Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Karena Membaca Bisa di Mana Saja

Stasiun Jakarta Kota dan Bogor kini dilengkapi fasilitas peminjaman buku gratis. Bagian dari upaya meningkatkan minat baca.

4 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Stasiun Jakarta Kota dan Stasiun Bogor kini dilengkapi fasilitas peminjaman buku gratis, termasuk buku digital.

  • Pojok buku tersebut bagian dari upaya meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia yang masih rendah.

  • Minat baca perlahan meningkat, di antaranya berkat ketersediaan fasilitas membaca di berbagai ruang publik.

Di tengah keriuhan Stasiun Jakarta Kota, mereka mendapatkan kedamaian. Enam orang itu asyik membaca di karpet yang melingkari rak buku di sudut salah satu stasiun terpadat di Jakarta tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Samratul Paidah, 23 tahun, salah satu di antara mereka. Mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta, itu larut dalam keseruan Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba, komik fiksi Jepang yang mengisahkan pertarungan manusia melawan titisan iblis di era Kaisar Taisho di awal abad XX. "Saya sudah nonton animasinya. Eh, ada komiknya juga di rak buku itu," ujar Samratul kepada Tempo, Rabu, 28 Februari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pojok buku tersebut merupakan fasilitas baru pengguna stasiun yang diresmikan pada Jumat, 23 Februari lalu. Tumpukan buku yang bisa dibaca dan dipinjam itu hasil kerja sama PT Kereta Api Indonesia (KAI), KAI Commuter, Gramedia, dan seniman art deco Popo Mangun. Tujuannya, meningkatkan minat baca masyarakat. Tersedia 300 buku cetak dan 500 buku digital yang bisa dibaca tanpa biaya, termasuk sebagai teman perjalanan di kereta Commuter Line.

Suasana ruang baca di Stasiun Jakarta Kota, 29 Februari 2024. TEMPO/Jihan Ristiyanti

Samratul, seperti juga sebagian pengguna jasa kereta rel listrik lainnya, antusias akan keberadaan ruang baca publik tersebut. Maklum, dia hobi membaca. Hampir sekali dalam sepekan ia mengunjungi Perpustakaan Jakarta-Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat. 

Siang itu, dia baru kembali dari TIM dan meminjam dua buku cerita remaja, Jurnal Jo dan Jurnal Jo 2. "Buku ini kayak refleksi waktu kita sekolah," ujar Samratul tersenyum saat menunjukkan kedua buku tersebut. Perjalanan pulang Samratul ke Pluit, Jakarta Utara, menjadi kian menyenangkan dengan kehadiran perpustakaan stasiun tersebut.

Sayangnya, belum seluruh stasiun menyediakan ruang baca. Saat ini, pojok buku baru ada di Stasiun Jakarta Kota dan Stasiun Bogor. Stasiun Moda Raya Terpadu (MRT) punya lebih banyak titik.

Kehadiran ruang baca publik itu sedikit-banyak dapat meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia yang rendah. Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 2022 menyebutkan budaya literasi Indonesia meningkat ketimbang tahun sebelumnya, meski nilai akhirnya tetap kecil. Indikatornya ada tiga, yaitu tingkat kunjungan ke perpustakaan atau taman baca, akses Internet untuk mendapat informasi, serta tingkat baca buku cetak dan elektronik. Sayangnya, peningkatan budaya literasi ini tidak merata antar-wilayah. Provinsi DKI Jakarta misalnya, nilai budaya literasinya sebesar 68,64 persen. Adapun Papua hanya 29,13 persen.

Kebanyakan orang beralasan tidak memiliki waktu untuk membaca. Padahal selalu ada waktu di sela kesibukan yang bisa kita manfaatkan. Seperti yang dilakukan Samratul di Stasiun Jakarta Kota itu. Dalam bentuk digital, buku bisa selalu kita akses kapan pun dan di mana pun. Misalnya, Samratul yang menggunakan aplikasi iPusnas milik Perpustakaan Nasional dan Kindly. "Kalau naik KRL biasanya suka baca buku digital," ujar perempuan yang kerap mencari referensi bacaan menarik di aplikasi Goodreads tersebut.

Suasana ruang baca di Stasiun Jakarta Kota, 29 Februari 2024. TEMPO/Jihan Ristiyanti

Maghfiroh, pengguna KRL, juga semringah mendapati rak buku gratis di Stasiun Jakarta Kota pada siang itu. "Tadinya mau cari tempat duduk untuk menunggu kereta. Eh, lihat rak buku dan isinya keren-keren," ujar Maghfiroh sembari memegang Perawan dalam Cengkeraman Militer karya Pramoedya Ananta Toer.

Dia mengaku lebih menyukai buku fisik ketimbang digital. Selain sensasi yang berbeda, buku cetak membuat dia bisa lepas dari gawai. Maghfiroh kerap membawa buku dalam tasnya untuk dia baca pada waktu luang, termasuk di kendaraan umum. Satu tempat yang kerap dia singgahi untuk beristirahat sembari membaca adalah Taman Literasi Martha Christina Tiahahu di dekat Terminal Blok M, Jakarta Selatan. Maghfiroh yakin makin banyaknya pojok-pojok baca di ruang publik bisa meningkatkan minat baca masyarakat. 

Pendiri Komunitas Jakarta Book Party, Samuel Pandiangan, mengatakan budaya literasi masyarakat urban, termasuk minat baca, memang membaik. Alasannya, di perkotaan, semakin banyak tersedia ruang baca yang nyaman.

Hanya, Samuel menyesalkan masih banyaknya pandangan negatif terhadap pencinta buku yang menyalurkan hobinya di ruang publik. Entah itu di jalur pedestrian, di angkutan umum, ataupun di taman. "Kami banyak dipandang secara aneh dan dicibir sok keren. Itu membuat kami tidak nyaman," katanya.

Suasana ruang baca di Stasiun Jakarta Kota, 29 Februari 2024. TEMPO/Jihan Ristiyanti

Untuk mendorong minat baca sekaligus mengikis pandangan miring tersebut, Jakarta Book Party menggelar gerakan fomo alias fear of missing out membaca di tempat publik. Dalam acara sederhana itu, para pencinta buku ramai-ramai membaca di tempat yang ditentukan. Pengurus komunitas secara berkala menyampaikan waktu dan lokasi berkumpul mereka. Semua orang bebas untuk bergabung, membaca, lalu saling berbagi isi bacaan. Pembaca buku digital pun boleh ikutan.

Community Development Bookclub Semarang, Nidya Shara, mengatakan membaca di ruang publik mulai menjadi kebiasaan bagi penggiat komunitas baca di Semarang, Jawa Tengah. Bookclub Semarang menggelar kegiatan baca buku bareng tiap pekan, seperti di Taman Indonesia Kaya, di tengah ibu kota Jawa Tengah itu. 

Rutinitas membaca di ruang publik bukan semata-mata milik anggota komunitas. "Kami juga sering lihat orang baca buku digital di bus Trans Semarang, seperti di Kindle," ujar Nidya. Menurut dia, upaya peningkatan minat membaca tidak bisa semata-mata lewat jargon dan program, tapi perlu sosialisasi yang masif, termasuk penyebaran informasi soal fasilitas baca buku di kawasan masing-masing. 

JIHAN RISTIYANTI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus