Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kemang, Jakarta Selatan, bukan semata-mata soal ingar bingar klub malam, tapi juga merupakan kawasan seni dengan deretan galeri yang berdiri sejak 1980-an.
Di Kemang, digelar pameran tahunan Indonesia Contemporary Art and Design (ICAD), dan kini sedang berlangsung ekshibisi seni lukis kaca di Dia.Lo.Gue Artspace.
Galeri awalnya berupa toko kerajinan tradisional yang banyak digemari warga asing yang banyak tinggal di sana.
Agus Dermawan T.
Pengamat seni rupa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemang sejak 1980-an dianggap sebagai distrik yang ideal untuk membuka galeri, lembaga-lembaga bisnis yang beraroma seni, atau yang semacamnya. Karena pada saat itu, kawasan di Jakarta Selatan tersebut mulai dibentuk, atau diam-diam terbentuk, menjadi distrik ekspatriat. Tempat orang-orang asing, terutama warga Eropa dan Amerika, menetap. Mereka yang tinggal di sana umumnya adalah kepala-kepala perusahaan atau pelaku usaha kelas tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ekspatriat itu hampir bisa dipastikan memiliki pendidikan bagus dan kemampuan ekonomi yang juga tinggi. Biasanya, orang dan komunitas di level itu mempunyai apresiasi yang sangat cukup atas seni rupa. Lantaran berkemampuan ekonomi, mereka diyakini memiliki hasrat mengkonsumsi seni. Munculnya Kemang sebagai distrik ekspatriat mendampingi Menteng di Jakarta Pusat yang menjadi distrik elite sejak era Hindia Belanda, dengan banyak peninggalannya, termasuk gedung seni Bataviasche Kunstkring di ujung Jalan Teuku Umar.
Pada 1980-an, muncul banyak toko penjual kerajinan tradisional atau artshop di Kemang. Konsumennya adalah ekspatriat. Setelah artshop ini menuai hasil, muncullah berbagai galeri. Ada juga toko kerajinan yang semakin besar dan menamakan diri sebagai galeri. Ada Galeri Pro Art, Galeri Oet’s, Galeri Duta, Galeri Santi, Galeri Edwin, Galeri 678, Galeri Linggar, Galeri Kayu Ayu, Galeri Yasri, Galeri Hadiprana, dan belasan galeri lainnya. Mereka menjual beragam benda seni. Namun lukisan menjadi benda seni yang paling banyak dijual bersamaan dengan boom ekonomi dan seni lukis pada pertengahan 1990-an.
Pameran seni di Galeri Hadiprana, Kemang, Jakarta, 2016. TEMPO/Nita Dian
Sebagai catatan, Galeri Hadiprana baru hadir di Kemang pada 1997. Sebelumnya, galeri ini bernama Prasta Pandawa yang berdiri sejak 1962 di Jalan Falatehan I, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dan berubah nama menjadi Galeri Hadiprana pada 1970. Dengan demikian, keberadaan Galeri Hadiprana sesungguhnya tidak mengawali, melainkan memberi aksentuasi di tengah-tengah iklim pergalerian di Kemang.
Pada 2000-an muncul gagasan art space yang memperbolehkan ruang apa saja menjadi semacam galeri. Ruang restoran, ruang kafe, ruang kantor, dan ruang toko juga bisa dijadikan art space. Alasannya, mencari gedung atau ruang untuk galeri semakin sulit, sedangkan permintaan apresiasi atas karya seni semakin bertambah.
Gejala art space ini awalnya tumbuh di Kemang, tapi dengan gampang ditiru berbagai wilayah lainnya. Sampai akhirnya di Jakarta Pusat, Kebayoran Baru di Jakarta Selatan, bahkan di kawasan permukiman di Jakarta Utara juga banyak bermunculan art space. Ruang seni ini lalu berkembang menjadi lebih besar dan bahkan bertumbuh menjadi semacam galeri murni. Mereka yang mengusung paham idealistis menyebutnya sebagai “galeri alternatif”.
Pengunjung melihat karya instalasi berjudul "And to Never, Never Forget : Memorial Kamis Payung Hitam" karya Yaya Sung dalam pameran "Blink/Glance/Gaze" di galeri Dia.Lo.Gue, Kemang, Jakarta Selatan, Sabtu (2/11) malam. ANTARA/Fanny Octavianus
Dengan berkembangnya art space di berbagai wilayah di Ibu Kota, deretan rumah seni di Kemang menjadi banyak pesaing. Para ekspatriat akhirnya tak hanya melihat, mengapresiasi, dan membeli produk seni di sekitar tempat tinggalnya saja, tapi juga di wilayah lain.
Sejak awal, galeri memang tidak harus eksklusif. Mengingat etimologinya, galeri, gallery, atau galeria (Latin) yang berarti sebuah ruang terbuka yang dibatasi dinding berbentuk U. Ruang yang dirancang pada masa keemasan arsitektur Jacobean dan Elizabethan, sekitar abad XVI di Inggris, ini diharapkan bisa dimasuki oleh siapa saja tanpa penghalang. Jadi, galeri memang harus terbuka.
Hal yang lebih penting adalah cara pengelola mengemas pameran produknya. Saya melihat sejumlah galeri di Kemang masih mempertahankan prinsip-prinsip pemajangan yang bagus. Sebab, para pemilik galeri di Kemang adalah para pengusaha yang mempunyai pengetahuan luas mengenai pengelolaan apresiasi dan marketing karya seni. Mereka bukan semata-mata pengusaha yang selalu memegang prinsip de commodo et incommodo atau perhitungan rugi dan laba.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo