Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Naga Juga Punya Hati

Kisah seorang remaja terasing yang bersahabat dengan seekor naga. Lagi-lagi animasi CGI, tapi pantas berjajar di antara yang tak boleh dilewatkan.

12 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

How to Train Your Dragon
Sutradara: Dean DeBlois, Chris Sanders
Penulis naskah: Dean DeBlois, Adam F. Goldberg, Chris Sanders, Peter Tolan
Pengisi suara: Jay Baruchel, Gerard Butler, Craig Ferguson, America Ferrera

Kecil dan mendekati kurus, tapi cerdik, imajinatif, dan cenderung sarkastis, Hiccup adalah karakter ganjil di tengah suku­nya, kaum Viking. Di desa di Pulau Berk, tempat yang jarang diterangi matahari dan untuk sampai di sana harus ditempuh ”... 12 hari putus asa” itu, orang hidup dengan tradisi turun-menurun memerangi naga. Tapi Hiccup tak bisa mewarisi watak dan keterampilan yang sama—sesuatu yang membuat ayahnya, sang kepala desa berbadan kekar dan berjenggot bagai kembang api menyala, malu.

Hiccup bukannya tak ingin menjadi ksatria seperti para lelaki lainnya, yang rata-rata berbadan gempal. Masalah­nya, dia memang berbeda dari remaja sebayanya: dia selalu kikuk dan kelihatannya justru ingin menjadi penemu ketimbang ksatria (dia murid Gobber, tukang besi yang menjadi tangan kanan Stoick the Vast, ayah Hiccup). Ketika dia tahu telah berhasil menjerat Night Fury dalam suatu serangan gerombol­an naga, dia sadar bahwa dia tak tega membunuh naga paling misterius dan langka itu; sebaliknya, dia justru mencoba berteman. Dari situlah, dengan bergulirnya cerita, dia berusaha meyakinkan sukunya bahwa naga tak sejahat yang mereka kira.

Tentu, usaha itu membuat Hiccup harus berkonflik keras dengan ayahnya, yang sebenarnya sempat luluh hati setelah tahu bahwa Hiccup berhasil mengikuti pelatihan menaklukkan aneka jenis naga. ”Mereka (naga-naga itu) telah membunuh ratusan orang kita!” sang ayah berteriak, mencoba­ meyakinkan Hiccup akan pentingnya­ memerangi naga. ”Tapi kita sudah membunuh ribuan dari mereka!” Hiccup membalas. ”Mereka cuma mempertahankan diri.” Ayahnya berkukuh dan memastikan bahwa Hiccup bukan lagi anggota keluarganya.

Plot yang mengikuti sepak terjang anak terasing dan obyek cibiran itu sebenarnya sudah merupakan bahan daur ulang. Tapi film garapan duet sutradara Dean DeBlois dan Chris Sanders ini (skenarionya merupakan adaptasi longgar dari novel karya Cressida Cowell) berhasil memolesnya sedemikian rupa sehingga usang bukanlah kesan­ utama yang bisa didapat penonton. DeBlois dan San­ders justru mampu mengelevasikan apa yang telah mereka capai dengan Lilo & Stitch (2002).

Sebagian dari keberhasilan itu bertumpu pada animasi­nya, hasil aplikasi teknologi grafis komputer atau CGI (computer-generated ima­gery). Sepanjang 90-an menit, film ini merupakan etalase peragaan visual yang betapapun kini khayalan apa saja pasti bisa diwujudkan tetap sulit untuk lolos dari radar impresi. Beberapa adegan akan mengingatkan orang pada Avatar (James Cameron, 2009). Tapi sebagian besar sekuens gambar, berupa paduan antara realisme yang menakjubkan dan gaya kartun yang hidup, merupakan pencapaian eksklusif untuk film ini saja. Hal ini merupakan kredit bagi Dream­Works Animation, yang kian mengukuhkan diri sebarisan dengan Pixar Animation Studios.

Dengan kekuatan animasi itulah plot yang biasa-biasa saja justru bisa dibangun menjadi sedemikian memikat. Watak dan keunikan tokoh-tokohnya, yang memang beragam, juga hubungan di antara mereka, muncul tegas. Semua inilah yang lalu berfungsi sebagai fondasi yang kuat untuk menyampaikan pesan (betapapun klise, barangkali) bahwa menjadi berbeda bukanlah masalah dan malah tak terelakkan demi kebaikan masyarakat secara keseluruhan.

Memang, beberapa bagian cerita bukan tak mungkin akan mengganggu. Misalnya betapa cepat Astrid berubah pandangan dan sikap terhadap Hiccup, dari sinis dan meremehkan menjadi bersimpati dan jatuh hati. Atau Stoick dan Gobber yang (padahal Viking) kental aksen Skotlandianya. Walau begitu, kekuatan film ini tetap saja tak terbantahkan: lucu dan menyegarkan, nakal tapi mengharukan. Barangkali seperti Garfield yang me­ngelus-eluskan kepala dan badannya ke kaki Anda.

Purwanto Setiadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus