Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BESAR perhatian yang didapat ensemble Jakarta -- pimpinan Suka
Hardjana--yang tampil di Teater Terutup TIM, Jakarta, 19 Mei
yang lalu. Ini benar-benar babak baru untuk musik serius yang
mendapat angin baik akhir-akhir ini. Sejumlah penonton terpaksa
pulang karena tidak kebagian karcis. Yang berhasil masuk,
meskipun sedikit menyumpah-nyumpah dalam hati karena udara
sangat gerah, toh tertib dan tekun mendengarkan. Tampaknya
mereka bukan orang-orang baru, karena gampang dikenal. Rupanya
sebuah masyarakat kecil telah terbentuk. Ini merupakan tempurung
yang nyata bahwa kehidupan musik jenis ini tidak lagi hanya
ilusi. Perkara ada unsur-unsur snob di balik entusiasme mereka,
tentu saja tidak usah ditutup-tutupi. Sebab hal itu terjadi juga
di beberapa bidang lain -- teater "kontemporer" misalnya.
Mungkin juga hanya pada awalnya.
Kurang Darah
Layar pentas telah terkuak sejak semula. Lima buah kursi kosong
yang sunyi, seakan telah memainkan kekosongan sebelum 4 orang
musisi muncul mengenakan kemeja batik. Dengan lagak-lagu
sederhana seakan mereka sedang mengadakan latihan biasa, dua
buah biola langsung nangkring di pundak Nusyirwan Lesmana dan
Soedarto. Biola alto ada di tangan Soedomo, sedang Soedarmadi
memegang violin cello. Segera ruang tertutup yang baru saja
dihapuskan balkonnya itu, didatangi oleh Ludwig van Beethoven.
Mereka memilih Kwartet Op 18 No.4. Walaupun Suka Hardjana belum
kelihatan hidungnya, ia serasa sudah nangkring di kursi kosong
yang ke-5, karena tangannya seakan ikut menggerayang dalam
penampilan itu. Meskipun seusai pertunjukan peniup klarinet yang
menamatkan pelajaran di Jerman Barat ini mengaku target
kekompakan dalam nomor ini belum tercapai pol, toh seorang
pengunjung mengatakan bahwa karya yang cukup berat itu berhasil
dibawakan.
Sebuah pujian datang dari penonton yang lain, menganggap tanpa
Suka, Ensemble seperti kurang darah. Maka undurlah sejenak
musisi itu untuk mempersiapkan perjalanan ke arah karya
monumental lain dari tangan Mozart. Waktu mereka muncul, Suka
Hardjana sudah tergiring dengan klarinetnya, siap menarik
Kwintet A mayor Kv 581 untuk klarinet, 2 biola, biola alto dan
violencello.Intronya pada allegro, halus dan lambat. Suka
memainkan klarinetnya dengan bagus sehingga karya yang tergolong
berat ini tergarap dengan bersih. Sebagaimana diketahui
karya-karya Beethoven dan Mozart sudah tersohor sulit
disampaikan, tetapi rupa-rupanya -- sebagaimana disinyalir
fansnya Suka memang pas untuk jenis klasik seperti Mozart, jenis
rococco style. Suara klarinet yang kadang menghilang lalu
menggayut lagi dengan lembut dan kadangkala dominan memimpin
suasana tidak hanya berbau ketrampilan yang sifatnya teknis,
tetapi juga menyarankan agar kegairahan dari peniupnya dalam
memberi interpretasi pada. peninggalan Mozart itu.
L.E. Soemaryo, ketua Akademi Musik LPKJ, menerangkan bahwa
sesungguhnya para pemain Ensemble Jakarta semuanya solois.
"Menonton mereka sama halnya menonton sebuah resital", ujarnya.
Mungkin ini memang cukup menjadi tantangan bagi Suka Hardjana
yang menyiapkan malam penampilan itu selama 3 bulan. Tapi dengan
terhimpunnya para solois yang sudah banyak kali tampil dengan
kompak, jadilah corak khas Ensemble Jakarta yang berbeda dari
ensembel lain. Paling tidak meskipun Suka akan selalu tampak
sebagai kepala barisan, setiap penampilan diharap selalu kaya
karena adanya pribadi-pribadi lain dengan temperamennya
masing-masing. Misalnya dalam babak kedua pada malam yang ramai
itu, muncullah Soedarmadi menggesek dawai viollencello
membawakan Suita No.1 BWV 1007 dari Bach. Dengan peluh
bercucuran ia herhasil menyelesaikan tugasnya dengan baik.
Seorang lalu berkata: "Suka-lah yang memberi bentuk dan proyeksi
ensembel ini. Tidak berarti mengecilkan arti pemain yang lain".
Sebagai santapan terakhir, dihidangkan karya Carl Maria von
Weber (1786-1826) - Kwintet Op.34 Bes mayor yang memberi
kesempatan banyak kepada Suka untuk memperlihatkan kebolehannya.
Memang tidak sia-sia anak kota gudeg ini mencantumkan sejarah
hidupnya sebagai dosen klarinet di Konservatorium der Freien
Hans'estadt Bremen dan yang telah pula mengembara selama 8 tahun
di Eropa sebagai solois. Pilihan nomor yang memang tepat untuk
mengakhiri penampilan--yang menurut komentar pianis Irawati
lebih kompak dari waktu-waktu yang lalu. "Tapi ingat ini sebuah
proses yang sulit", katanya. "Ini adalah hasil sejumlah individu
yang pada akhirnya menemukan satu nafas bersama". Ia menunjuk
banyak seniman yang merasa berjuang sendirian tatkala mereka
berhadapan dengan seni yang serius. "Kalau Ensemble Jakarta
sudah menghasilkan pergelaran sedemikian, janganlah Suka merasa
berjuang sendirian", harapnya kemudian. Ia yakin bahwa
berganti-ganti formasi lebih banyak tidak menguntungkan sesudah
tercapai kwalitas tertentu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo