Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Misteri Planet Mars yang Tidak Misterius

Sutradara Brian de Palma menelurkan satu karyanya yang agak berbeda. Kisah pencarian di planet Mars.

28 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MISSION TO MARS (2000)
Skenario:Jim Thomas, John Thomas, dan Graham Yost
Sutradara:Brian de Palma
Pemain:Don Cheadle, Tim Robbins, Jerry O'Connel, Kim Delaney
Produksi:Touchstone Pictures
ADA apaan sih di planet Mars? Pertanyaan itulah yang terus mengusik Lembaga Antariksa Amerika Serikat atau NASA untuk memecahkan misteri planet yang dijuluki Planet Merah itu. Keberhasilan Pathfinder mendarat di Planet Merah, pada 4 Juli 1997, yang mengirimkan gambar tentang keadaan di planet itu, membuat mereka kian bergairah. Hingga pada suatu ketika, pada tahun 2020, tim yang dikirim ke planet Mars menguak misteri itu.

Misteri itu ada di dalam cekungan besar yang menyerupai sebongkah wajah. Wajah Mars, begitu mereka menyebutnya, adalah topeng besar keperakan yang sebelumnya tersaput gurun pasir. Di dalam "wajah" itulah tersimpan catatan tiap episode kehidupan alam raya ini, dimulai dari ledakan besar di alam raya hingga kemudian terjadi evolusi manusia di Bumi.

Semuanya persis seperti bunyi teori evolusi Darwin yang tercetus di planet ini seabad silam. Ah, kalau cuma untuk itu, kenapa Woody Blake (Tim Robbins) dan Jim McConnell (Gary Sinise) mesti repot-repot ke Mars?

Barangkali, semula Brian de Palma, sang sutradara, ingin menyajikan sebuah misteri. Itu bisa dirasakan melalui alur cerita yang dibangunnya. Badai pasir mengoyak tiga astronaut hingga mati. Apakah ada sesungguhnya? Kenapa tiba-tiba badai itu datang? Hingga di sini, film itu terasa geregetnya. Apalagi, sutradara brilian penggarap The Untouchables itu memasukkan adegan dramatik dan tragis. Kematian, kegagalan, dan keharuan.

Yang kemudian terjadi, De Palma menghancurkan bangunan cerita yang telah disusunnya. Misteri itu pecah. Itulah yang membedakan De Palma dengan Stanley Kubrick, yang pernah menghentak dunia dengan 2001: A Space Odyssey (1968). Hingga film itu usai, Kubrick meninggalkan misteri untuk penontonnya.

Satu hal yang patut diacungi jempol adalah efek visual film ini, yang memang menakjubkan. Brian de Palma—selain Steven Spielberg—memang primadona dalam soal itu. Kehebatan yang ditampilkan dalam karya sebelumnya, Mission: Impossible (1996), yang sempat menjadi box office, diulanginya dengan gemilang. Permainan efek visual, yang merupakan perkawinan dengan teknologi komputer, menghadirkan sebuah detail yang prima. Hampir tanpa cacat. Sayangnya, De Palma merusak kemegahan itu dengan misteri yang tanggung.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus