Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Novel tanpa Huruf "R"
Pemain : Agastya, Lola Amaria
Sutradara : Aria Kusumadewa
Skenario : B.E. Raisuli
Produksi : Tit's Film Workshop
Sunyi telah mati. Dan dia meninggalkan anak yang kemudian hidup, yang terus-menerus penuh derita. Sunyi mati karena tenggelam di lautan. Tubuhnya tertelan ombak. Itu terjadi saat Sunyi, bersama suami dan anaknya, melarikan diri dari pengejaran penduduk yang marah karena menganggap mereka terlibat dalam sebuah peristiwa berdarah.
Beruntung, Drum dan ayahnya selamat setelah terdampar di sebuah pulau. Tapi, kehidupan baru—minus ibu—tak bermakna. Walau hidup berkecukupan karena ayahnya memiliki usaha penjagalan sapi dan cukup dihormati penduduk lain, toh Drum (Agastya) bukanlah anak yang riang. Hampir tiap malam dia menyaksikan kemarahan ayahnya kepada Tuhan. Di altar di kamarnya, ayahnya menggugat sang Pencipta atas derita yang ditimpakan padanya.
Menjelang dewasa, derita bukannya pergi. Malah menggumpal. Drum harus kembali kehilangan orang yang dicintainya. Badar (Otig Patis), sang ayah, mati di depan matanya sendiri akibat ditabrak mobil yang dikemudikan sopir selon. Badar mati bersimbah darah. Mobil mirip angkot yang menabraknya malah tancap gas.
Peristiwa inilah yang menenggelamkan Drum dalam sebuah kekosongan, tanpa orang dekat di sisinya. Peristiwa ini juga menjadi titik pijak yang melahirkan seorang lelaki tanggung penuh dengan persoalan. Mimik wajahnya, yang selalu bengong dan kosong, merupakan gambaran betapa berat beban Drum. Tapi ia hanya ingin menggumulinya sendiri.
Sekelumit kisah di atas merupakan awal dari film terbaru sutradara Aria Kusumadewa, Novel tanpa Huruf "R". Ini film layar lebarnya yang kedua, setelah Beth. Menilik sosoknya dan menengok beberapa karya sebelumnya, seperti Bingkisan untuk Presiden dan Beth, sudah jelas Aria kembali pada satu "tradisi" sineasnya yang khas, yang penuh dengan pertanyaan tentang makna hidup; pertanyaan-pertanyaan mendasar filosofis tentang alienasi yang terlalu isoterik untuk dibawa ke layar lebar di tengah masyarakat Indonesia yang tidak literer.
Kali ini Aria menempatkan sosok Drum sebagai tokoh sentral. Sama halnya dengan Beth, Drum merupakan sosok yang tidak bisa hidup dalam lingkungan mutakhir di negeri ini. Semua orang yang dikasihinya, bahkan dua ekor anjingnya, harus tewas. "Kenapa aku selalu kehilangan orang-orang yang kucintai?" gumam Drum.
Inti persoalan yang hendak disampaikan Aria adalah soal kekerasan yang memuakkan. Perubahan di negeri ini selalu diiringi dengan kekerasan. Lihatlah peristiwa G30S/PKI lalu, juga amuk massa menjelang Soeharto jatuh. Sialnya, di masa kini, kekerasan tak jua pergi, malah kian pekat seperti udara. Kekerasan ada di mana-mana, sekaligus menjadi komoditas. Pengelola media dan televisi ikut mengambil keuntungan besar, tanpa mereka pernah tahu bagaimana rasanya menjadi bagian dari korban kekerasan itu, seperti yang dialami Drum.
Sejak awal, film ini penuh dengan adegan kekerasan dan darah. Mengambil gaya bercerita yang lurus, Aria menggambarkan Drum sebagai manusia yang telanjur akrab dengan kekerasan. Tiap hari, dia melihat penjagalan sapi di tempat rumah jagal milik ayahnya. Darah yang muncrat, sapi yang mengerang saat melepas nyawa menjadi pemandangan yang biasa baginya.
Tanpa sadar, dia tumbuh menjadi manusia yang akrab dengan kekerasan. Riwayat hidup ini pula yang kemudian melempangkan jalan Drum menjadi fotografer di majalah kriminal. Tiap hari dia memotret mayat-mayat berlumur darah. Peristiwa yang dialaminya setiap hari itu mengilhaminya menulis novel yang berjudul Kejet-kejet. Novel yang penuh dengan kekerasan itu malah laris manis.
Namun, kekerasan yang menjadi tema besar dalam film ini ternyata menyeret Aria untuk mengumbar semua adegan kekerasan itu. Semisal tentang adegan pembantaian di sebuah kelenteng, tempat orang Cina yang sedang bersembahyang di sana menjadi korban. Sekali lagi darah muncrat. Hal lainnya yang agak mengganggu adalah narasi dan dialog yang terasa klise.
Narasi itu juga terasa mengganggu ketika dia muncul saat kamera menghubungkan mayat yang berlumuran darah dengan adegan penjagalan leher sapi. Sang narator berucap, pembantaian manusia tiada beda dengan pembantaian hewan. Padahal gambar itu telah cukup menjelaskan. Verbalisme—dari gambar-gambar yang sudah simbolik—seharusnya tidak lagi menjadi problem bagi sutradara serius seperti Aria Kusumadewa.
irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo