Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Menguak Ranah Baru

Beberapa seniman Indonesia menyegarkan dunia kesenian dengan mencipta karya-karya yang mengejutkan pada 2011. Mereka berani membuka ranah-ranah baru yang kadang terabaikan oleh seniman lain. Mereka adalah pemusik, perupa, dan penata panggung. Inilah tokoh seni pilihan Tempo tahun 2011.

9 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni tak akan berkembang bila para seniman tak berani mencoba memasuki wilayah baru. Dengan patokan itulah Tempo setiap tahun memilih seniman-seniman yang menghasilkan karya tak terduga sebagai Tokoh Seni Pilihan Tempo. Kami mempertimbangkan karya mereka dari unsur provokasi, kejutan, dan inovasi estetik yang matang.

Demikian juga untuk tahun 2011. Namun, berbeda dengan pemilihan sebelumnya, kali ini kami tidak memasukkan tokoh film, karena kami sudah memilihnya secara terpisah dalam laporan Film Pilihan Tempo (Tempo, 5 Desember 2011).

Kami juga tidak memilih tokoh sastra. Kami sebenarnya sudah mengumpulkan sejumlah karya sastra yang terbit sepanjang 2011 dan menimbangnya. Namun, setelah beberapa kali berdiskusi, akhirnya kami sampai pada kesimpulan bahwa belum ada karya sastra yang benar-benar menonjol. Dengan demikian, kami memutuskan tidak memilih karya sastra terbaik dari tahun itu.

Namun bidang kesenian lain masih menawarkan sesuatu yang patut disimak. Seperti biasa, pembahasan itu melibatkan anggota redaksi yang selama ini terlibat dalam peliputan dan penyuntingan tulisan seni, yakni Seno Joko Suyono, Leila S. Chudori, Kurniawan, Nurdin Kalim, Irfan Budiman, Nunuy Nurhayati, Dian Yuliastuti, dan Aguslia Hidayah.

Kami juga mengundang juri dari luar untuk berdiskusi dan menambah wawasan kami dalam proses pemilihan ini. Untuk bidang seni rupa, kami menghadirkan Bambang Bujono. Di bidang musik, ada Denny Sakrie dan David Tarigan. Namun keputusan akhir tetap ada pada kami.

l l l

Dari dunia musik Indonesia, kami melihat bakat-bakat muda muncul terus. Sementara itu, musikus senior juga bertahan. Puluhan album dilansir para musikus sepanjang tahun lalu. Mereka menjelajahi berbagai genre, dari country hingga jazz.

Setelah memilah-milah karya-karya mereka dan memutar piringan cakram album-album itu, akhirnya perhatian kami terpusat pada sepuluh album. Kesepuluh album itu adalah Riot karya Tohpati Bertiga, Love Life Wisdom karya LLW (Indra Lesmana, Barry Likumahuwa, dan Sandy Winarta), The Soundtracks karya Hiphopdiningrat-Java Hip Hop, Angsa & Serigala karya Angsa & Serigala, Indonesia karya Morfem, 180 Derajat karya Luky Annash, DGNR8 karya BRNDLS, Fake/Faker karya Polyester Embassy, Lirih Penyair Murung karya Dialog Dini Hari, dan Venomous karya Burgerkill.

Tidak mudah memilih yang terbaik di antara mereka, karena mereka mengembangkan aliran musik dan gaya masing-masing. Namun kualitas musik dan keutuhan suatu album jadi pertimbangan penting bagi kami dalam melihat suatu karya. Akhirnya, setelah menimbang hal-hal tersebut, pilihan kami jatuh pada Riot karya Tohpati Bertiga.

Album yang mengusung jazz-rock itu menampilkan permainan para pemusik yang matang dan kaya dalam perinciannya dengan memasukkan berbagai unsur stereotipe dalam sejarah musik, yang membuat album tersebut seperti sebuah ensiklopedia musik ringkas dan padat. "Sebagai karya jazz fusion/jazz-rock yang berorientasi gitar listrik seperti Jeff Beck, album Riot ini begitu luwes dalam eksekusinya," kata David Tarigan.

Album itu merupakan kolaborasi Tohpati (gitar) dengan Indro (bas) dan Bowo (drum). "Trio ini tampaknya ingin memuntahkan segenap musik yang pernah mampir dalam otak masing-masing dengan rentang dari rock hingga jazz," kata Denny Sakrie.

Dari dunia seni rupa, kami melihat tahun 2011 memang ramai oleh pameran akbar, baik dalam bentuk pameran dua tahunan atau biennale maupun pameran bertema khusus, seperti seni Islami, atau bentuk tertentu, misalnya seni patung. Namun tak banyak pameran tunggal yang benar-benar memberikan kejutan. Padahal selama ini kami memilih tokoh seni rupa berdasarkan pameran tunggalnya, yang dianggap sebagai satu tahap pencapaian sang seniman dalam karier berkeseniannya.

Meski demikian, bukan berarti tak ada karya seniman yang menonjol. Karya-karya mereka, meskipun sedikit, justru mencuat di tengah karya lain dalam sebuah pameran bersama. Karya semacam itu patut pula diapresiasi. Walhasil, setelah mendiskusikan masalah ini, kami sepakat memilih jalan yang agak menyimpang dari kebiasaan. Kami memutuskan memilih sejumlah seniman yang karyanya menonjol walaupun bukan dalam satu pameran tunggal.

Pilihan kami jatuh pada tiga nama: Eddi Prabandono, Yudi Sulistya, dan HONF (The House of Natural Fiber). Beberapa karya yang mereka pamerkan selalu mengguncang publik. Eddi Prabandono, misalkan, membuat sebuah patung raksasa berbentuk kepala bocah yang menggetarkan di pelataran Taman Budaya Yogyakarta untuk pembukaan Art Jog 2011 pada Juli lalu.

Yudi Sulistya adalah seniman yang gemar pada dunia militer. Dia mengolah kertas untuk menciptakan alat-alat perang dalam ukuran raksasa. Yudi mengolah kertas begitu terperinci dan telaten, sehingga kertasnya berubah jadi seperti baja. Karyanya itu menyiratkan kontradiksi, "monumental" sekaligus rapuh.

Adapun HONF adalah laboratorium seni media baru di Yogyakarta yang intens melakukan eksperimen yang mengawinkan seni, ilmu, dan teknologi. Sains dan teknologi sesungguhnya adalah dua disiplin yang saling menunjang. Di Eropa, sudah semenjak zaman Renaisans, seniman dan saintis Leonardo da Vinci melakukan hal itu. Akan halnya di Indonesia jarang sekali ada karya yang menggabungkan seni dan sains. Yang demikian baru mengalir dari ruang kerja HONF. HONF terutama menggabungkan seni dan biologi.

l l l

Dalam hal seni pertunjukan, kami melihat pada 2011 muncul kemajuan-kemajuan menggembirakan. Para seniman dari berbagai bidang banyak yang memasuki ranah ini dan memperkaya bentuk-bentuk pentas. Beberapa praktisi film, misalnya, terjun ke dunia panggung dengan membuat pertunjukan musikal yang mampu menyedot ratusan penonton.

Di tengah fenomena itu, kami melihat skenografi atau rancang panggung, yang selama ini agak terabaikan, mulai menggeliat. Pentas-pentas kini terlihat lebih serius dalam menata panggungnya. Bahkan bila perlu sang sutradara mengundang arsitek untuk merancang panggungnya dan ahli lain buat menyiapkan tampilan visualnya.

Dengan melihat perkembangan itu, kami memutuskan kali ini untuk memberikan tempat bagi para perancang panggung tersebut, yang sering pula disebut sebagai penata artistik. Pilihan kami jatuh pada Jay Subyakto. Lulusan Teknik Arsitektur Universitas Indonesia itu telah terlibat dalam berbagai pementasan, seperti Musikal Laskar Pelangi, Matah Ati, dan Karna. Dalam setiap karyanya, Jay tak ragu membuat berbagai eksperimen yang menantang dan memberi hasil yang mengejutkan.

Dalam Musikal Laskar Pelangi, misalnya, dia memanfaatkan efek-efek sinematografi untuk menghidupkan panggung. Pada Matah Ati, Jay membuat panggung miring yang mengejutkan, yang ternyata dapat menonjolkan komposisi penari karena penonton dapat melihatnya dari sisi "atas", sesuatu yang tak mungkin diperoleh dengan panggung datar. Adapun dalam Karna, dia memanfaatkan struktur kubus-kubus bertingkat yang mirip instalasi seni rupa sebagai panggung dan tampilan visual digital.

Itulah para Tokoh Seni Pilihan Tempo 2011. Kita berharap apa yang mereka lakukan akan mendorong para seniman lain menjelajahi lebih jauh ranah yang telah mereka buka atau tertantang untuk membuka ranah-ranah lain. Dengan cara itulah kesenian dan batin yang peka terhadap keindahan tak pernah mati di negeri ini.


Tim Edisi Khusus Tokoh Seni 2011
Penanggung Jawab: Seno Joko Suyono Kepala Proyek: Nurdin Kalim, Kurniawan Penyunting: Seno Joko Suyono, Purwanto Setiadi Penulis: Kurniawan, Nurdin Kalim, Irfan Budiman, Dian Yuliastuti, Nunuy Nurhayati Penyumbang Bahan: Anang Zakaria (Yogyakarta) Bahasa: Uu Suhardi, Iyan Bastian Foto: Nita Dian A. Desain: Eko Pambudi, Ehwan Kurniawan, Aji Yuliarto, Agus Darmawan Setiadi, Tri Watno Widodo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus