42 buah lukisan Oesman Effendi muncul di Balai Budaya, Jakarta,
31 Maret s/d 6 April. Tampak meriah oleh warna-warna yang
enteng. Kadangkala sangat efisien, halus dan sunyi. Kadangkala
menggelinjang, bergelora. Sementara beberapa buah kanvas
menampilkan kaligrafi dan menyebarkan suasana religi.
Pelukis ini tampak telah menemukan titik jauh yang hendak
disedotnya. Sementara pengembaraannya yang tinggal adalah
pencarian lubang-lubang untuk mematok dirinya lebih kukuh. Ia
seperti seorang musafir saleh yang mengembara mencari hakekat.
Hampir sama dengan bau yang kita hirup kalau kita melihat
lukisan Rusli yang penuh perhitungan itu. Bedanya adalah, Rusli
masih mempergunakan kreatifitasnya untuk mengolah wujud obyek
yang sedang digarap. Sedang O.E. telah meninggalkannya sama
sekali. Demikian misalnya kalau kita membaca Matahari, Alpen,
Toba, Afrika dan sebagainya, sebagai juduljudul lukisan -- yang
sebenarnya hanya nama-nama sebagai media. Ia tetap ingin
memaparkan sesuatu yang lebih rohaniah sifatnya:
pengertian-pengertian yang bangkit dalam dirinya tatkala
memperhatikan wujud tersebut.
Affadi
Kali ini O.E. dapat dibagi dalam 3 kelompok. Penggarapan
kaligrafi, penggarapan alam dengan sapuan-sapuan bergelora,
serta penggarapan alam yang sangat selektif. Ini memberi isyarat
bahwa kendati O.E. sudah menemukan tonggak yang hendak dicari,
ia seakan tidak luput dari kegelisahan yang, memang menjadi
penyakit kronis para pelukis. Kaligrafinya yang jauh dari
keinginan mencari efek-efek keindahan, merupakan buah rasa
gelisah yang jujur. Kita sampai pada lukisan Kaligrafi V
misalnya, yang begitu ramai, tanpa berpretensi untuk menggapai
kekudusan dengan komposisi-komposisi tertentu. Ia meledak
seperti sukma yang gentayangan mencari kedamaiannya.
Pemandangannya, yang muncul dengan sapuan yang ramai, terasa
bergetar dan penuh musik. Di sini O.E. dengan berani
mengkombinasikan kesungguhan pencarian dengan enerji yang telah
dengan diam-diam ia gebrakkan. Keberaniannya ini juga tersimpul
dari keputusannya untuk mengungkapkan semua dengan warna-warna
yang enteng. Risiko bahwa kedalaman yang hendak dibayangkannya
akan melingsir karena warna-warnanya yang kembang gula,
dihadapinya dengan tenang. Barangkali ia telah berusaha
mengurangi efek dramatik yang mungkin diumbar keluar melebihi
proporsi seandainya ia mempergunakan warna-warna berat sebagai
dilakukan Affandi.
Pada kelompok ketiga, di mana ia menggarap alam dengan
warna-warna yang minim, dengan emosi yang sangat dingin,
warna-warna kembang gula tiba-tiba terasa seperti pelangi yang
penuh misteri. Bukan misteri yang menggigit sebagaimana pada
lukisan Chagall atau Dali, tetapi misteri yang sederhana sekali.
Ia tidak memaksakan sesuatu. Tetapi kita serasa perlahan-lahan
dibenam ke dalam satu lamunan yang jauh tentang beberapa hal
yang sifatnya abadi. Pada lukisan-lukisan ini, baik dia
mengambil objek Danau Toba, ngarai, atau pemandangan lainnya
(Pertemuan, Toba II, Pemandangan I, Ngarai, Mekah, Toba III),
terasa ada suasana religi tanpa menyebutkan Tuhan.
Memang terasa saleh. Pelukis ini telah membuktikan bahwa jauh di
pedalaman -- di mana ia lebih banyak bekerja untuk usaha-usaha
kemasyarakatan (lihat box) - ia tetap tidak kehilangan
kreatifitas. Nafsu mencarinya masih ngebet, sementara daya
ungkapnya belum loyo. Benar ia tak sempat membuat kita mabuk
atau memaksa kita memberi pujian melulu. Tapi ternyata ia tetap
dapat mempertahankan diri serta juga nilai-nilai yang hendak
dikejar dengan kepercayaan yang tidak menyerang jalan orang
lain.
Hanya saja, meskipun maunya menghantarkan kita ke pengembaraan
mencari hakekat, lukisan-lukisan ini tidak segera membuat orang
ikut terlibat. Kadang memang bagai asap mengepul, yang bisa
menggumul kita dengan ketat. Tapi tiba-tiba pula ia melesat
pergi.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini