Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUBUH yang diam dan hati yang gemuruh adalah sepotong garis melodi dalam nada mayor. Pendek, tapi dimainkan berulang-ulang: terkadang oleh denting piano Elizabeth van Malde, terkadang oleh permainan flut maut Abbie de Quant, tapi lebih kerap oleh keduanya di Erasmus Huis, Jakarta, pekan lalu.
Komponis Jerman Carl Reinecke (1824-1910) memang menggunakan flut untuk melukiskan suasana hati yang duka dengan deretan nada melankolis. Perlahan-lahan nada diturunkan, sebagaimana layaknya orang menarik napas panjang. Itulah perjalanan nada-nada yang menggambarkan emosi yang menggumpal, tapi berangsur-angsur lalu mencair, menuju keseimbangan baru. Mencair dari puncak kegelisahan ke suasana hati yang lebih tenang.
Sonate opus 167, "Undine" berkisah tentang nasib tragis seorang gadis peri air yang tengah mencari keabadian sekaligus mencari cinta. Alkisah, sebagaimana tertulis dalam novel Friedrich de la Motte Fouque yang terbit pada 1811, hidup Undine, si peri air yang jelita, tak akan kekal jika tak mendapatkan cinta seorang lelaki. Namun kisah cinta Undine kemudian dipatahkan oleh orang ketiga yang muncul sekonyong-konyong dalam perkawinannya.
Dalam bagian terakhir sonata, finale-allegro molto, Undine yang lembut itu mengecup suaminya, yang memutuskan untuk menikahi bekas kekasihnya. Sonate opus 167, "Undine" berujung pada sebuah ciuman yang mengakhiri hidup suami, sosok yang mengkhianati cinta. Sonate opus 167 telah menunjukkan bahwa komponis Carl Reinecke yang rendah hati tapi piawai merangkai komposisi itu memang fasih berkata-kata dalam bahasa musik.
Apalagi flutis Abbie de Quant kelihatan begitu pintar menempatkan diri sebagai "juru bicara" komponis Reinecke malam itu. Instrumennya terdengar mengalun berat manakala menggambarkan kegelisahan jiwa Undine. Sering masih ada nada pertama yang mengalun ketika nada kedua diperdengarkan. Musik bergerak maju, tapi seakan diseret-seret. Piano Elizabeth van Malde mengiringi dengan sabar, dengan satu-dua akor pendek, seakan mempersilakan flut memimpin di depan. Tapi, di kesempatan lain, flut Abbie de Quant bisa bergerak seringan kapas, cepat meloncat dari satu nada mayor ke nada mayor lain, tatkala melukiskan keceriaan Undine sewaktu bermain di dalam air.
Inilah musik deskriptif. Dalam musik jenis ini, si komponis merasa perlu menggiring para pendengarnya ke satu pemahaman yang diinginkannya. Memang benar partitur tetap mendapat perhatian utama, sedangkan teks yang menyertainya tak selalu dipedulikan. Tapi komponis yang hendak menyampaikan pesannya biasanya berusaha menggunakan bahasa musikal yang lebih mudah dicerna.
Di zaman Barok, para komponis suka memakai rangkaian nada tinggi buat melukiskan surga dan nada-nada menurun rendah untuk menggambarkan neraka. Di zaman Romantik, Tzchaikovsky muncul dengan masterpiece-nya, Overture 1812: tanpa teks yang menjelaskan kejadian yang digarapnya, tapi amat deskriptif dalam bahasa musiknya. Itulah sebuah karya besar yang menggambarkan pertempuran pasukan Prancis melawan Rusia pada abad ke-19—lengkap dengan ilustrasi musikal potongan lagu kebangsaan Prancis dan gelegar meriam di medan perang. Dalam Overture 1812, Tzchaikovsky seakan melakukan satu rekonstruksi adegan puncak sebuah epos besar yang tak dapat dituliskan dengan kata-kata.
Overture 1812 tentu saja tidak masuk dalam daftar nomor musik yang dibawakan pasangan Abbie de Quant dan Elizabeth van Malde. Tapi, dalam konser barusan, keduanya membawakan sejumlah musik deskriptif karya komponis abad ke-20—termasuk Albert Roussel (1869-1937), Jules Mouquet (1867-1946), Rudolf Escher (1912-1980), Claude Debussy (1862-1918), dan Francois Borne (1840-1920). Bahkan duet Abbie-Elizabeth sempat memainkan karya komponis Ron Ford yang mencoba menyusupkan teks cerita ke dalam partitur. Tak ayal, kita pun menyaksikan Abbie de Quant jadi ekstrasibuk dengan peran gandanya: flutis sekaligus narator. Partitur The Prince berisi komposisi nada-nada disonan, nada-nada yang tak akrab di telinga orang banyak, yang diselang-selingi narasi mengenai seorang pangeran.
Musik (instrumental) memang bahasa yang unik. Kadang mudah "dipahami", tapi sukar dimengerti. Sedangkan teks dan partitur dua hal yang saling membutuhkan, saling mengisi.
Idrus F. Shahab
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo