Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SECARA senda gurau barangkali ia sekarang sedang melangkah.
Sebelah kakinya telah menyentuh pintu surga, sementara kaki yang
lain masih bergelimang lumpur hitam. Mungkin ibarat itu tidak
terlalu tepat. Tapi yang pasti, setelah sekitar 5 tahun ia
tenggelam dalam dunia pelacuran, sekarang ia benar-benar tobat
-- bahkan menjadi juara pertama dalam MTQ para wanita tuna
susila (WTS) seluruh Indonesia di Semarang Oktober lalu.
Kisah Yuyun Yuliana tak jauh berbeda dengan cerita-cerita
tentang sadarnya pelacur lainnya. Tapi tekadnya untuk
membersihkan lumpur-lumpur dunia hitam agaknya lebih meluruskan
jalan ke kehidupan biasa. "Sekarang jika Tuhan mengizinkan,
sayaingin mendapat jodoh yang baik. Semua yang sudah lalu, sudah
saya kuburkan, " tutur wanita berusia 19 tahun itu di desa
kelahirannya Munjul, Ciamis. Tekad itu, tambah Yuyun, lebih
keras lagi ketika ia dinyatakan menjuarai MTQ di Semarang.
"Tangan saya gemetar waktu menerima hadiah," katanya.
Tak kurang dari 11 peserta dari berbagai panti rehabilitasi WTS
se Indonesia ia sisihkan dalam lomba di bulan oktober itu. Dan
sewaktu ia membuka hadiah, berupa Al Qur'an dan peralatan
sembahyang, selain sebuah piala, menurut Yuyun, "saya merasa
Yuyun yang lama sudah tak ada -- yang ada saya seperti sekarang
ini."
Pada mulanya, gadis kecil dari Desa Munjul, Kec. Buniseuri,
Ciamis itu memasuki hidup berumahtangga pada usia 14. Tapi
perkawinannya hanya berusia setahun tanpa anak. Sebagai jalada
kembang yang setiap hari dilirik dengan curiga oleh orang-orang
sedesanya, suatu hari ia menuruti ajakan temannya untuk
merantau. Dengan beberapa lembar pakaian, tanpa uang sama
sekali, akhirnya ia sampai di Gombong, Jawa Tengah. Mulai saat
itulah ia menjadi penghuni lokalisasi WTS.
Bosan di Gombong, ia ingin menghadapi tantangan yang lebih keras
lagi ke Jakarta. Di ibukota negara ini dengan mudah ia mendapat
tempat di tempat pelacuran liar, di Pejompongan. Dengan
penghasilan sehari rata-rata Rp 10.000, "saya merasa hidup
begitu enak juga."
Kata-Kata Kotor
Karena itu ia sempat bertahan dua tahun lebih di Pejompongan.
Suatu sore, Oktober 1980--ia ingat betul-tempatnya berpraktek
dirazia petugas Dinas Sosial DKI. Ia baru saja mandi dan sedang
berdandan ketika petugas menggiringnya pergi. Bersama puluhan
WTS lain, ia diangkut ke Pusat Rhabilitasi Mental Wanita "Mulya
Jaya". Pikirannya kalut, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia
membayangkan, yang bakal dihuninya itu suatu tempat menyeramkan
dengan petugas-petugas yang galak. Seketika ia ingat wajah
ayah-ibunya dan ia menangis untuk pertama kalinya.
Tempat penampungan itu, "ternyata bersih dan menyenangkan." Di
sini ia mulai belajar hidup berdisiplin. Bangun pukul 04.00
pagi, lalu mandi. Setelah bersembahyang subuh, ia berkewajiban
membersihkan kamarnya. Kegiatan itu dilanjutkan dengan senam
pagi selama satu jam. Setelah sarapan, tepat pukul 07.00
pelajaran dimulai. Mata pelajaran yang diberikan berupa PKK,
bimbingan mental, olahraga, keterampilan sampai baris berbaris.
Pelajaran agama mendapat porsi paling banyak. "Tiap malam Jumat
diadakan pengajian ," kata Yuyun. Sernua kegiatan itu baru
berakhir pukul 22.00 malam.
Yuyun pada mulanya merasa tertekan. Tapi ia sering teringat
orangtuanya dan mulai pasrah pada nasib. Akhirnya ia menyenangi
kesibukannya itu. Ia semakin betah ketika ditunjuk sebagai ketua
kelas, meski tugas itu dinilainya berat. Rekan-rekannya sering
sekali bertengkar, diatur pun sulit. "Kata-kata kotor sering
terlepas begitu saja," kata Yuyun.
Tapi ia cukup tabah. Dan jalan untuk kembali, agaknya terbuka
bagi anak pegawai kantor kecamatan ini. Nur Hasanah, guru
agamanya di panti itu, menaruh perhatian besar. Ia dilatih
mengaji. "Tak begitu sulit, sebab waktu kecil saya juga pernah
belajar mengaji." Tiga bulan mendapat bimbingan, ia sudah fasih
membaca Al Qur'an. Selanjutnya ia ditunjuk mewakili pantinya ke
MTQ di Semarang, dan berhasil.
Keinginannya untuk kembali kepada orangtuanya dikabulkan para
pembinanya. Ayahnya, Abdul Hasan menyambut dengan haru ketika
putrinya kembali ke rumah. Padahal, ketika secara selentingan ia
mendengar Yuyun jadi pelacur, "darah saya mendidih dan ingin
membunuhnya," kata sang ayah. "Walau bagaimanapun dia anak
saya."
Sejak keluar dari panti asuhan awal November lalu, Yuyun memilih
tinggal dengan ayahnya di sebuah rumah panggung berdinding bambu
dan berlantai papan di Kampung Sindang Hayuj Desa Sidang Hayu,
Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis.
Di rumah itu tinggal juga ibu tiri dan tiga orang adik tirinya.
Kampung Sindang Hayu terletak sekitar 3 km sebelah utara jalan
raya Ciamis-Pangandaran, jauh dari kebisingan kota.
E'en Di Balik Tembok
Wanita berkulit kuning langsat itu adalah Harnaenah, anak
tunggal Haji Baharuddin yang dikenal cukup berada di Desa
Partawinangun, Kuningan. E'en, panggilan Harnaenah adalah
penghuni kompleks WTS di Panjang, Lampung. Dalam MTQ untuk para
WTS se Indonesia di Semarang, ia keluar sebagai juara II.
Ketika duduk di SMP Cidiahu, E'en pernah menjuarai perlombaan
MTQ seKabupaten Kuningan. Mungkin karena suaranya yang lembut
dan merdu itu, sang ayah memasukkan E'en ke sebuah pesantren.
Tapi E'en cuma belajar delapan bulan saja di sana.
Ketika duduk di kelas 11 SMA, usianya sudah 19 tahun. Seperti
hanya gadis desa umumnya, usia itu sudah dianggap pas untuk
menikah. Apalagi E'en sudah tidak beribu sejak berusia 7 tahun.
Maka ia pun berumahtangga pada 1975. Anak pertama lahir pada
tahun berikutnya. Tapi kemudian sang suami pergi tanpa memberi
kabar dan nafkah. Belakangan baru ia tahu, suaminya itu telah
menikah lagi. "Dan saya tidak mau dimadu," tutur E'en, "kalau
dia tidak kawin lagi, saya tak akan sampai di Lampung ini."
Di saat E'en ditinggal suami (dan ayahnya sedang ke Mekah),
datang seorang wanita bernama Elly. Bujukan Elly di saat krisis
itu ternyata cukup manjur. Elly menjanjikan pekerjaan sebagai
pelayan toko, gaji Rp 25.000, sedangkan makan dan pondokan
dijamin--di Lampung. Kampung halaman, bahkan anaknya, ia
tinggalkan. Seperti juga cerita-cerita klise para pelacur
umumnya, wanita dari Kuningan ini, katanya, baru sadar ketika 27
April 1980 kakinya memasuki kompleks WTS di Panjang.
Kota Panjang terkenal sebagai pintu masuk di kawasan ujung
selatan Sumatera. Setiap hari, kota pelabuhan ini selalu
dilabuhi kapal. Paling tidak dua buah kapal milik PJKA
pulang-balik Merak-Panjang. Ditambah sekitar enam atau tujuh
buah kapal dalam dan luar negeri menurunkan jangkar di pelabuhan
itu.
Tidak jauh dari pelabuhan, bahkan hanya dibatasi tembok, ada
sebuah tempat yang mempunyai papan nama yang bertulisan:
"Dilarang bagi anggota ABRI masuk ke lokasi ini." Dan di lokasi
yang tidak boleh dimasuki tentara itulah, E'en tinggal. Ia
adalah salah seorang dari 895 WTS yang aktif beroperasi di situ.
Kamar yang disewa E'en pada seorang germo berukuran 3 x 3 meter.
Isinya cukup mewah. Ada sebuah ranjang cukup besar, sebuah
lemari kaca di sudut lain. Tampak pula sebuah mesin jahit hadiah
dari Kanwil Departemen Sosial Provinsi Lampung. Di atas mesin
itu dipajang sebuah jambangan berisi kembang-kembang plastik dan
sebuah Al Qur'an yang cukup besar dan apik. Kitab suci itu
didapatnya sebagai hadiah dari Departemen Sosial, ketika ia
menjuarai lomba MTQ WTS tingkat Nasional Pertama di Semarang.
Sejak 1 Mei lalu, E'en, 25 tahun, adalah salah satu dari 22
orang WTS yang mengikuti kursus ketrampilan yang diadakan Kanwil
Departemen Sosial Lampung di kompleks Rehabilitasi Tuna Susila
"Tunas Harapan". Ketika Departemen Sosial mengadakan lomba MTQ
untuk para WTS se Indonesia, E'en membawa nama Lampung menjulang
tinggi. "Bacaan pilihan saya ialah surah Al Baqarah, selama 10
menit," ujar E'en "Tetapi sampai di Lampung saya berbuat maksiat
lagi."
"Praktek" E'en kini agak berbeda paling tidak setelah dia
menjuarai MTQ. Misalnya, setiap hari Jumat kini E'en tidak
menerima tamu. "Setiap hari, kalau bisa, saya usahakan
bersembahyang lima waktu," ujarnya. Konon, sekembalinya dari
Semarang, "pikiran saya selalu takut akan dosa."
Tak Boleh Berhenti
Selain populer, E'en juga sering diundang warga kampung di
seputar lokalisasi untuk acara pengajian. "Tetapi praktek rutin
saya juga tidak boleh berhenti seratus persen," tuturnya, "sebab
saya 'kan mau makan dan minum."
"Dia memang sudah ada pengetahuan dasar dalam hal mengaji," kata
Sugiyono BA, Kakanwil Departemen Sosial Provinsi Lampung. Tambah
pejabat itu: "Dan kami hanya menambah kekurangannya, agar lebih
sempurna."
"Memang saya sudah mencoba mengarahkan E'en menjadi pegawai
Depsos," kata Sugiyono, "tapi dia harus belajar hidup prihatin
dahulu. Mungkin belum bisa sekarang, tapi saya melihat anak ini
masih bisa dibina." E'en sendiri, mengakui tawaran dari Kakanwil
Departemen Sosial tersebut. "Tapi bagaimana saya bisa hidup
kalau hanya menerima uang segitu?" keluh E'en.
Cita-cita E'en untuk bersuami belum padam sama sekali. "Kalau
ada laki-laki yang baik, saya mau menjadi istri yang setia,"
ujarnya. Dan pulang ke kampungnya di Kuningan, juga ia mau.
Meskipun ayahnya telah meninggal dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo