Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Nietzsche Sang Penyair

Dalam puisi-puisinya yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia, filsuf Jerman ini menunjukkan kejujurannya sebagai manusia biasa dan intelektual.

25 Oktober 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nietzsche, Syahwat Keabadian Penerbit: Komodo Books, September 2010 Alih bahasa: Agus R. Sardjono, Bertold Damshauser

Nietzsche, Syahwat Keabadian, buku bersampul kuning-putih dengan ikon filsuf pemberontak bermata tajam dan bermisai tebal itu, boleh jadi menawarkan beberapa kejutan. Pertama-tama, Friedrich Nietzsche bukan saja seorang tokoh eksistensialis ateistik yang garang dengan pengaruh yang mengalir sampai jauh (dari Heidegger hingga Chairil Anwar), tapi juga seorang penyair mengagumkan.

Dan lebih mengejutkan lagi, dalam kepenyairannya itu kita menjumpai sebuah dunia privat seorang pemikir yang hiruk-pikuk, penuh pergulatan pemikiran yang intens. Sejumlah anti tesis yang meragukan bahkan kemudian menyangkal pemikiran-pemikir annya senantiasa muncul, menyesakkan dada sang penyair, dan boleh jadi perlahan-lahan mengantar sosok yang berabad kemudian banyak dituding dan sekaligus dibela oleh orang re ligius ini ke sebuah akhir yang mi ris: kegilaan.

Dalam kepenyairannya Friedrich Nietzsche menunjukkan suatu dialektik yang tentu saja bernas tapi sangat melelahkan. Benci dan sayang muncul silih berganti. Filsuf penyendiri dan selalu terasing ini melalui wujud sosok Zarathustra mencemooh tajam manusia modern bermental ”domba” yang sama sekali tidak tergerak hatinya untuk menggali makna hidup ini lebih dalam. Namun dalam Demikian Sabda Zarathustra (Also Sprach Zarathustra), ia menggambarkan betapa sosok yang namanya dipinjam dari pemikir Persia itu telah tiga dasawarsa tahun hidup menyendiri, dan kini memutuskan untuk turun gunung, berbagi ilmu kepada siapa saja yang dijumpai. Dalam ungkapan Nietzsche, ”Ia merindukan tangan-tangan yang menengadah, mengharap kebijaksanaannya.”

Dalam ”Nyanyian Malam”, salah satu puisi dalam Nietzsche, Syahwat Keabadian, ia mengaku betapa ingin ia menarik kembali tangannya manakala ”tangan mereka (manusia domba) terulur menggapai; bagai air terjun yang ragu”. Ia telah menjelma jadi seseorang yang begitu lapar akan kekejian, dengan dendam yang tumbuh dari kesendiriannya.

Dalam sepi, dingin, dan kesendiri an yang nyaris mutlak, ia seakan-akan meratapi nasibnya: berbahagialah dia yang masih berumah—memiliki jalan pulang. Puisi ”Kesendirian” dibuka dengan panorama gagak-gagak yang berteriak resah tanda hujan salju bakal turun—setting yang kemudian melahirkan pertanyaan ”mengapa kau yang dungu lantaran dingin” memilih kabur dari dunia nyaman itu. ”Bagai asap yang tak henti, mencari langit kian beku,” begitulah ia menggambarkan dirinya. ”Kini kau terpaku pasi, terkutuk kembarai salju.”

Dalam ”Cuma Penyair! Cuma Pan dir!” kita akhirnya menemukan Nietz sche yang gagah memproklamasikan kematian Tuhan ini benar-benar terkapar lemah. Mengawali sang puisi, ia mencibir sinis: kaukah peminang kebenaran (filsuf)? Dipacu hati sang filsuf yang membara, kegilaannya akan kebenaran telah menggiringnya masuk, tenggelam, dan berakhir dalam gelap malam dan kesia-siaan. Di titik itu, seakan menyesal, ia merendah, mungkin juga memaki betapa ia cuma si pandir, cuma penyair yang tidak menemukan apa-apa dalam perjalanan panjang yang melelahkan itu.

Sampai di sini, kita bisa melihat ada nya garis penghubung antara Nietzsche, sang kembara tiada ujung, dan penyair Chairil Anwar melalui tokoh Ahasveros. Meski keduanya berbeda, dalam puisi berjudul ”Tak Sepadan” itu kita mendapati Chairil lebih keras kepala, bertahan dalam semangat pemberontakannya: ”Aku mengembara seperti Ahasveros, dikutuk disumpahi Eros.”

Namun Nietzsche bangkit dari semua ini, dan akhirnya sampai di termi nal penghabisan. Ia menerima kenyataan ini, lalu merasakan manisnya kepastian, seraya menawarkan pembe basan manusia dengan membuang jauh-jauh mentalitas hamba yang dikukuhkan tradisi Nasrani, menyerukan pendirian kerajaan surga di muka bumi (bukan di akhirat kelak), mencampakkan mora litas yang berpaling pada nilai baik dan buruk, dan seperti halnya Sigmund Freud, ia mengingatkan bahwa yang dilakukan manusia di muka bumi ini adalah bermain, bukan bekerja.

Nietzsche, dengan semangat pem be rotakannya, kejujuran, dan megalomania, mencoba menyebarkan cita-cita men jadi uebermensch, superman. Ia me radang buas, mencakar, menggempur, dan terkadang mengeluh pasrah, dalam sekitar 60 puisi dalam Nietzsche, Syahwat Keabadian ini.

Idrus F. Shahab

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus