Karya seninya yang paling kolosal (dibuat bersama Iwan Wijono dan teman-temannya) adalah patung raksasa Soeharto, yang dibakar saat demo akbar di UGM pada Maret 1998. Dia terpaksa bersembunyi setelah unjuk rasa usai.
Sebenarnya Toni mulai membangun reputasi sebagai seorang seniman pada 1997. Pada 1996, ia berpameran di Erasmus Huis Jakarta dengan Hafiz Rancajale dan S. Teddy Darmawan. Pada 1997, ia pergi ke Finlandia untuk pertunjukan dan pameran bersama Agung Kurniawan dan Marintan Sirait. Pada 1998, Toni melangsungkan pameran tunggal keduanya di Rumah Seni Cemeti. Berjudul "Revolusi Ilalang", ia mengubah ruang pameran menjadi lahan pertanian dengan menanam padi.
Namun, setelah Soeharto tumbang pada Mei 1998, Toni banting setir. Dia memutuskan untuk mengikuti tradisi kiri "budaya kerakyatan" (terinspirasi oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat/Lekra) yang secara bengis dihabisi oleh rezim Orde Baru. Pada 21 Desember 1998, dia bersama 25 rekan aktivis budaya, mahasiswa, dan pelukis otodidak meluncurkan Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi di Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta. Melalui Manifesto Taring Padi dan "Lima Iblis Budaya", kelompok ini menyatakan penolakan tegas terhadap doktrin "seni untuk seni", yang mereka anggap dipertahankan melalui lembaga budaya negara dan swasta selama zaman Orde Baru.
Taring Padi memposisikan pembangunan budaya rakyat sebagai dasar perjuangan yang berkelanjutan bagi demokrasi rakyat di Indonesia. Kelompoknya menduduki kampus kosong Fakultas Seni Rupa ISI, yang dikenal sebagai Gampingan. Dari sinilah mereka meluncurkan gerakan keseniannya, termasuk memproduksi poster-poster dan spanduk-spanduk jalanan, sebuah zine yang disebut Terompet Rakyat, dan kelompok musik Dendang Kampungan. Toni menjadi "Presiden" Taring Padi-sebagai sebuah lelucon terhadap fakta ketika kelompok tersebut merasa seperti baru saja menggulingkan seorang presiden (Soeharto).
Inti dari praktik budaya Taring Padi adalah konsep kolektivisme. Secara teori, ini adalah upaya menghilangkan gagasan borjuis yang melihat "seniman sebagai genius" dan pengedepanan "karya seni" individual. Karya seni Taring Padi tidak mengakui pencipta "individu"; sebaliknya, semua karya seni mereka berstempel Taring Padi (setangkai beras, bintang sosialis merah, dan roda gigi).
Selama bertahun-tahun Taring Padi, yang kemudian terpengaruh oleh ide-ide anarkis atas nama egalitarianisme, berusaha menghilangkan gagasan "pemimpin" atau struktur formal organisasi. Namun, terlepas dari upaya keras kelompok ini untuk menghilangkan "Presiden" atau pemimpinnya, figur Toni tetap kuat di dalam kelompok. Bahkan, ketika generasi baru Taring Padi muncul, ia tetap menjadi "pemimpin spiritual" kelompok.
Cara kepemimpinan Toni adalah dengan mengajak orang mengikuti ide-idenya. Dia senantiasa mengajak orang berpikir di luar pakem-pakem yang ada atau mengubah ide-ide yang tertanam di kepala mereka. Filosofinya termaktub dalam kesederhanaannya. Ini bisa dilihat dalam salah satu gagasannya: "wayang kardus". Wayang kardus dibuat serupa dengan wayang kulit yang identik dengan "keratonisme". Toni membuat wayang kardus dari bahan sederhana: kardus dan bambu yang bisa dibawa ke ajang demonstrasi dan mempersonifikasi perjuangan orang "awam". Wayang kardus menjalani debutnya pada demo besar koalisi anti-utang di Jakarta pada 1999. Ini akhirnya menjadi propaganda standar untuk demonstrasi Taring Padi dan berbagai kelompok prodemokrasi lainnya.
Kemampuan Toni untuk bersosialisasi di luar kelompok sosial sendiri berdampak pada beragamnya jenis kerja sama yang dijalin Taring Padi. Jaringan luas terbentuk, dengan pemimpin agama, serikat petani, aktivis prodemokrasi, aktivis perempuan, serta kelompok kolektif punk dan anarkis, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Pada awal 1998, misalnya, Taring Padi bekerja sama dengan kelompok antaragama untuk mendistribusikan 10 ribu eksemplar poster ukiran kayu di lebih dari 15 kota. Karya itu ditempelkan di jalan-jalan, tempat ibadah, papan pengumuman desa, warung, dan pasar-pasar. Tujuannya untuk menyebarkan pesan tentang kerukunan hidup beragama dan sosial. Ini dilakukan untuk menanggapi desas-desus tentang "konflik horizontal" yang "ditanam" di seluruh Indonesia pada 1999.
Di luar Taring Padi, Toni telah mencoba berbagai hal. Meskipun tidak bisa memainkan alat musik, ia membentuk band punk noise eksperimental bernama Steak Daging Kacang Hijau bersama Bob Sick, S. Teddy D., dan teman-teman lainnya. Dia juga seorang performance artist. Toni sering memainkan peran petani-sosok yang diagungkannya dan tidak terlalu jauh dari kecintaannya terhadap kegiatan berkebun dan menanam sesuatu.
Baru-baru ini Toni mulai mengeksplorasi fase baru dalam ekspresi seninya. Lebih mirip realisme magis, ia menggunakan gaya dekoratif dan penuh warna. Barangkali gaya lukisan ini yang paling mencerminkan sisi lain dalam dirinya yang meriah.
Sepanjang hidupnya, Toni menderita asma kronis. Pada 9 Juni 2018, ia mendadak meninggal. Baru saja sebenarnya ia keluar dari rumah sakit karena infeksi paru-paru. Untuk meredakan penyakit Toni, teman-temannya membawanya naik mobil ke pantai utara Jawa. Toni mengembuskan napas terakhirnya sambil bersantai di tepi Pantai Anyer. Dia meninggalkan istri, seniman Lelyana Kurniasih, dan warisan pentingnya, yakni rajutan kepaduan seni dan aktivisme untuk menentang rezim Soeharto dan penguasa-penguasa sesudahnya.
Heidi Arbuckle-gultom, Penulis Buku Taring Padi: Politik Praktek Budaya Radikal Di Indonesia, Bekerja Di Ford Foundation, Jakarta
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo