Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Mistik, dengan warna-warna enteng

Pameran lukisan karya oesman effendi di balai bu daya, jakarta.dari 42 lukisan yang dipamerkan, tam- pak, berbeda dengan pelukis rusli yang kreatif dan affandi yang suka warna berat.

16 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

42 buah lukisan Oesman Effendi muncul di Balai Budaya, Jakarta, 31 Maret s/d 6 April. Tampak meriah oleh warna-warna yang enteng. Kadangkala sangat efisien, halus dan sunyi. Kadangkala menggelinjang, bergelora. Sementara beberapa buah kanvas menampilkan kaligrafi dan menyebarkan suasana religi. Pelukis ini tampak telah menemukan titik jauh yang hendak disedotnya. Sementara pengembaraannya yang tinggal adalah pencarian lubang-lubang untuk mematok dirinya lebih kukuh. Ia seperti seorang musafir saleh yang mengembara mencari hakekat. Hampir sama dengan bau yang kita hirup kalau kita melihat lukisan Rusli yang penuh perhitungan itu. Bedanya adalah, Rusli masih mempergunakan kreatifitasnya untuk mengolah wujud obyek yang sedang digarap. Sedang O.E. telah meninggalkannya sama sekali. Demikian misalnya kalau kita membaca Matahari, Alpen, Toba, Afrika dan sebagainya, sebagai juduljudul lukisan -- yang sebenarnya hanya nama-nama sebagai media. Ia tetap ingin memaparkan sesuatu yang lebih rohaniah sifatnya: pengertian-pengertian yang bangkit dalam dirinya tatkala memperhatikan wujud tersebut. Affadi Kali ini O.E. dapat dibagi dalam 3 kelompok. Penggarapan kaligrafi, penggarapan alam dengan sapuan-sapuan bergelora, serta penggarapan alam yang sangat selektif. Ini memberi isyarat bahwa kendati O.E. sudah menemukan tonggak yang hendak dicari, ia seakan tidak luput dari kegelisahan yang, memang menjadi penyakit kronis para pelukis. Kaligrafinya yang jauh dari keinginan mencari efek-efek keindahan, merupakan buah rasa gelisah yang jujur. Kita sampai pada lukisan Kaligrafi V misalnya, yang begitu ramai, tanpa berpretensi untuk menggapai kekudusan dengan komposisi-komposisi tertentu. Ia meledak seperti sukma yang gentayangan mencari kedamaiannya. Pemandangannya, yang muncul dengan sapuan yang ramai, terasa bergetar dan penuh musik. Di sini O.E. dengan berani mengkombinasikan kesungguhan pencarian dengan enerji yang telah dengan diam-diam ia gebrakkan. Keberaniannya ini juga tersimpul dari keputusannya untuk mengungkapkan semua dengan warna-warna yang enteng. Risiko bahwa kedalaman yang hendak dibayangkannya akan melingsir karena warna-warnanya yang kembang gula, dihadapinya dengan tenang. Barangkali ia telah berusaha mengurangi efek dramatik yang mungkin diumbar keluar melebihi proporsi seandainya ia mempergunakan warna-warna berat sebagai dilakukan Affandi. Pada kelompok ketiga, di mana ia menggarap alam dengan warna-warna yang minim, dengan emosi yang sangat dingin, warna-warna kembang gula tiba-tiba terasa seperti pelangi yang penuh misteri. Bukan misteri yang menggigit sebagaimana pada lukisan Chagall atau Dali, tetapi misteri yang sederhana sekali. Ia tidak memaksakan sesuatu. Tetapi kita serasa perlahan-lahan dibenam ke dalam satu lamunan yang jauh tentang beberapa hal yang sifatnya abadi. Pada lukisan-lukisan ini, baik dia mengambil objek Danau Toba, ngarai, atau pemandangan lainnya (Pertemuan, Toba II, Pemandangan I, Ngarai, Mekah, Toba III), terasa ada suasana religi tanpa menyebutkan Tuhan. Memang terasa saleh. Pelukis ini telah membuktikan bahwa jauh di pedalaman -- di mana ia lebih banyak bekerja untuk usaha-usaha kemasyarakatan (lihat box) - ia tetap tidak kehilangan kreatifitas. Nafsu mencarinya masih ngebet, sementara daya ungkapnya belum loyo. Benar ia tak sempat membuat kita mabuk atau memaksa kita memberi pujian melulu. Tapi ternyata ia tetap dapat mempertahankan diri serta juga nilai-nilai yang hendak dikejar dengan kepercayaan yang tidak menyerang jalan orang lain. Hanya saja, meskipun maunya menghantarkan kita ke pengembaraan mencari hakekat, lukisan-lukisan ini tidak segera membuat orang ikut terlibat. Kadang memang bagai asap mengepul, yang bisa menggumul kita dengan ketat. Tapi tiba-tiba pula ia melesat pergi. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus