Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Aditya Novali mengolah memori ketika menjadi dalang cilik di Istana Negara pada era Soeharto.
Ia menemukan rekaman video dalam bentuk kaset betamax ketika bersih-bersih rumah saat masa pandemi.
Selain menampilkan instalasi video, ia menghadirkan lukisan hingga karya yang mengecohkan.
Empat televisi berukuran 42 inci dipasang berjajar di sudut dinding galeri seni ROH Projects, Menteng, Jakarta Pusat. Keempat televisi itu menayangkan potongan video buram berdurasi 28 menit 43 detik tentang sebuah pementasan wayang kulit di Istana Negara tempo dulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setiap televisi menayangkan video pada waktu yang berbeda. Walhasil, jika dilihat sekilas, setiap televisi seperti menayangkan potongan video yang berbeda, padahal isinya sama. Ada kalanya video di empat televisi itu terpotong dan menampilkan layar berkelir biru tua dalam sepersekian detik. Kedipan layar biru di setiap televisi itu terjadi pada waktu yang berbeda pula.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Video itu adalah salah satu instalasi seni berjudul Documentation of Aditya Novali's Performance as Dalang Cilik at Istana Negara 1989. Karya itu merupakan bagian dari pameran tunggal seniman Aditya Novali yang dipamerkan sejak 15 Maret lalu hingga 7 Mei mendatang. Video tersebut sejatinya adalah koleksi pribadi Aditya. Pada usia 10 tahun, ia pernah memainkan wayang dengan lakon Karno Tanding di hadapan Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto di Istana Negara, tepatnya pada 17 Juni 1989.
Perupa kelahiran Solo, Jawa Tengah, 17 November 1978, itu menemukan video dalam bentuk kaset betamax tersebut secara tak sengaja saat bersih-bersih rumah, sekitar dua tahun lalu. Kala masa pandemi, ia mengisi waktu luang dengan beres-beres rumah di kampungnya. Dari rekaman video itulah, Aditya punya ide besar menggelar pameran tunggal bertajuk "New Obsolescence".
Karya berjudul Documentation of Aditya Novali's Performance as Dalang Cilik at Istana Negara 1989. TEMPO/Indra Wijaya
Aditya lantas mengubah video dalam wujud betamax itu ke bentuk digital. Namun hal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kualitas gambar di video Aditnya itu kurang bagus sehingga tampak kuno dan buram. Bahkan video yang terpotong itu terjadi secara alami atau ada kecacatan dalam proses digitalisasi. "Glitch (galat) itu tidak saya buat-buat. Justru itu menjadi hal menarik," kata Aditya ketika dihubungi, Jumat, 7 April lalu.
Di sebelah instalasi video tersebut, Aditya menampilkan sebuah lukisan besar cat minyak di atas kanvas. Lukisan itu tersusun atas 60 lukisan kecil yang berbeda obyek dan warna. Setiap panel berukuran 28,5 x 37,5 sentimeter. Susunan panel yang beragam warna membuat lukisan berjudul Remanence: There's One for Me itu tampak artistik saat dilihat dari jarak cukup jauh.
Jika diperhatikan, setiap panel lukisan menampilkan satu barang, seperti lampu gantung, alat musik karawitan, blangkon, kursi, hingga lambang Garuda Pancasila. Menurut Aditya, 60 panel lukisan itu merupakan elemen-elemen dalam video pementasan wayang di Istana Negara.
Elemen-elemen itu sengaja ia tonjolkan dalam 60 panel lukisan demi mempertegas memori dan kenangan dalam video dalang ciliknya. Maklum, pada zaman itu, kamera tidak bisa mengambil gambar hingga detail, seperti zoom-in dan zoom-out.
"Tapi setiap elemen lukisan kecil itu bisa diartikan masing-masing oleh pengunjung. Jadi, biar mereka berimajinasi sendiri."
Ada pula karya berjudul Remanence: That Everything yang menunjukkan ciri khas Aditya yang kerap berkarya dengan media tak lazim. Lukisan itu memiliki dimensi 139 x 104 cm. Sekilas terlihat seperti lukisan cat minyak di atas kanvas yang terpasang pada sebuah bingkai kayu.
Karya berjudul Remanence: That Everything. TEMPO/Indra Wijaya
Namun, jika dilihat dengan saksama, terdapat 13 baris horizontal yang bisa diputar dalam tiga posisi. Walhasil, lukisan ini bisa diubah menjadi tiga gambar jika setiap panel diputar. Ketiga gambar itu pula punya makna mendalam di pikiran pria berusia 44 tahun tersebut.
Menurut Aditya, setiap peristiwa pasti terdiri atas tiga unsur utama. "Yakni ruang, waktu, dan manusia itu sendiri," kata lulusan teknik arsitektur Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, yang meraih gelar master di Design Academy Eindhoven, Belanda, itu.
Ada pula karya berjudul Remanence: And a Million for You yang menampilkan peta pulau-pulau besar Indonesia. Lukisan cat minyak di atas kanvas itu memakai dasar warna hijau tua. Sedangkan kelir pada setiap pulau adalah cokelat kekuningan. Aditya membagi pulau-pulau Indonesia dalam 27 provinsi.
Lagi-lagi lukisan peta 27 provinsi Indonesia itu terinspirasi oleh peristiwa yang terjadi di Istana Negara saat Aditya menjadi dalang cilik. Ia ingat betul saat itu Indonesia masih terbagi dalam 27 provinsi, dengan Irian Jaya menjadi provinsi yang wilayahnya terluas.
Karya berjudul Remanence: And a Million for You. TEMPO/Indra Wijaya
Ada juga satu bingkai karya di samping lukisan peta itu. Bingkai tersebut berbentuk asimetris. Jika dilihat dari jauh, mirip lukisan hijau tua polos. Namun, setelah didekati dalam jarak tak kurang dari 1 meter, ternyata hanya kain beludru yang dipasang dalam bingkai.
Kain beludru itu tampak seperti hamparan rumput hijau. Terdapat pola tak beraturan dalam serabut kain beludru itu. Rupanya, ada unsur jail dalam karya tersebut. Aditya mengaku hanya menempel kain beludru. Tak ada kesengajaan mengatur pola serabut kain hijau tua itu.
Menurut dia, tak sedikit penonton yang "kena gocek" kain beludru itu. Mereka menganggap Aditya punya maksud mendalam saat menata arah serabut kain beludru tersebut. "Saya beli produk beludru saja di pasar, lalu saya pasang. Itu saja."
Perbedaan persepsi pengunjung itu ia anggap sebagai bumbu unik. Menurut Aditya, perbedaan cara pandang membuktikan bahwa hal sederhana bisa diartikan rumit jika berada dalam waktu dan lokasi berbeda. "Kain beludru di pasar, ya, sekadar kain. Tapi kalau ditaruh di galeri seni, akan dianggap lain. Padahal sama-sama kain," ujarnya.
Aditya juga memamerkan sejumlah lukisan tentang ibu-ibu yang memakai sanggul dan kebaya. Namun lagi-lagi sosok mereka dilukis secara kabur. Tak ada wajah, bahkan bentuk tubuhnya pun samar. Menurut Aditya, sejumlah pengunjung pamerannya sempat menebak perempuan yang ia lukis itu adalah Ibu Tien Soeharto dan ibu-ibu pejabat lainnya.
Namun Aditya membantah. Bahkan ia tak tahu siapa saja perempuan yang hadir dalam memorinya saat berpentas di Istana Negara. Ia sempat berpikir untuk mencari tahu satu per satu perempuan dan tokoh yang ada di Istana Negara saat itu. Tapi Aditya ragu, apa gunanya ia bekerja ekstra-keras untuk mencari tahu. "Buat apa? Lebih menarik jika saya biarkan kebingungan dari sebuah fakta yang ada," tuturnya.
Karya berjudul Remanence: There's One for Me. TEMPO/Indra Wijaya
Bagi Aditya, pameran tunggal "New Obsolescence" menguras banyak ide dan ekspresi. Maklum, dia lebih sering berkarya dengan media, seperti instalasi hingga patung. Adapun dalam pameran di ROH Projects, ia lebih banyak memainkan lukisan cat minyak di atas kanvas.
Karena itu, untuk menegaskan ciri khasnya, Aditya memainkan bingkai lukisan yang unik dan asimetris. Bingkai-bingkai tersebut seakan-akan menyusun panel-panel lukisan menjadi bentuk yang lebih menarik. Bahkan ia sengaja mengosongkan sejumlah panel dalam bingkai yang ia bikin.
Kekosongan ini pun punya makna yang dalam. Menurut Aditya, pandemi Covid-19 membuat orang lebih banyak merenung, terlebih tentang masa depan. Walhasil, panel bolong dalam bingkai lukisan itu ia anggap sebagai misteri masa depan. "Biar orang lain yang tentukan kekosongan itu mau diisi apa."
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo