Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Mempertanyakan Netralitas Jokowi di Pemilu 2024

Sederet tindakan Presiden Jokowi membuat akademikus mempertanyakan netralitasnya dalam Pemilu 2024.

13 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sederet tindakan dan pernyataan Presiden Jokowi belakangan membuat akademikus mempertanyakan netralitasnya dalam Pemilu 2024.

  • Presiden seharusnya menjadi representasi rakyat secara keseluruhan, bukan kelompok kepentingan.

  • Padahal Jokowi dulu dikenal sebagai sosok yang merakyat dan antitesis dari oligarki.

Belakangan ini sikap Presiden Joko Widodo atau Jokowi kerap membuat gaduh publik. Dari indikasi keberpihakannya kepada salah satu pasangan calon presiden-wakil presiden dengan cara mengutak-atik aturan hingga pernyataannya bahwa seorang presiden boleh berpihak dan berpolitik, yang kemudian ditafsirkan oleh publik sebagai “boleh berkampanye”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jokowi merujuk pada Pasal 299 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye selama, seperti yang diatur dalam Pasal 281, tidak menggunakan fasilitas negara dan mengajukan cuti di luar tanggungan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pernyataan ini jelas menimbulkan polemik publik, membuat masyarakat bertanya-tanya soal kapasitas Jokowi sebagai presiden dan kepala negara. Barangkali memang secara aturan tidak ada yang bermasalah. Tapi, di luar itu semua, hal yang juga perlu kita nilai adalah etika dan moral. Dari rangkaian kontroversi yang ditampakkan Jokowi sejak memasuki tahun pemilu, publik perlu secara kritis mempertanyakan kembali netralitasnya sebagai presiden.

Bakal Calon Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka saat akan menyerahkan syarat pencalonan menjadi Presiden dan Wakil Presiden di Kantor KPU, Jakarta, 25 Oktober 2023. TEMPO/M Taufan Rengganis

Mempertanyakan Etika

Persoalan ini sudah muncul sejak dimulainya polemik mengenai putusan Mahkamah Konstitusi tentang batas usia capres-cawapres yang oleh publik dianggap sebagai strategi untuk bisa meloloskan anak Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju sebagai cawapres.

Etika dan moral adalah dua aspek yang sama-sama melingkupi hukum. Artinya, hukum tidak bisa dipahami secara leksikal atau lateral apa adanya.

Beberapa minggu lalu, Mahfud Md., kandidat cawapres yang juga mantan hakim MK, sempat mengeluarkan kutipan ikonis bahwa hukum harus diletakkan pada konteks sosial untuk menguak kebenaran sebenar-benarnya.

Lalu, apakah pernyataan Jokowi tersebut benar?

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus meletakkan jabatan presiden sebagai jabatan publik. Jabatan publik bukannya tidak melibatkan aspek politik di dalamnya. Tentu ada aspek politik dalam setiap jabatan publik, termasuk presiden. Salah satunya ihwal konstituennya.

Saat pencalonan, konstituen seorang capres adalah masyarakat dalam cakupan nasional, bukan koalisi partai politik dan bukan segelintir kalangan atau kelompok tertentu saja. Sebab, dalam sistem pemilu elektoral, seorang capres harus memperoleh suara lebih dari 50 persen untuk bisa memenangi pilpres. Artinya, presiden dalam kapasitasnya sebagai presiden terpilih seharusnya sudah menjadi representasi rakyat secara keseluruhan, bukan beberapa kelompok kepentingan.

Di sinilah arti netralitas. Netral bukan berarti buta terhadap konflik kepentingan yang terjadi selama masa pemilu. Justru dalam beberapa hal, sosok yang netral sangat paham akan benturan kepentingan dan mampu menjadi jawaban jalan tengah atas konflik kepentingan.

Dalam hal ini, semestinya presiden mampu menjadi sosok pemimpin yang paham akan kepentingan-kepentingan yang ada, mengingat semua pasangan calon adalah mantan mitra kerjanya. Sayangnya, presiden gagal memahami pemaknaan konstituen.

Presiden Joko Widodo mmembahas aturan presiden dan wakil presiden memiliki hak untuk melaksanakan kampanye.dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Jakarta, 26 Januari 2024. BPMI Setpres

Gagal Paham Jokowi

Gagalnya pemahaman akan konstituen ini membuat situasi sosial-politik kita saat ini porak-poranda. Banyak pihak yang kemudian meradang atas pernyataan Jokowi, seolah-olah pemimpin yang seharusnya mengayomi semua pihak tanpa terkecuali malah berpaling pada kepentingan tertentu.

Garis konstituen Jokowi sebagai presiden pun seakan-akan dilanggar oleh dirinya sendiri. Hal seperti ini pernah terjadi pada masa Orde Baru, era yang dikenal lekat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Wajar publik memperdebatkan apa yang diucapkan Jokowi perihal seorang presiden boleh berpolitik. Presiden dianggap lupa diri terhadap aspek moral dan etika dalam regulasi.

Padahal Jokowi dulu dikenal sebagai sosok yang merakyat, peka sekali dengan keadaan sosial, humanis, dan menjadi antitesis dari oligarki.

Masih lekat di ingatan publik bagaimana Jokowi saat masih menjabat Wali Kota Solo melakukan pendekatan intens kepada masyarakat ketika akan merelokasi pedagang kaki lima di Solo, Jawa Tengah. Ini membuat Jokowi dikenal sebagai sosok yang gemar blusukan dan mendatangi masyarakat, meskipun secara regulatif, blusukan tersebut merupakan bagian dari upaya untuk menggusur.

Sosok merakyat dan blusukan Jokowi kini makin tergerus dan justru memunculkan kekhawatiran akan kembalinya era otoriter yang melanggengkan oligarki.

Kini nasi sudah menjadi bubur. Hal yang dapat dilakukan Jokowi, setidaknya di sisa masa jabatannya yang akan segera berakhir pada Oktober nanti, adalah pembuktian bahwa dia sebagai kepala negara tidak memanfaatkan fasilitas negara sebagai bagian dari kampanye.

Publik akan sulit melupakan bagaimana Jokowi mengintervensi MK untuk membangun dinasti politiknya. Tapi setidaknya pembuktian tersebut akan meyakinkan publik bahwa Jokowi dalam kapasitasnya sebagai presiden tidak menyalahgunakan fasilitas negara lebih jauh lagi.

Masih banyak masyarakat yang menganggap Jokowi sebagai pemimpin yang berkesan dan berpihak pada pembangunan-pembangunan nasional, terutama di daerah-daerah luar Jawa. Dia sebaiknya tidak menyia-nyiakan kepercayaan ini.

---

Artikel ini ditulis oleh Satria Aji Imawan, dosen Departemen Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Diponegoro, Semarang. Terbit pertama kali di The Conversation.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus