Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA sekitar lima tembok terpisah yang berjajar di tikungan simpang tiga dekat Pasar Burung di Jalan Barito, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di tembok-tembok itulah Darbotz menggambar cumi-cumi raksasa dengan sungut-sungut yang mengular ”sambung-menyambung” di setiap tembok, seakan memeluk tikungan itu. Cumi itu digambar pada malam sebelum pembukaan pameran tunggal pertamanya, Monster Goes Out at Night, di D Gallerie, persis di seberang pagar itu, pada Jumat, 5 Maret lalu.
Usia monster cumi itu cuma semalam. Esok siangnya grafiti tersebut sudah dibersihkan. Seorang petugas menimpanya dengan cat tembok putih, tapi sisa gambar cumi masih membayang. ”Kalau enggak dihapus, saya dimarahin Pak Camat,” kata sang petugas saat ditanya Darbotz.
Dalam tradisi grafiti, memutihkan tembok sebenarnya sebuah kekeliruan. Tembok putih bersih justru bikin gatal tangan para seniman jalanan untuk memberikan sentuhan keindahan dengan cat semprotnya. Buktinya, beberapa hari kemudian tembok putih itu sudah kembali penuh gambar. Kali ini berisi coretan nama-nama geng dan sekolah. ”Daripada dicoret-coret begitu, kan mending digambar,” kata Darbotz sambil memandang bekas ”kanvas”-nya itu dari kaca jendela Cengkeh Cafe, yang berada di samping ruang pamerannya, pada Senin pekan lalu.
Darbotz adalah panggilan pemuda yang pekerjaan resminya desainer sebuah perusahaan iklan di Jakarta. Nama itu merupakan pelesetan dari julukan seorang gurunya di sekolah menengah pertama. Hingga kini dia enggan mempublikasikan jati diri aslinya. Di dunia bawah tanah, orang memang biasa menggunakan nama panggilan. ”Itu untuk mengantisipasi kalau terjadi apa-apa yang berkaitan dengan grafiti kami yang vandal atau ilegal,” kata Nsane5, seniman grafiti di Jakarta.
Selain dua orang itu, ada sekitar 20 seniman grafiti yang aktif dan cukup terkenal di Ibu Kota, seperti Wormo, Name2, Tutu, Fine, Bujangan Urban, dan Popo. Ini belum termasuk 10 kru (sebutan bagi kelompok seniman jalanan) dan, ”Para pemula atau yang baru belajar satu-dua tahun yang jumlahnya banyak banget,” kata Nsane5, yang tergolong senior di kalangan ini.
Mereka suka berkeliaran malam-malam untuk ngebom—menggambar tembok pagar atau dinding jembatan dengan cat semprot. Menurut Darbotz, mereka biasanya survei dulu sasaran beberapa kali untuk memastikan lokasi aman dan waktu tepat untuk beraksi. Mereka tentu perlu waspada terhadap patroli polisi dan satuan polisi pamong praja. ”Tapi, yang lebih dikhawatirkan sebenarnya preman, karena mereka suka malak, minta jatah cat semprot. Bahkan ada teman saya dipukuli gara-gara tembok yang mau digambar ada di kawasan tanah sengketa yang dijaga preman itu,” katanya.
Bagi mereka, tembok jalan dan rumah telantar adalah kanvas memikat. ”Gue suka melihat kekotorannya, struktur jalanan, bentuk tembok yang rusak, coretan geng SMA atau STM. Kalau kita gambar di kertas kan buat diri sendiri. Kalau gambar di jalan, orang yang make jalan bisa ngeliat,” kata Darbotz, yang sudah mencoret dinding jalanan dan bus kota sejak sekolah menengah pertama, belasan tahun lalu.
Setelah melukis tembok, beberapa seniman itu mulai memamerkan karya mereka di galeri seni. Dua yang terakhir adalah Darbotz dan Popo. Darbotz berpameran hingga 21 Maret. Popo menggelar pameran solonya, Numpang Nampang, di Ruang Rupa, Tebet, Jakarta Selatan, 8-20 Maret. Keduanya memamerkan karya yang tak jauh berbeda dari grafiti, terutama karakter yang mereka ciptakan. Para seniman grafiti biasanya menciptakan tagging, penanda visual atau ”tanda tangan” yang mereka tinggalkan di tembok.
Riyan Riyadi, nama asli Popo, punya tagging Popo, yang profilnya mirip ciri fisik Riyan. Popo berupa kartun manusia hitam-putih dengan satu mata belok dan satu sayu serta cameuh (dagu bawah lebih maju). Badannya polos, kaki dan tangan juga polos, terkadang tanpa jari. Pakaiannya mengikuti peran yang dimainkannya. Penggambaran Popo sangat sederhana, dengan garis seperlunya saja.
Nama itu semula dicomotnya dari coretan yang dibikin beberapa seniornya di tembok dekat rumahnya di Kayuringin Jaya, Bekasi Selatan, pada 1999. Belakangan nama itu jadi kependekan dari positive progress. ”Ini kayak doa kecil: mudah-mudahan apa yang kulakukan merupakan kemajuan yang positif,” kata dosen desain komunikasi visual Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jakarta, ini.
Riyan menekankan aspek komunikasi dalam berkarya dan menyebut keseniannya sebagai desain grafis, bukan lukisan. Itu sebabnya mengapa dia mengabaikan kekasaran sapuan pada lukisan dan mengedepankan kesederhanaan dalam menyampaikan pesan.
Riyan memamerkan delapan judul, yang mengandung sekitar 52 karya, yang digarap selama 10 hari. Kurator pameran adalah Andi Rharharha dan Bujangan Urban, sesama seniman jalanan. Karya Riyan semacam catatan harian visual, kadang disertai komentar apa yang terjadi. Misalnya dalam Computer Desktop Series, berupa enam gambar pemandangan dari wallpaper Windows yang ditambah gambar Popo yang seakan sedang berlibur di sana. ”Sepuluh tahun aku enggak pernah nikmatin hari Minggu,” kata Riyan.
Selepas sekolah menengah atas pada 2000, Riyan membantu usaha pencucian kendaraan milik bapaknya. Setiap Ahad sedikitnya dia mencuci 10 mobil. Bahkan pada Minggu menjelang Lebaran beberapa tahun lalu dia mencuci 22 mobil dan 15 sepeda motor seharian. Malamnya, dengan kaki penuh kutu air dan mata yang mengantuk, dia masih ingin ”berlibur”, tapi yang ada cuma komputer. ”Di komputer itu enggak ada game, enggak ada Internet, enggak ada video. Yang menghibur cuma desktop-nya,” katanya. Pengalaman itu mengilhaminya berkarya.
Modus karya Riyan adalah menambah sosok Popo di karya orang lain yang sudah ada atau modifikasi Popo menyerupai tokoh populer. Popo seakan menumpang nampang di mana-mana. ”Emang dari dulu gue dibilang narsis. Intinya, mau nampang terus, perilakunya numpang,” katanya.
Aksi Popo nampang dapat kita temukan pada Oh Ngarep, seri gambar yang mirip cetakan foto Polaroid. Di situ ada foto Olla Ramelan sedang memeluk Popo, Maia merangkul Popo, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersalaman dengan Popo. Riyan sengaja memanipulasi foto asli untuk menunjukkan kebiasaan masyarakat: foto bersalaman dengan pejabat yang suka dipajang di ruang tamu dan kegemaran orang berfoto bersama artis.
Riyan juga suka memanipulasi ”lukisan legendaris”—lukisan peman-dangan, buah, atau kuda yang sering dijual di pinggir jalan. Kudaku Lari Kencang, misalnya, merupakan lukisan empat kuda berlari di sungai yang dibelinya di pasar. Riyan menambah beberapa sosok Popo yang menunggangi kuda itu. Ada Popo sebagai Indian, koboi, pasukan perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan pembalap motor. Di latar depan ada Popo yang sedang mandi dan Popo lain yang sedang berak. ”Orang berak ini seakan berkomentar bahwa visual kuda nih ngeganggu,” kata Riyan.
Adapun Darbotz menciptakan Cumi, yang dia sebut alter ego atau topeng dirinya. Topeng itu berupa monster cumi-cumi dengan dahi mengernyit dan mulut tersenyum lebar memamerkan sederet taring. Ikon yang digunakannya sejak 2004 ini memiliki sungut-sungut, yang dalam beberapa karyanya lebih dominan daripada kepala. Dibanding Popo, karakter Cumi lebih rumit. Rincian garisnya lebih banyak, meskipun dalam format sama: hitam-putih.
Menurut Darbotz, Cumi merepresentasikan sikapnya terhadap keruwetan kota. ”Ini Jakarta. Saya cinta kota ini. Tapi semua di sini, ah, macetlah, enggak bener-lah, banyak kriminal, korupsi, an****. Dengan segala kekacauan ini, ya, mau apa lagi,” katanya.
Darbotz memamerkan delapan lukisan, dua video seni, dan beberapa karya rupa lain. Karyanya berbentuk simbolis dan bertema abstrak meskipun judulnya sederhana. I Come in Peace, misalkan, menggambarkan kepala cumi yang nyaris tertimbun sungutnya. Ide lukisan ini, kata Darbotz, tentang langkah grafiti masuk ke ranah seni rupa. ”Saya datang dengan damai, sambutlah,” katanya.
Dalam seni rupa Indonesia, seni grafiti belum diterima meskipun wacananya sudah muncul beberapa tahun belakangan. Hal ini berbeda dari kemajuan grafiti di Amerika Serikat dan Prancis, misalnya, yang sudah diakui eksistensinya. ”Pameran ini adalah upaya membuka dialog antara seniman, galeri, dan kolektor,” kata Alia Swastika, kurator pameran Darbotz, saat dihubungi lewat telepon pada Kamis pekan lalu.
Pameran ini juga membuat pergeseran media bagi sang seniman, dari tembok ke kanvas. Menurut Alia, ini merupakan eksperimen bagi Darbotz. Meskipun temanya tak jauh berbeda dari grafitinya, perubahan medium membuat sang seniman mengalami penyaringan. ”Sementara menggambar di tembok dilakukannya secara spontan, lebih cepat, dan merespons lingkungan, menggambar di kanvas membuatnya punya waktu untuk lebih berpikir. Peralihan dari cat semprot yang lebih glossy ke akrilik yang lebih pekat juga membuatnya berbeda,” kata Alia, yang optimistis terhadap potensi pasar para seniman grafiti.
Pasar sebenarnya sudah melirik potensi ini. Cumi, misalnya, pernah dijadikan ikon Nike WindRunner, produk sepatu Nike, dan Darbotz juga membuat instalasi Nikeflywire untuk peluncuran sepatu Nike di Jakarta 2008. Video cumi yang jadi ikon Nike itu dipuji Kanye West, penyanyi hip-hop Amerika Serikat, sebagai ”karya yang keren”.
Popularitas Cumi dan Popo juga membuat dua tokoh itu dibajak produsen kaus dan kelompok penggemar grup musik lokal. ”Bahkan, di sebuah acara ada pedagang yang menawarkan kaus bergambar Popo itu kepada saya tanpa tahu siapa saya,” kata Riyan sambil tertawa.
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo