Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Mereka Sedang Melangkah

Profil beberapa wanita tuna susila yang menjuarai MTQ untuk para WTS se-Indonesia. Diantaranya Yuyun Yuliana dari Ciamis dan E'en Harnaenah dari Kuningan.

5 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SECARA senda gurau barangkali ia sekarang sedang melangkah. Sebelah kakinya telah menyentuh pintu surga, sementara kaki yang lain masih bergelimang lumpur hitam. Mungkin ibarat itu tidak terlalu tepat. Tapi yang pasti, setelah sekitar 5 tahun ia tenggelam dalam dunia pelacuran, sekarang ia benar-benar tobat -- bahkan menjadi juara pertama dalam MTQ para wanita tuna susila (WTS) seluruh Indonesia di Semarang Oktober lalu. Kisah Yuyun Yuliana tak jauh berbeda dengan cerita-cerita tentang sadarnya pelacur lainnya. Tapi tekadnya untuk membersihkan lumpur-lumpur dunia hitam agaknya lebih meluruskan jalan ke kehidupan biasa. "Sekarang jika Tuhan mengizinkan, sayaingin mendapat jodoh yang baik. Semua yang sudah lalu, sudah saya kuburkan, " tutur wanita berusia 19 tahun itu di desa kelahirannya Munjul, Ciamis. Tekad itu, tambah Yuyun, lebih keras lagi ketika ia dinyatakan menjuarai MTQ di Semarang. "Tangan saya gemetar waktu menerima hadiah," katanya. Tak kurang dari 11 peserta dari berbagai panti rehabilitasi WTS se Indonesia ia sisihkan dalam lomba di bulan oktober itu. Dan sewaktu ia membuka hadiah, berupa Al Qur'an dan peralatan sembahyang, selain sebuah piala, menurut Yuyun, "saya merasa Yuyun yang lama sudah tak ada -- yang ada saya seperti sekarang ini." Pada mulanya, gadis kecil dari Desa Munjul, Kec. Buniseuri, Ciamis itu memasuki hidup berumahtangga pada usia 14. Tapi perkawinannya hanya berusia setahun tanpa anak. Sebagai jalada kembang yang setiap hari dilirik dengan curiga oleh orang-orang sedesanya, suatu hari ia menuruti ajakan temannya untuk merantau. Dengan beberapa lembar pakaian, tanpa uang sama sekali, akhirnya ia sampai di Gombong, Jawa Tengah. Mulai saat itulah ia menjadi penghuni lokalisasi WTS. Bosan di Gombong, ia ingin menghadapi tantangan yang lebih keras lagi ke Jakarta. Di ibukota negara ini dengan mudah ia mendapat tempat di tempat pelacuran liar, di Pejompongan. Dengan penghasilan sehari rata-rata Rp 10.000, "saya merasa hidup begitu enak juga." Kata-Kata Kotor Karena itu ia sempat bertahan dua tahun lebih di Pejompongan. Suatu sore, Oktober 1980--ia ingat betul-tempatnya berpraktek dirazia petugas Dinas Sosial DKI. Ia baru saja mandi dan sedang berdandan ketika petugas menggiringnya pergi. Bersama puluhan WTS lain, ia diangkut ke Pusat Rhabilitasi Mental Wanita "Mulya Jaya". Pikirannya kalut, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia membayangkan, yang bakal dihuninya itu suatu tempat menyeramkan dengan petugas-petugas yang galak. Seketika ia ingat wajah ayah-ibunya dan ia menangis untuk pertama kalinya. Tempat penampungan itu, "ternyata bersih dan menyenangkan." Di sini ia mulai belajar hidup berdisiplin. Bangun pukul 04.00 pagi, lalu mandi. Setelah bersembahyang subuh, ia berkewajiban membersihkan kamarnya. Kegiatan itu dilanjutkan dengan senam pagi selama satu jam. Setelah sarapan, tepat pukul 07.00 pelajaran dimulai. Mata pelajaran yang diberikan berupa PKK, bimbingan mental, olahraga, keterampilan sampai baris berbaris. Pelajaran agama mendapat porsi paling banyak. "Tiap malam Jumat diadakan pengajian ," kata Yuyun. Sernua kegiatan itu baru berakhir pukul 22.00 malam. Yuyun pada mulanya merasa tertekan. Tapi ia sering teringat orangtuanya dan mulai pasrah pada nasib. Akhirnya ia menyenangi kesibukannya itu. Ia semakin betah ketika ditunjuk sebagai ketua kelas, meski tugas itu dinilainya berat. Rekan-rekannya sering sekali bertengkar, diatur pun sulit. "Kata-kata kotor sering terlepas begitu saja," kata Yuyun. Tapi ia cukup tabah. Dan jalan untuk kembali, agaknya terbuka bagi anak pegawai kantor kecamatan ini. Nur Hasanah, guru agamanya di panti itu, menaruh perhatian besar. Ia dilatih mengaji. "Tak begitu sulit, sebab waktu kecil saya juga pernah belajar mengaji." Tiga bulan mendapat bimbingan, ia sudah fasih membaca Al Qur'an. Selanjutnya ia ditunjuk mewakili pantinya ke MTQ di Semarang, dan berhasil. Keinginannya untuk kembali kepada orangtuanya dikabulkan para pembinanya. Ayahnya, Abdul Hasan menyambut dengan haru ketika putrinya kembali ke rumah. Padahal, ketika secara selentingan ia mendengar Yuyun jadi pelacur, "darah saya mendidih dan ingin membunuhnya," kata sang ayah. "Walau bagaimanapun dia anak saya." Sejak keluar dari panti asuhan awal November lalu, Yuyun memilih tinggal dengan ayahnya di sebuah rumah panggung berdinding bambu dan berlantai papan di Kampung Sindang Hayuj Desa Sidang Hayu, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis. Di rumah itu tinggal juga ibu tiri dan tiga orang adik tirinya. Kampung Sindang Hayu terletak sekitar 3 km sebelah utara jalan raya Ciamis-Pangandaran, jauh dari kebisingan kota. E'en Di Balik Tembok Wanita berkulit kuning langsat itu adalah Harnaenah, anak tunggal Haji Baharuddin yang dikenal cukup berada di Desa Partawinangun, Kuningan. E'en, panggilan Harnaenah adalah penghuni kompleks WTS di Panjang, Lampung. Dalam MTQ untuk para WTS se Indonesia di Semarang, ia keluar sebagai juara II. Ketika duduk di SMP Cidiahu, E'en pernah menjuarai perlombaan MTQ seKabupaten Kuningan. Mungkin karena suaranya yang lembut dan merdu itu, sang ayah memasukkan E'en ke sebuah pesantren. Tapi E'en cuma belajar delapan bulan saja di sana. Ketika duduk di kelas 11 SMA, usianya sudah 19 tahun. Seperti hanya gadis desa umumnya, usia itu sudah dianggap pas untuk menikah. Apalagi E'en sudah tidak beribu sejak berusia 7 tahun. Maka ia pun berumahtangga pada 1975. Anak pertama lahir pada tahun berikutnya. Tapi kemudian sang suami pergi tanpa memberi kabar dan nafkah. Belakangan baru ia tahu, suaminya itu telah menikah lagi. "Dan saya tidak mau dimadu," tutur E'en, "kalau dia tidak kawin lagi, saya tak akan sampai di Lampung ini." Di saat E'en ditinggal suami (dan ayahnya sedang ke Mekah), datang seorang wanita bernama Elly. Bujukan Elly di saat krisis itu ternyata cukup manjur. Elly menjanjikan pekerjaan sebagai pelayan toko, gaji Rp 25.000, sedangkan makan dan pondokan dijamin--di Lampung. Kampung halaman, bahkan anaknya, ia tinggalkan. Seperti juga cerita-cerita klise para pelacur umumnya, wanita dari Kuningan ini, katanya, baru sadar ketika 27 April 1980 kakinya memasuki kompleks WTS di Panjang. Kota Panjang terkenal sebagai pintu masuk di kawasan ujung selatan Sumatera. Setiap hari, kota pelabuhan ini selalu dilabuhi kapal. Paling tidak dua buah kapal milik PJKA pulang-balik Merak-Panjang. Ditambah sekitar enam atau tujuh buah kapal dalam dan luar negeri menurunkan jangkar di pelabuhan itu. Tidak jauh dari pelabuhan, bahkan hanya dibatasi tembok, ada sebuah tempat yang mempunyai papan nama yang bertulisan: "Dilarang bagi anggota ABRI masuk ke lokasi ini." Dan di lokasi yang tidak boleh dimasuki tentara itulah, E'en tinggal. Ia adalah salah seorang dari 895 WTS yang aktif beroperasi di situ. Kamar yang disewa E'en pada seorang germo berukuran 3 x 3 meter. Isinya cukup mewah. Ada sebuah ranjang cukup besar, sebuah lemari kaca di sudut lain. Tampak pula sebuah mesin jahit hadiah dari Kanwil Departemen Sosial Provinsi Lampung. Di atas mesin itu dipajang sebuah jambangan berisi kembang-kembang plastik dan sebuah Al Qur'an yang cukup besar dan apik. Kitab suci itu didapatnya sebagai hadiah dari Departemen Sosial, ketika ia menjuarai lomba MTQ WTS tingkat Nasional Pertama di Semarang. Sejak 1 Mei lalu, E'en, 25 tahun, adalah salah satu dari 22 orang WTS yang mengikuti kursus ketrampilan yang diadakan Kanwil Departemen Sosial Lampung di kompleks Rehabilitasi Tuna Susila "Tunas Harapan". Ketika Departemen Sosial mengadakan lomba MTQ untuk para WTS se Indonesia, E'en membawa nama Lampung menjulang tinggi. "Bacaan pilihan saya ialah surah Al Baqarah, selama 10 menit," ujar E'en "Tetapi sampai di Lampung saya berbuat maksiat lagi." "Praktek" E'en kini agak berbeda paling tidak setelah dia menjuarai MTQ. Misalnya, setiap hari Jumat kini E'en tidak menerima tamu. "Setiap hari, kalau bisa, saya usahakan bersembahyang lima waktu," ujarnya. Konon, sekembalinya dari Semarang, "pikiran saya selalu takut akan dosa." Tak Boleh Berhenti Selain populer, E'en juga sering diundang warga kampung di seputar lokalisasi untuk acara pengajian. "Tetapi praktek rutin saya juga tidak boleh berhenti seratus persen," tuturnya, "sebab saya 'kan mau makan dan minum." "Dia memang sudah ada pengetahuan dasar dalam hal mengaji," kata Sugiyono BA, Kakanwil Departemen Sosial Provinsi Lampung. Tambah pejabat itu: "Dan kami hanya menambah kekurangannya, agar lebih sempurna." "Memang saya sudah mencoba mengarahkan E'en menjadi pegawai Depsos," kata Sugiyono, "tapi dia harus belajar hidup prihatin dahulu. Mungkin belum bisa sekarang, tapi saya melihat anak ini masih bisa dibina." E'en sendiri, mengakui tawaran dari Kakanwil Departemen Sosial tersebut. "Tapi bagaimana saya bisa hidup kalau hanya menerima uang segitu?" keluh E'en. Cita-cita E'en untuk bersuami belum padam sama sekali. "Kalau ada laki-laki yang baik, saya mau menjadi istri yang setia," ujarnya. Dan pulang ke kampungnya di Kuningan, juga ia mau. Meskipun ayahnya telah meninggal dunia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus