Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suatu hari, pada 1996, sutradara Michael Mann tengah mengutak-atik sebuah kisah nyata perdagangan senjata di Marbella, Spanyol, bersama sahabatnya, produser/wartawan CBS Lowell Bergman. Lelah dengan proyek film mereka yang tak kunjung terwujud, Bergman berkata kepada Mann, "Kau tak akan membayangkan apa yang sebetulnya tengah saya alami sekarang ini; di sini, di negaramu ini."
Kepada Mann, Bergman menceritakan skandal perusahaan tembakau yang sedang dia ungkap bersama seorang konsultan perusahaan tembakau yang kelak dikenal bernama Jeffrey Wigand. Konsultan yang dipecat dari perusahaan tersebut mengetahui para eksekutif perusahaan tembakau itu mengizinkan penyusupan bahan karsinogenik seperti coumarin yang adiktif ke setiap batang rokok. Mann langsung tertarik pada kisah itu. Sebab, "Semua tokoh dalam kisah itu mempunyai kelemahan," kata Mann menjawab pertanyaan Tempo tentang sebuah kisah jurnalistik yang menggegerkan itu, yang kelak kita kenal melalui film The Insider (1995).
Mann mengaku tak pernah ingin menampilkan tokoh yang heroik. Film ini adalah salah satu karya Michael Mann yang diganjar pujian para kritikus; meraih nominasi Academy Awards untuk Film, Sutradara, Skenario, Aktor Terbaik (Russell Crowe), Sinematografi, Penyuntingan, dan Tata Suara. Setelah All the President's Men (Alan J. Pakula, 1976), The Insider menjadi film yang biasa wajib tonton bagi wartawan.
Di hadapan 20 sineas Indonesia di Jakarta pekan lalu, Mann terlihat bersemangat bercerita meski ia baru sempat tidur selama dua jam karena semalaman syuting adegan terakhir film terbarunya di Lapangan Banteng. Filmnya yang terbaru adalah sebuah film thriller-kriminal tentang perburuan polisi terhadap seorang yang melakukan kriminal cyber dan dikejar ke berbagai negara hingga ke Hong Kong, Indonesia, dan Malaysia.
"Polisi yang mengejar tak mengetahui identitas yang diburu; apa motivasinya dan apa yang diinginkan sang kriminal itu," kata Mann, yang mengaku belum memberi judul resmi pada filmnya itu. Untuk beberapa pekan di Jakarta, ia mengaku banyak dibantu kemudahan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di bawah pimpinan Mari Elka Pangestu.
Michael Kenneth Mann lahir di Chicago, Illinois, 70 tahun silam. Meski memperoleh gelar sarjana sastra Inggris di University of Wisconsin, Mann mengaku jatuh cinta pada film ketika menyaksikan film Dr Strangelove karya Stanley Kubrick. Berbeda dengan para sutradara Amerika lainnya, Mann menempuh pendidikan film di London Film School, Inggris, dan memulai karier dengan mengerjakan berbagai film iklan.
Pada Mei 1968, Mann merekam peristiwa legendaris demonstrasi mahasiswa Paris yang kemudian diberi judul Insurrection, yang kemudian ditayangkan di saluran NBC. Pengalamannya dari peristiwa Mei 1968 di Paris itu dituangkan dalam film pendek Jaunpuri, yang kemudian menggondol Jury Prize di Festival Film Cannes pada 1970.
Masyarakat Indonesia, seperti juga masyarakat penonton televisi lainnya, mengenal produksi Michael Mann dari serial televisi Miami Vice (1984-1989), yang diciptakan oleh Anthony Yerkovich. Meski Mann bertindak sebagai produser, ciri khasnya yang sangat memperhatikan warna, musik, dan visual sangat terasa dalam serial yang kemudian menjadi ikon pada zamannya itu. Serial Miami Vice saja memberi nuansa baru dari serial detektif: warna merah jambu yang dikenakan detektifnya, warna putih jas sangat kontras dengan kostum para detektif umumnya (yang lazimnya mengenakan jas muram kelabu atau hitam seperti Columbo yang diperankan Peter Falk di masa lalu); warna langit Miami yang biru mencolok ditabrak dengan warna pakaian penduduk yang kuning, merah, atau jingga.
Puluhan tahun kemudian, Mann menyutradarai Miami Vice (2006) versi layar lebar dengan pemain Jamie Foxx sebagai detektif Rico Tubbs dan Collin Farrell sebagai detektif Sonny Crocket. Warna dominan yang dipilih sebagai visual cenderung biru dan metalik.
Tapi sebetulnya dari puluhan film karya Mann, seperti The Last of the Mohican (1992), Ali (2001), Collateral (2004), dan Public Enemies (2009), film Mann yang legendaris adalah Heat, yang pertama kali menampilkan Al Pacino dan Robert de Niro berhadapan sebagai detektif dan penjahat (1995), dan The Insider (1999).
Menjawab pertanyaan Tempo, Mann mengaku, selama pembuatan film The Insider, dia sama sekali tidak mendapat kerja sama dengan anchor program 60 Minutes ternama, Mike Wallace (dalam film, Wallace diperankan dengan cemerlang oleh Christopher Plummer). "Ego Mike tentu saja tidak kecil," kata Mann, yang mengaku penggambaran Wallace dalam film memang tidak sebagai sosok yang menyenangkan, "Tapi dia lucu. Dia menggerutu soal produser Lowell Bergman yang kok ya mau bekerja sama untuk pembuatan film tentang skandal film itu. Ketika saya tanya, bolehkah sumpah serapahmu ini kugunakan dalam film, dia menjawab, silahkan," Mann terkekeh-kekeh mengaku Mike Wallace yang akhirnya menyaksikan film itu tidak menyukai The Insider.
Salah satu ciri khas film Michael Mann adalah hampir setiap tokoh utamanya mempunyai latar belakang kisah. Mann selalu merasa penting memberikan biografi tokohnya. Itulah sebabnya apakah dia memilih genre laga seperti Heat atau drama seperti The Insider, tokoh-tokohnya adalah manusia yang penuh kelemahan yang dicintai penontonnya. Salah satu "rahasia" Mann adalah dengan melakukan latihan karakterisasi yang intens, yang sebetulnya tidak ada dalam skenario, untuk membantu pembangunan sebuah adegan.
"Anda dikenal selalu menyiapkan 'phantom dialogue', dialog yang sebetulnya tidak ada dalam skenario. Bisa Anda ceritakan proses itu?" tanya produser dan sutradara Erwin Arnada.
Ya, saya menyiapkan phantom dialogue untuk memberi isi, bobot emosi, pada dialog sebenarnya," kata Mann. Dia memberi contoh adegan tokoh Lowell Bergman (Al Pacino) dan Jeffrey Wigand (Russell Crowe), yang bertemu di kafe dalam film The Insider. "Dialog sebetulnya adalah upaya Lowell meyakinkan Wigand muncul di acara 60 Minutes. Tapi, saat latihan, saya memberikan dialog lain, yaitu mereka berbagi perasaan tentang ayah mereka," ujar Mann. Menurut Mann, Lowell Bergman ditinggal ayahnya sejak kanak-kanak, sehingga dia selalu membutuhkan validasi sosok lelaki lain; Wigand membenci ayahnya.
Dengan menggunakan gaya latihan seperti ini, menurut Mann, adegan sesungguhnya menjadi lebih berisi, lebih berbobot.
Pernah merasa salah memilih pemain? "Yah, sering. Saya biasanya meminta 20-30 nama aktor membacakan skenario, dan pernah saya sampai tidak tidur bermalam-malam karena rasanya tidak cocok. Besoknya saya meminta maaf kepada sang aktor karena saya merasa dia bukan aktor yang cocok untuk peran tersebut," katanya tertawa.
Sebaliknya aktor Christopher Plummer tak perlu melalui kompetisi audisi ketika dipilih memerankan Mike Wallace. Selain wajahnya mendekati wajah sang anchor, seni peran Plummer sudah pas dengan tokoh tersebut.
Mann juga menceritakan lazimnya dia meminta aktornya bersiap berbulan-bulan sebelumnya untuk berlatih. "Will Smith berlatih 10 bulan untuk menjadi petinju bernama Ali," katanya. Tapi Al Pacino baru wira-wiri di tempat syuting tiga pekan sebelum pengambilan gambar. "Saya menegurnya, 'Al, kau harus ke sini, latihan.' Dan jawaban Al Pacino adalah, 'Mike, I am an actor '."
Tentang filmnya yang sedang digarap, produser Mira Lesmana bertanya mengapa Mann memilih Jakarta sebagai lokasi. Dia berkisah bagaimana dua tahun silam ia sudah beberapa kali ke Indonesia dan mengunjungi berbagai tempat, termasuk Bali. "Ada energi di Jakarta yang menarik hati saya. Ada denyut nadi dan reaksi penduduknya terhadap problem kepadatan jalanan yang sungguh mengagumkan. Mereka tetap bersikap positif," katanya dengan nada serius. Selain itu, "Saya memperhatikan arsitektur Jakarta yang warna-warninya bertabrakan dengan lampu neon berwarna biru, hijau dengan aksen kuning.... Buat saya, itu visualisasi yang menarik," ujarnya.
Mann mengisahkan bagaimana ritme film terbarunya mengikuti denyut lokasi kota. Karena tokoh utama film ini mengejar seorang kriminal ke berbagai kota, sedangkan target yang diburu tak jelas bentuknya, "Di setiap kota terjadi perubahan analisis dan perubahan strategi perburuan," katanya. Bagi sepasang mata Mann, Hong Kong penuh dengan warna merah dan hitam. "Secara visual, arsitektur terlihat penuh dengan pola yang bertumpuk, jadi kami harus menggunakan lensa panjang untuk menangkap seluruh perubahan ritme isi kota yang begitu cepat," ujarnya.
Di Jakarta, Mann mengaku melakukan pendekatan antropologis. Dia memperhatikan tingkah laku penduduk dan reaksinya terhadap situasi Jakarta. Pada malam terakhir syuting di Jakarta, Mann mengaku merekam adegan kolosal yang melibatkan 2.000 figuran Indonesia yang bergerak dalam sebuah festival, sementara aktor Chris Hemsworth beraksi di tengah festival tersebut. Ketika sutradara Nan T. Achnas bertanya apakah dia sering mengadakan perubahan di lapangan, Mann tertawa mengatakan, "Ya, tentu."
Adegan di Lapangan Banteng itu, menurut Mann, baru belakangan terasa terlalu banyak dialog. "Di atas kertas terasa oke. Tapi, begitu dipraktekkan, saya merasa dialog akhir itu terlalu panjang," katanya. Mann mengaku akan mengubahnya.
Pertanyaan menarik datang dari penulis skenario Salman Aristo, "Bagaimana Anda memilih sebuah cerita yang cocok untuk diangkat menjadi film?" Mann menjawab dengan diplomatis, "Cerita itu datang kepada saya, bukan saya yang mencari cerita itu." Mann menambahkan, implikasi ucapannya adalah cerita dan sutradara biasanya harus berjodoh. Dia mengaku, saat memilih cerita dan memutuskan mengangkatnya menjadi film, ia tak pernah memikirkan apakah itu untuk penonton yang luas atau tidak, tetapi, "Saya memilih cerita yang menggairahkan saya, dan berharap saya bisa membagi kegairahan itu kepada penonton." Dia menekankan sutradara baik tak akan memikirkan apakah filmnya akan meraup penonton yang banyak, tapi lebih memikirkan apakah cerita itu menarik dan menggairahkan. "Soal meraih jumlah penonton, itu jadi urusan marketing saja," katanya bergurau.
Sebelum menutup perbincangan tiga jam dengan para sineas Indonesia, Mann menekankan bahwa seorang sineas harus bisa mempunyai kulit yang tebal menghadapi kritik para kritikus film. "Tentu saya sangat mendengarkan beberapa kritikus serius, seperti The New York Times. Tapi, jika ada yang agak memaki, kita tak perlu risau," ujarnya menjawab pertanyaan Joko Anwar.
Mann, yang mengaku baru menyaksikan satu film Indonesia, yaitu The Raid (Gareth Evans, 2011), begitu terpesona oleh Indonesia. Suatu hari dia akan kembali ke Indonesia untuk membuat filmnya yang lain.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo