Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEBERAPA pemantjar radio mulai menanggalkan kekuasaan piringan
hitam dengan kaset. Kantor-kantor memerlukan untuk memiliki
sebuah tape recorder kaset untuk merekam pidato-pidato dan
menghibur pegawai-pegawainja. Dirumah tangga orang mulai tradisi
baru mengabadikan pesta perkawinan, kematian,
peristiwa-peristiwa keluarga lainnja dengan rekaman kaset. Djuga
telah menggantikan peranan gamelan dalam upatjara adat seperti
misalnja tampak dibeberapa tempat di Bali. Dan dengan tak
tersangka-sangka dikampung-kampung jang tidak kaja satu dua
orang memiliki tape recorder kaset. Tukang warung, tukang bukur,
tukang pidjat dan pemilik toko menjembunjikan kaset diantara
dagangannja untuk menghibur diri langsung pula servis buat para
langganan. Bus-bus malam, sedan-sedan pribadi menutup kedjemuan
dalam perdjalanannja dengan pita kaset.
Industri.
Bangkitnja kebudajaan kaset membangunkan mata pentjaharian baru.
Jang terpenting diantaranja adalah penjediaan djasa perekaman
lagu-lagu. Sedjak dua tahun terachir ini kemadjuannja demikian
galak. Disetiap kota dimana listrik tidak merupakan soal
bangkit-lah usaha-usaha perekaman. Ia tumbuh umpama industri
ketjil. Mula-mula mereka menjediakan diri merekam lagu-lagu jang
diminta. Kemudian mereka mehhat kemungkinan untuk menjediakan
rekaman sudah djadi. inisiatif inilah jang mendjadi biangnja
industri perekaman itu. Setjara ramai-ramai piringan-piringan
hitam di-kaset-kan lalu diperdagangkan. Perbedaan harganja
dengan sebuah piringan hitam sedemikian memikatnja, sehingga
lakunja keras. Sebuah C60 jang dapat merekam dua buah long play
dapat didjual dengan harga Rp 500 sampai Rp 600. Sedangkan
piringan hitam long play sendiri jang masih baru harganja
berkisar antara Rp 1000 sampai Rp 1750 perbuah. Angka-angka ini
mendjadi alasan kenapa sekarang usaha-usaha perekaman itu
perlahan-lahan berguling mendjadi toko-toko musik kaset, toko
jang tidak melajani rekaman tetapi mendjual hasil-hasil rekaman.
Rekaman-rekaman pesanan mendjadi lebih sepi meskipun masih tetap
mendapat pelajanan. Untuk sebuah rekaman C60 stereo menghabiskan
ongkos antara Rp 400 sampai Rp 500, ini kalau digabung dengan
harga kaset kosongnja jang bernilai sekitar Rp 400 sampai Rp
500, bisa mendjadi 1 kali rekaman jang sudah djadi.
Meskipun rekaman-rekaman djadi jang direkam setjara masal,
(sampai 10-20 kali rekam) suaranja tidak sedjernih
rekaman-rekaman pesanan, orang mempunjai alasan tertentu untuk
membelinja. Disamping harganja seperti jang disebutkan tadi
djuga karena tidak perlu menunggu sampai dua tiga hari. Terutama
mereka jang berasal dari luar kota, mereka jang tak banjak punja
waktu untuk mengurus dan memilih, mereka tjukup senang
mendengarkan bunji-bunji jang tidak djernih itu, Seorang
pedagang kaset dipertokoan projek Senen menjatakan, dalam satu
hari ia bisa mendjual sampai 30 buah kaset djadi. Sementara itu
Wilihardi ditoko Kartika Blok M Kebajoran Baru jang pernah
menerima pesanan rekaman sampai 100 kaset menjatakan dengan
sedih bahwa achir-achir ini pesanan-pesanan sepi, sampai-sampai
ia memberikan korting sebesar 20%.
Pembadjakan.
Diseluruh Djakarta hampir disetiap kompleks pertokoan dapat
diketemukan toko-toko kaset jang serius maupun jang sekedar
njilmbi. Agaknja keuntungannja dan kemadjuannja mendjadi musabab
wabah, sehingga mereka semua latah untuk menggantungkan seperiuk
nasinja pada pendjualan kaset. Sudah tentu mereka banjak jang
kurang pengalaman sehingga kwalitas rekaman rekamannja tidak
djempol
Pada suatu hari ditahun 1970 tersebutlah seorang laki-laki
membeli kaset berisi rekaman lagu-lagu Indonesia disalah sebuah
toko jang banjak itu. Dengan tak tersangka beberapa hari
kemudian terdjadilah serangan mendadak kepada toko-toko perekam
itu jang dilakukan oleh pihak kepolisiam hasil-hasil rekaman
lagu-lagu Indonesia ditjari-tjari untuk didjadikan bukti.
Rupa-rupanja pem beli kaset jang ditjeritakan tadi adalah dari
salah sebuah perusahaan piringan hitam jang merasa dirugikan
dengan makin madjunja industri perekaman. Maka dalam kehidupan
hukum di Indonesia lahirlah sebuah kasus baru, jang sampai
sekarang masih dalam proses pengadilan.
Seorang djurubitjara diseksi Reskrim Komdak VII/Djaya jang
mengaku berbitjara atas nama AKBP Darwo Sugondo menolak untuk
memakai istilah "pembadjakan" untuk menamakan kasus baru dalam
perbendaharaan pengadilan Indonesia itu. Djubir jang tak suka
menjebutkan namanja itu menjatakan bahwa "pembadjakan" hanja
istilah kaum kuli tinta. Ia lebih suka memakai istilah
"pemalsuan". "Setiap pendjiplakan jang dilakukan tanpa seidjin
pentjiptallja, dimana ada orang lain jang dirugikan, dinamakan
pemalsuan", katanja. "Dan setiap pemalsuan itu termasuk kasus
kriminil". Iapun tak lupa memmdjukkan kasus Remaco jang sedang
dimasak di Pengadilan. "Dasar bertindak Kepolisian adalah atas
alasan pemalsuan dan pcrsaingan tidak djudjur. Dan dalam hal ini
kami hanja dapat melakukan penindakan bila ada orang atau
perusahaan yang melapor kepada kami", katanja.
Sang djubir jang mengenakan hem sport berwama putih diatas
tjelananja jang tjoklat itu ternjata pendapatnja berbeda dengan
Ir. Martono Socmodinoto Kepala Dinas Perindustrian DCI. Sang
insinjur tidak menolak istilah "pembadjakan". "Membadjak itu
adalah mengambil setjara paksa atau tanpa seidjin jang empunja",
katanja. Lalu diberikannja sebuah batasan: "Pembadjakan musik,
adalah pendjiplakan jang dilakukan terhadap karya orang lain,
tanpa seidjinnja". Tjontohnja apa jang dilakukan oleh perusahaan
piringan hitam terhadap perusahaan piringan hitam jang lalu.
Dengan semakin banjaknja pemakaian dan pendjualan kaset,
harga-harga piringan hitam merosot sampai 40, dari jang
semestinja", katanja kemudian. Baru ia mengambil antjer-antjer
tahun 1969 sebagai tahun mulai menandjaknja pamor kaset-kaset.
Ia melukiskan pada kenjataannja tjukup tuanja pentjurian melalui
pita di Indonesia. Hanja sadja dahulu belum mendjadi industri,
dikalangan jang tertentu sadja sehingga tak menimbulkan sakit
hati pemilik perusahaan piringan hitam.
Kentut.
Eugene Timothy marah dengan dahsjat sambil menghamburkan
kedjengkelan: "Pembadjakan, pemalsuan, pentjurian, pengambilan
hak patent, ah, pendeknja kedjahatan komplit!" serunja
menghadapi bangkitnja industri perekaman Direktur perusahan
piringan hitam Recmaco jang berdjambul rapi itu membelalak
dibelakang medjanja berkata dengan keras: "Disedot djerih pajah
kita selama ini seenaknja. Kalau dibidang rekaman-rekaman itu
bantu kita, bantu kentut!".
Direktur muda jang merasa terantjam nasibnja itu pada kesempatan
jang lain di Pengadilan menjatakan kepada Hakim bahwa ia harus
mendjawab "sekedar tanja" dari artis-artis jang telah merekam
suaranja. Ia memandang usaha perekaman tersebut jang tak pernah
mendapat idjin dari perusahaannja menimbulkan suasana jang
memodjokkan dia. Didalam menghadapi pengadilan tampaknja ia
antosias tetapi djuga agak gugup. Ia menghadapkan kepada Hakim
setumpukan mantel piringan jang telah dipotret oleh
djuragan-djuragan kaset didalam melengkapi bumbu barang
dagangannja. Sebuah pengadilan jang tjukup terlambat, karena
setelah setahun berdjalan ketika masuknja pengaduan, pengadilan
kepada pembadjak-pembadjak kaliber teri itu baru dimulai. Lutju
kelihatannja, karena sementara pengadilan berlangsung, di
Glodok, Projek Senen, Majestik, Blok M dan mungkin entah dimana
lagi saudagar-saudagar kaliber kakap sedang melipat uang
pembadjakannja. "Saja sedang perdjuangkan agar hukum
Internasional berlaku", kata Eugene dengan bersemangat.
Dengan tidak begitu galak, Sugito Karsono Managing Direktor
perusahaan piringan hitam J & B Enterprises ikut mengakui
turunnja pamor piringan hitam setelah muntjul kaset. Meskipun
tidak menimbulkan adjal. Diberikannja angka 1000-2000 jang
seharusnja bisa laku dalam waktu jang lebih singkat dari dua
bulan. Keterlambatan waktu ini menimbulkan semangat djuga bagi
perusahaannja untuk memaklumkan perang kepada kaum pembadjak.
Hanja sadja dengan lembut ia mengakui kemunduran pendjualan
piringan njanji itu tidak semata-mata karena dimakan oleh kaset,
tetapi djuga karena persaingan antara piringan itu sendiri.
"Perekaman kaset dengan djalan pemindahan dari piringan hitam
kekaset setjara utuh memang merugikan, patut dituntut ganti
kerugian. Tapi soal sebenarnja bisa dimengerti, jaitu toko-toko
dan perusahaan kaset itu ingin memberikan servis jang baik
kepada pembeli dan langganannja", katanja. Lalu ia sodorkan
sebuah djalan keluar. Bahwasanja keruwetan itu dapat
diselesaikan dengan kerdja sama antara tukang rekam dan pemilik
piringan hitam, dalam bentuk idjin jang resmi. Dengan kata lain:
ada pembagian keuntungan. Tapi, seperti dikatakannja: belum
tentu semua tukang rekam bersedia membagi untungnja.
Tetap segar.
"Pembadjak-pembadjak itu akan tanja kepada produser, apakah
sudah ada larangan tentang perekaman di Indonesia? Apakah
produser-produser itu telah menggedeponirkan hasil produksinja
ke Departemen Kehakiman?" tanja Rudy Pirngadie dengan tertawa.
Djendral hampir pensiun jang. Iebih tekun main kerontjong itu
mendjawabnja sendiri: "Karena tak ada hukum, maka legalitas
merekam begitu seolah-olah ada, tetapi setjara moral itu tak
benar" katanja sambil terus mengkaitkan dengan keuntungan besar
jang diperoleh para pembadjak sementara perusahaan piringan
hitam hanja bisa menghapus liur. Tidak adanja tanggungan
honorarium untuk penjanji, pemain musik, penulis lagu aranser
dari kaum pembadjak dapat diterima sebagai alasan kenapa kaset
isian djauh lebih murah dari sebuah piringan hitam,
Pemimpin Orkes Kerontjong Tetap Segar dengan nama aliasnja "Ever
Green" ini menerangkan dua hal jang dideritanja akibat
pembadja-kan. Kerugian batin jang bernama ketjurigaan dari pihak
seniman karena Tetap Segar dalam membajar seniman-seniman itu
tidak memakai sistim flat pay seperti umumnja dilakukan tetapi
pakai sistim prosentase oplah. Dengan banjaknja tersebar
lagu-lagu artis-artis itu sang Djendral seolah-olah telah
melakukan penggelapan. Lantas diganjang lagi oleh kerugian
materiil berupa tiadanja imbalan, atas pajahnja sementara
pembadjak-pembadjak itu panen duit. Penderitaan ini memang
sedikit mendapat hiburan karena dengan demikian luasnja
penjebaran lagu-lagu artis-artis mendjadi terkenal. Tetapi
hiburan begitu bagi Pirngadie sudah ketinggalan sepur.
Seharusnja tahun 1965 sadja pada saat Tetap Segar masih
mlemerlukan publikasi. "Sekarang pikir-pikir dahulu", katanja
sambil senjum. Mungkin karena tak berdaja menghadapi tingkahlaku
pembadjak-pembadjak di Indonesia jang sekarang dengan mandjanja
meradjalela, sang Djendral hanja menolehkan akalnja untuk
mengatasi pembadjakan Tetap Segar diluar negeri. Untuk keperluan
itu dengan terus terang ia menerangkan bahwa rekaman Tetap Segar
jang dilakukan di Indonesia diangkut ke Djepang untuk ditjetak
dan digedeponir lewat Toshiba. Katanja, hal itu akan membebaskan
piringan itu dari antjaman pembadjakan dari sementara negara
jang menandatangani Konvensi Bern. "Jah, terpaksa minta tolong
saudara tua karena di Indonesia ada kevakuman soal ini" katanja
dengan agak lutju, sambil menundjukkan long play "Old Time
Melodies in Keromtjong Beat" dengan nama "Ever Green" janga
berisi antara lain lagu-lagu: Mengapa Menangis, Bunga Anggrek,
Kerontjong Moritsko dan sebagainja.
Plagiat.
Menjusuri djedjak pembadjak lagu-lagu ini, Tety Kadi jang sedang
beladjar dirumahnja berkata kepada Sunarja Hamid, koresponden di
Bandung: "Bagi Tety pembadjakan musik tidak ada kerugiannja.
Tety tidak memakai sistim royalty karena susah pengontrolannja.
Untuk sebuah lagu jang direkam Tety mendapat Rp 10.000, tidak
soal berapa jang akan ditjetak, djadi jang rugi dalam hal ini
perusahaannja!" Pertanjaan ini diperkuat oleh pengantin baru
Enteng Tanamal jang mendjelaskan bahwa ia tidak begitu mengerti
mengapa harus mendjadi saksi dalam perkara "pengadilan kaset".
"Toch saja dan Tanty tidak merasa dirugikan, karena lagu kami
telah dibeli oleh Remaco dengan sistim flat pay' katanja. Bahkan
baginja apa jang dilakukan oleh usaha perekaman itu
menguntung-kan, karena kaset itu menambah publisitas dirinja
"Tentang pembadjakan itu kami tidak ambil pusing", katanja lebih
djauh, "Bukan sadja perekam-perekam itu jang bisa disebut
pembadjak, tetapi pengusaha-pengusaha piringan hitam djuga ada
jang membadjak. Buktinja kami diforsir agar membawakan lagu-lagu
djiplakan atau terdjemahan dari lagu-lagu India, Barat, Tjina
atau Melaju".
Sementara itu dalam umurnja jang ketigapuluh, seorang pentjipta
lagu pop Indonesia, Jessy Wenas membenarkan bahwa ada dua djenis
pembadjakan jang sekarang berdjangkit. Pembadjakan dengan sistim
kaset jang memukul perusahaan piringan hitam hingga sakit. Dari
pembadjakan jang timbul akibat sakitnja perusahaan-perusahaan
itu, jang memaksa mereka membeli hasil-hasil karja jang semurah
mungkin. Maka terbitlah fadjar pembadjakan djenis kedua, jang
diisi oleh lagu-lagu terdjemahan, lagu-lagu plagiat jang murah
harganja dan murah pula nilainja, namun laku. Dengan akal baru
ini maka beramai-ramailah lagu-lagu Barat, India, Hongkong
dipaksa memakai kain kebaja dan batik Indonesia. Misalnja
lagu-lagu terkenal seperti Release me, La Paloma, I can't stop
Loving you, Hey Jde, Aldilla sekarang tidak hanja dinjanjikan
oleh jang tahu bahasa Inggeris djuga oleh rakjat kampung dalam
bahasa Indonesia. Belum lagi lagu-lagu jang diambil dari lagu
daerah dengan pengarang jang tak dikenal (NN) atau jang
pura-pura tak dikenal. Tidak tjukup itu sadja. Beberapa
aransemen lagu asing dengan setjara terang-terangan dioper dalam
membuka lagu-lagu Indonesia. Tidak djarang orang ketjewa karena
salah duga. Mengira lagu barat, tahunja muntjul dendang si
Melaju. Semuanja dilakukan dengan tenang oleh para pengusaha
piringan hitam. Apa mereka tak gentar? Apa mereka tak merasa
mendjadi pembadjak?
"Saja marah sekali bila saja dikatakan pembadjak" kata Eugene
Timothy. Tetapi ia mengakui telah melakukan rekaman lagu-lagu
terdjemahan, meskipun ia hanja mengakui bahwa itu hanja
aransemennja. Tetapi ia tidak memperlihatkan bukti idjin resmi
dari pentjipta lagu asli, sesigap ia memperlihatkan bukti
kontrak dan :tanda pendaftaran labelnja, didalam sidang
pengadilam Sugito Karsono lebih djudjur sedikit. Ia mengakui
bahwa segala matjam terdjemahan itu sebenarnja tidak boleh,
karena tidak adanja suatu ikatan berupa Association. Namun ia
membantah untuk mengatakan pentjelakan piringan hitam lagu-lagu
terdjemahan itu sebagai pembadjakan. Alasannja tidak begitu
djelas. Ia menghindarkan suatu kasus jang berada dibawah kata:
badjak-membadjak -- dengan alasan peniruan jang hanja meliputi
beberapa bar tidak dapat dikatakan sebagai pembadjakan.
Koinsidensi.
Rudy Pirngadie didalam suatu diskui jang diselenggarakan oleh
Tetap Segar pernah mengatakan bahwa ada kemungkinan koinsidensi
dalam hubungannja dengan tjiptaan musik. Ia memberi tjontoh
dengan lagu Bengawan Solo jang menurut pendapatnja dapat ditarik
unsur-unsur garis paralelnja dengan LaPalonta. Sedangkan Amir
Pasaribu dalam diskusi itu mengemukakan istilah keilmuan jang
bemama "reminisensi", jang katanja berarti ingatan. Ingatan ini
sebara tak sadar muntjul dalam setiap pentjiptaan, sehingga ada
kemungkinan kedjadian milik orang jang disita dalam tjiptaan
seseorang. Ia menundjukkan tjiptaan-tjiptaan Beethoven dan
Mozart jang mempunjai ratusan reminisens. Bedanja dengan plagiat
oleh Amir Pasaribu dikatakan, lagu-lagu plagiat setjara sadar
diketahui milik orang lain, hanja dirubah disana sini,
remini-sensi tidak. Pada achirnja ia memberi resep untuk tidal
berketjil hati, karena Mozart dan Beethoven pun melakukan
reminisensi. Tetapi soalnja bukan itu. Soal lagu-lagu pop di
Indonesia sekarang bukan reminisensi tetapi djelas pembadjakam
Seharusnja ia ditindak sama dengan pembadjakan lain. Iapun
merupakan pelanggaran hak tjipta. Hanja soalnja tidak akan
mungkin ada tindakan bila tidak ada pengaduan.
Notaris.
Rudy Pingadie terus terang mengakui bahwa ia telah melakukan
pembadjakan. Tetapi ia bersikap lunak. Ia berkata: "Saja merekam
begitu sadja, karena toh tak ada tulisan atau peringatan dalam
lagu itu bahwa kita dilarang untuk mengutip atau menjanjikan
tanpa idjin pentjipta". Dan sebagai pertanggungdjawaban moral kepada
pembadjakannja, ia bersedia untuk membajar hasil tjiptaan itu
seandainja ada jang datang menuntut pembajaran. Dengan sjarat
agar jang datang itu dapat membuktikan memang ia pentjipta lagu
tersebut. Ia menundjukkan sebuah tjontoh, lagu Dondong Opo Salak
jang pernah direkamnja. Penjanji Kus Biantoro pernah datang
untuk minta bajaran, tetapi ia gagal karena tak punja bukti akte
notaris sebagai pentjipta.
Tjontoh keadilan jang ditundjukkan oleh pimpinan Tetap Segar itu
kedengarannja tjukup mengceikan. Karena apabila kebudajaan
"bukti otentik" belum meresap atau katakanlah dengan tjara lain
kalau pentjipta-pentjipta Indonesia terutama pentjipta lagu-lagu
daerah belum merasa gandrung mendaftarkan hasil-hasil karjanja,
besar kemungkinan bahwa pembadjakan-pembadjakan itu akan
meradjalela djustru karena berlindung pada hukum. Tak terlalu
pagi untuk mengatakan bahwa tiada meratanja kesadaran hukum
dalam masjarakat musik, mendjadi peluang satu fihak untuk
memukul fihak lain dengan sendjata hukum. Hukum jang tidak
merata akan menimbulkan ketidakadilan djadinja. Seperti halnja
pengadjuan pembadjakan piringan hitam oleh perekam kaset
kepengadilan itu. Peristiwa itu nampak agak lutju karena hanja
peristiwa pemalsuan jang diadili. Sedangkan peristiwa jang lebih
pokok lagi jaitu pelanggaran hak tjipta tidak ada kabar, hanja
karena tidak ada jang menuntut. Seolah-olah keadilan hanja
terlimpah kepada para pengusaha piringan hitam, begitulah
kelihatannja dari katja mata umum.
Dengan adanja pengadilan atas tuntutan perusahaan piringan hitam
jang sampai ini belum usai, masjarakat pedagang kaset mendjadi
gontjang. Rekaman-rekaman lagu Indonesia tiba-tiba menghilang.
Perekam-perekam menghentikan kegiatannja. Bahkan disebuah tempat
seorang tukang rekam berbuat over acting dengan menjimpan
tulisan dimedjanja jang berbunji: "disini tidak merekam
lagu-lagu Indonesia". Dan sementara itu dari Dinas Perindusirian
DCI, Ir. Martomo Soemodinoto memberi kabar bahwa masih diberikan
kesempatan kepada tukang-tukang rekam itu untuk mendaftarkan
dirinja sampai bulan Agustus. "Sampai sekarang baru 10 -- djadi
kira-kira baru 10% jang mendaftarkan" katanja. Dinjatakannja
pula bahwa para pembadjak itu disamping merugikan perusahaan
piringan hitam, mereka djuga telah merugikan negara karena tidak
membajar padjak perusahaan dan royalty. Tidak dinjatakan apakah
pemba-djakan jang dilakukan oleh pcrusahaan-perusahaan piringan
hitam sendiri tidak merugikan negara .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo