Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Merah Sungai Danube
Hash Mimi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Izmail, 22 Desember 1790, pada masa perang Russo-Turkish.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ivan Itenberg mendongak. Kepalanya pusing setiap kali melihat ke atas Benteng Izmail, yang tinggi menjulang, lebih tinggi dari awan.
“Haa, di sini kita menunggu aba-aba untuk memulai penyerangan atau menunggu untuk mengantarkan nyawa?” sindir temannya, Pavel Zhukovski, sambil membuang puntung rokok. Ivan melirik sekilas. Dimasukkannya kedua telapak tangan ke dalam saku. Giginya gemeretak merasakan dingin pada dini hari di bulan Desember.
Entah sampai kapan pasukan Kerajaan Rusia ini mengepung Benteng Izmail. Benteng unik yang terbuat dari batu hitam itu masih tetap berdiri kokoh. Sedangkan kondisi pasukan Kerajaan Rusia semakin menurun, baik mental maupun fisik. Memang tidak mudah menaklukkan salah satu benteng terkuat di Eropa itu, benteng kebanggaan Kekaisaran Ottoman. Bukan keinginan Ivan untuk bergabung menjadi tentara dan terjun ke medan perang ini. Pemuda berusia 20 tahun itu lebih memilih untuk bercocok tanam saja, hidup bersama kekasihnya di pondok mungil mereka. Namun ayahnya memaksanya untuk bergabung, demi kejayaan Tsarina yang agung.
“Pavel, kamu benar. Ketidakpastian itu mencemaskan dan perang itu menakutkan.” Ivan mengeluarkan isi hatinya, sekian lama berada di sini tentu saja menyiksa. Terkadang dia membayangkan menikmati teh samovar dan blini buatan ibunya di pagi hari dalam suasana desa yang tenang. “Padahal Panglima Besar Jenderal Potemkin sudah menyuruh kita mundur,” ujar Ivan lirih. Dia masih ingat benar jawaban Jenderal Alexander Suvorov, komandan pasukan mereka ini. ”Menyerah? Aku tidak kenal kata asing ini!” lanjut Ivan sambil menirukan suara dan mimik sang Jenderal.
Pavel tertawa. ”Setidaknya Jenderal Suvorov telah berjanji kepada kita untuk membiarkan kita melakukan apa saja kalau kita menang. Apa saja....” Pavel menekankan kata terakhir, sorot matanya menyiratkan hasrat yang menggebu-gebu.
Ivan terkesiap. Memang Jenderal Suvorov perhatian dengan anggota pasukannya. Tapi, melihat reaksi Pavel, dia khawatir jika situasinya nanti tidak terkendali. Jenderal mereka sendiri pernah mengatakan, “Seni berperang itu adalah dapat menundukkan kota tanpa perlawanan, dan dapat mengalahkan musuh tanpa pertarungan.”
Sebelumnya, Jenderal Suvorov telah memberikan ultimatum, yang dibalas dengan penolakan untuk bertekuk lutut dari komandan Izmail, Jenderal Mehmet Aydoz Pasha, empat hari lalu. Bangsa Tatar di Izmail akan tetap berjuang hingga titik darah penghabisan.
Di sinilah pertaruhan itu akan dimulai. Tepat pukul 3 dinihari terdengar bunyi suar, tampak percikan api di udara, menandai status operasi tempur. Dalam hitungan beberapa jam, suara dentuman meriam mengusik ketenangan fajar dan menggetarkan bumi Izmail. Kedua belah pihak saling bersahutan melepaskan tembakan meriam. Kabut tebal musim dingin berpadu dengan asap mesiu, mengaburkan pandangan. Namun, tidak mengurangi tekad pasukan Rusia untuk tetap maju mendaki benteng. Mereka menargetkan gerbang utara, timur, dan selatan yang lebih rentan. Mereka terus merangsek dan menaiki benteng. “Naik, naik!” teriak Ivan dan teman-temannya saat mulai mendaki. Rasa takut pun mulai memudar, semangat juang kian membara.
Hingga akhirnya terjadi keajaiban. Setelah penyerangan berjam-jam, pintu-pintu gerbang itu berhasil dibobol.
Setelah melumpuhkan pasukan Tatar di garda terdepan, pagi harinya mereka langsung memasuki permukiman penduduk. Ivan memasuki kota dengan perasaan campur aduk; euforia, waspada, juga takut.
Suasana kota tampak sepi mencekam, seakan tidak ada kehidupan. Namun Ivan dan teman-temannya tahu sesuatu yang mengejutkan menanti mereka. Jebakan. Sekilas dia dapat menangkap bayangan manusia dari balik tirai jendela, siap dengan senjata-senjata yang ada. Sepertinya bangsa Tatar tidak mengenal kata menyerah dalam kamusnya.
Tiba-tiba melesat satu anak panah yang berhasil menghujam dada salah satu anggota pasukan. Itu adalah aba-aba mereka. Dalam hitungan detik serangan berikutnya datang bertubi-tubi, diikuti lautan manusia keluar dari persembunyiannya. Pertempuran pun tak terelakkan. Pasukan Rusia membalas serangan membabi buta itu kepada setiap bangsa Tatar tanpa pandang bulu. Mayat laki-laki, perempuan, muda, tua, anak-anak mulai jatuh bergelimpangan, memenuhi setiap kamar, rumah, dan sudut ruas jalan. Jerit tangis membahana. Para wanita kehilangan kehormatannya. Anak-anak naik ke langit surga.
Ivan menatap nanar pemandangan di sekelilingnya. Hatinya berkecamuk melihat teman-temannya yang semakin buas menikmati harta rampasan perang. Tiba-tiba dia mendengar jeritan wanita. Tampak di hadapannya Pavel melampiaskan nafsu bejatnya kepada seorang wanita yang sedang hamil tua. Tanpa pikir panjang, Ivan melepaskan tembakan. Dia sudah mual dan muak.
***
26 Desember, 1790, sekitar 300 km dari Izmail.
Langkah Aliya, wanita Tatar itu, mulai terseok-seok. Hari ini salju turun deras, mempersulit upayanya melarikan diri dari Izmail. Tujuan saat ini ke salah satu desa Tatar terdekat, Desa Akbash. Di sana dia akan mencari tempat tinggal sementara, membeli kuda dan kereta luncur dengan koin emas yang dipersiapkan suaminya.
“Eni … aku lelah dan lapar,” rengek Leyla, putri kecilnya yang berusia 6 tahun. Sudah lima hari mereka berjalan, nyaris tanpa henti. Mereka terpaksa berhenti untuk bermalam di caravansary, atau di dalam gua. Terkadang hidup tidak menyisakan pilihan-pilihan.
Aliya merogoh kantong mantel kulit dombanya, mengambil beberapa gula-gula. “Makanlah ini,” ujarnya sambil mengencangkan syal yang membalut kepala dan leher Leyla, memastikan putrinya tidak kedinginan.
Selama perjalanan, dia mendengar berita dari para pelancong dan membaca selebaran koran.
“Izmail sudah ditaklukkan oleh Kerajaan Rusia. Warna sungai Danube telah berubah merah karena dipenuhi puluhan ribu mayat korban perang. Sepertinya akan butuh waktu cukup lama hingga Sungai Danube kembali normal.”
“Kekalahan Kekaisaran Ottoman benar-benar katastrofe! Lebih dari tiga puluh ribu korban dari pihak mereka terbunuh dalam tiga hari.”
“Tsarina Ekaterina Velikaya menobatkan Jenderal Alexander Suvorov sebagai pahlawan perang. Perang ini mengakhiri perang Russo-Turki.”
Aliya memegang dadanya. Rasanya sulit bernapas. Air matanya deras mengucur. “Murad … Murad.” Dia memanggil-manggil nama suaminya. Dia ingin bersamanya hingga syahid menjemput. Namun, Murad Khan punya kehendak lain. Masih terngiang-ngiang di telinganya, percakapan terakhir dengan suaminya itu.
“Aliya, apa kewajiban seorang suami kepada istrinya? Taat kepada suami, bukan? Karena itu, aku ingin kamu dan Leyla melarikan diri dari sini. Kita sudah tidak punya harapan lagi di sini, kekalahan sudah di depan mata. Namun, aku berharap, Leyla dan anak yang ada dalam kandunganmu dapat meneruskan garis keturunan kita, dan semoga di masa depan dapat melanjutkan perjuangan kita.”
“Bagaimana denganmu, Murad? Aku ingin bersamamu.”
“Tidak, aku prajurit Ottoman. Sultanku sudah memerintahkan untuk bertahan. Beliau mengancam akan memenggal kepala setiap pria yang lari dari benteng dan medan pertempuran.”
“Eni, jangan menangis.” Suara Leyla menyadarkan Aliya ke situasi saat ini. Mereka harus terus hidup, demi bagian Murad, juga seluruh bangsa Tatar di Izmail yang sudah mengorbankan nyawa mereka.
Aliya merasakan kondisi tubuhnya melemah. Mereka akhirnya duduk beralaskan sehelai bahan kulit binatang, di bawah pohon besar yang daunnya jarang-jarang dan berwarna putih itu. Dia memberikan roti naan dan kismis kepada Leyla. Dia sendiri hanya mencicipinya sedikit.
Aliya merogoh sesuatu dari saku mantelnya, lalu mengalungkannya ke leher Leyla. Dia memandang kalung itu dengan penuh emosi. Itu adalah medali emas kebanggaan Murad, anugerah dari Sultan Selim III atas jasa-jasa Murad dahulu.
“Leyla, jaga baik-baik kalung ini. Ingatlah ayahmu, ingatlah bangsamu.”
Setelah itu, Aliya merebahkan tubuhnya. Dia sangat lelah. Rasa kantuk segera menguasai. Dalam mimpinya dia bertemu Murad, “Aliya, aku datang menjemputmu karena engkau satu-satunya pengantinku di surga.”
Tak lama kemudian, dari kejauhan, seorang tentara datang mendekati Leyla dan ibunya. Dia mendapati Leyla menangis sambil mengguncang-guncang tubuh ibunya. Prajurit itu memeriksa kondisi si ibu. Menurut perkiraanya, wanita itu meninggal belum terlalu lama. Dipandanginya gadis kecil itu dengan penuh iba.
“Siapa namamu, bidadari kecil?” tanyanya dalam bahasa Tatar.
Mata hijaunya memindai tentara muda berambut pirang dan berwarna biru itu dengan penuh curiga. Leyla tahu kalau dia orang asing. “Aku Leyla. Kamu orang baik atau jahat?”
Dia tersenyum mendengar pertanyaan polos itu. “Aku tidak ada maksud jahat terhadapmu. Namaku Ivan Itenberg. Panggil aku Vanya. Aku tidak suka perang. Saat ini aku mau ke Prussia, ke rumah keluarga ibuku. Kamu mau ikut? Aku berjanji akan merawatmu dengan baik seperti adikku sendiri.”
Leyla mengangguk. Tanpa ayah dan ibu, dia merasa sendirian di dunia ini. Leyla takut sendirian.
***
Izmail, Provinsi Odessa, Ukraina (Izmail sekarang), 25 Agustus 2015.
Amira Qirim menatap lama pusaka keluarga yang tergantung di dinding. Sebuah kalung medali emas dengan simbol Kekaisaran Ottoman pada abad ke-18. Dia ingin merekam pusaka itu dalam benaknya sebelum pergi naik kereta ke Kiev sejam lagi, kemudian dari sana berlanjut dengan kereta ke Moskow.
“Aku masih berharap kamu berubah pikiran. Kenapa Moskow? Kamu sendiri tahu kalau orang-orang Rusia itu sangat angkuh.” Ucapan Haydar membuyarkan lamunannya. Dilihatnya sang kakak berdiri bersandar di pintu.
Amira menghela napas. Untuk kesekian kalinya dia harus berdebat dengan Haydar. Padahal Mamanya telah setuju untuk melepasnya kuliah ke luar negeri. "Mereka menawarkan program beasiswa yang menarik. Proyek penelitianku pun akan dibimbing langsung oleh profesor kenamaan dunia.”
“Jangan lupa dengan apa yang telah mereka lakukan kepada nenek moyang kita!” Pemuda itu tetap tidak mau kalah. Sorot matanya tajam mengarah ke pusaka keluarga.
Amira mengangguk. “Tentu saja. Tetapi, bukankah dunia juga perlu berubah? Pada umumnya, masyarakat kebanyakan itu baik. Aku tahu beberapa orang di antaranya.” Amira tersenyum mengingat beberapa teman baiknya di Rusia.
Haydar mendengus kesal. Ternyata sulit meyakinkan adiknya. “Amira, jangan naif. Dunia tidak sebaik dan sesederhana yang kaukira. Karakter manusia mudah berubah dan tidak bisa ditebak.”
“Haydar, kamu ingatkah? Dulu, Kakek pernah cerita kalau Nabi Muhammad pernah menawarkan kepada 70 tawanan perang asal Quraisy yang kebanyakan orang-orang berpendidikan itu. Alih-alih menghukum mereka, Nabi malah meminta mereka mengajarkan anak-anak Madinah membaca dan menulis sebagai balasan tebusan. Padahal kita tahu status mereka apa? Musuh.”
Amira mengecek ponselnya. “Sudah saatnya aku pergi. Tolong jaga Mama dan dirimu baik-baik.” Amira menepuk pundak Haydar dan menyeret kopernya. Taksi yang akan membawanya ke stasiun sudah menunggu di depan rumah.
Glossarium:
- Eni: dari kata Ana, Anne yang berarti ibu. Eni adalah panggilan akrab untuk ibu dalam bahasa Tatar.
- Blini: panekuk
- Caravansary: semacam penginapan yang umum di jumpai di wilayah Asia Tengah, Timur Tengah, dan Afrika Utara pada masa lampau. Penginapan ini memiliki pelataran yang besar di tengah, untuk mengakomodasi rombongan karavan dan para pelancong, biasanya dibangun di luar tembok kota dan desa.
- Samovar: poci teh ala Rusia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo