Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Nyanyian Biografi Para Kandidat

Menjelang pemilu, buku-buku biografi calon presiden muncul. Ada keuntungan bisnis, ada kehendak berkampanye.

7 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku-buku itu diletakkan di tempat istimewa. Di panggung-panggung khusus, serupa hidangan yang tersaji di pondok-pondok makanan, sebagaimana kerap kita dapati dalam pesta perkawinan. Ya, di tempat-tempat yang cukup mencolok itulah, toko buku Gramedia Matraman (Jakarta Timur), Pondok Indah (Jakarta Selatan), dan Depok (Jawa Barat), misalnya, menawarkan puluhan judul buku mengenai calon presiden ke-6 RI.

Simak biografi Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY. Dari sisi penampilan fisiknya, buku setebal bantal berjudul SBY Sang Demokrat (1.003 halaman) menawarkan cerita panjang. Usamah Hisyam dan kawan-kawan, penulis buku itu, mengisahkan masa kecil SBY, pendidikannya di Lembah Tidar (Akademi Militer), pengabdiannya di dalam pasukan, serta penugasannya di medan tempur dan luar negeri—termasuk masa tugasnya sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan.

Buku yang juga cukup mencolok adalah biografi Amien Rais, Mohammad Amien Rais Memimpin dengan Nurani. Sama seperti buku SBY, biografi ini berkisah tentang kehidupan Amien sejak kanak-kanak hingga kiprahnya di dunia politik kini. Mohammad Amien Rais Memimpin dengan Nurani kalah tebal dibandingkan dengan SBY Sang Demokrat. Tapi, dari sisi penulisan, biografi Amien yang ditulis Zaim Uchrowi itu terasa lebih renyah.

Biografi SBY dan Amien Rais hanya dua dari sejumlah buku calon presiden. Sampai akhir pekan kemarin, sudah ada dua buku tentang kandidat Wiranto, tiga tentang SBY, delapan tentang Amien Rais, sekitar 15 buku tentang Megawati Soekarnoputri, dan satu buku tentang Hamzah Haz. Masing-masing punya catatan sejarah yang dianggap penting: menjelaskan peran dan kesaksiannya pada titik-titik krusial perjalanan negeri ini. Wiranto, misalnya, memiliki Wiranto: Bersaksi di Tengah Badai dan Selamat Jalan Timor Timur: Pergulatan Menguak Kebenaran. SBY sendiri memilih periode lain dalam 5 Hari Mandat Maklumat.

Catatan masa lalu seorang kandidat menjadi teramat penting, apalagi setelah munculnya buku Politik Huru-hara Mei 1998, karya Fadli Zon, yang muncul saat pemilihan kandidat presiden Partai Golkar. Ini sebuah buku yang mempertanyakan posisi Wiranto, salah seorang kandidat waktu itu, dalam kerusuhan Mei 1998.

Masa lalu, track record, tentu saja penting. Tapi, karena tak semua orang punya waktu dan kesabaran membaca buku tebal, mereka menyediakan buku-buku manual: praktis, dengan topik sangat khusus, dan tak menutup-nutupi hasrat berkampanye. Kandidat Megawati punya 62 Alasan Kenapa Kita Harus Tetap Memilih Megawati. Amien Rais memiliki 50 Alasan Mengapa Memilih Amien Rais. Di samping itu, ada buku praktis yang berisi penjelasan seperti Megawati dan Kaum Nahdliyin, Megawati dan Etnis Tionghoa, Megawati dan TNI/Polri, Megawati dan NKRI, dan Megawati dan Zig-zag Politik, satu buku yang mencoba menjelaskan politik luar negeri pemerintah Megawati.

Masa kampanye adalah masa panen bagi sejumlah penerbit. Mohammad Amien Rais Memimpin dengan Nurani dicetak dalam dua edisi: hardcover dan softcover. Menurut Mohammad Ilham dari Teraju, penerbit buku Amien itu, edisi hardcover dicetak 1.000 eksemplar. Edisi ini khusus dibagi-bagikan oleh pihak Amien Rais kepada koleganya. Sedangkan edisi softcover dicetak 3.000 buku, dilempar ke pasar dengan harga Rp 57 ribu. "Edisi softcover kini sedang dicetak ulang sekitar 2.000 eksemplar dan akan dilempar ke pasar pekan depan," kata Ilham, manajer redaksi Teraju.

Usamah Hisyam, penulis sekaligus bos Dharmapena, penerbit biografi SBY Sang Demokrat, mengakui bahwa buku itu dicetak dalam tiga versi. Versi pertama, versi luks, dicetak sekitar 500 buku, versi kedua 1.500 eksemplar, dan versi ketiga 1.250 buku. Menurut Usamah, pihak SBY memborong 1.000 buku, termasuk 500 eksemplar versi luks. "Buku yang diborong SBY itu dibagi-bagikan kepada undangan saat peluncuran akhir Maret lalu," ujar Usamah.

Buku dan kampanye pemilihan presiden, politik dan keuntungan ekonomi, adalah dua hal yang saling membutuhkan, saling menguntungkan. Tapi pengamat buku Alois Agus Nugroho punya pendapat lain. Ia melihat maraknya buku biografi calon presiden menjelang pemilihan umum presiden ini lebih terdorong untuk "menjual diri". Biografi kampanye bukan sebuah memoar perjalanan sejarah kehidupan calon presiden itu. "Secara umum, buku itu semacam iklan dari para tokoh politik tersebut," katanya. Buku SBY Sang Demokrat, misalnya, punya 30 halaman untuk menghapus gambaran SBY sebagai peragu (kesan dari hari-hari terakhir sebelum ia mengundurkan diri dari jabatan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan).

Dari segi isinya, menurut Alois Nugroho, secara umum mungkin benar apa yang dikatakan di dalam buku-buku itu. Tapi masih banyak yang menonjolkan "yang baik-baik saja". "Padahal seorang penulis biografi itu harus mampu tetap menempatkan diri dalam posisi sebagai partner yang kritis," katanya.

Di luar itu, masih kata Alois Nugroho, dari aspek kelaziman, buku biografi calon presiden yang kini marak itu bisa dikatakan tak lazim. Sebuah buku biografi lazimnya ditulis setelah si tokoh pensiun atau meninggal, sementara buku biografi yang kini marak itu ditulis justru saat perjalanan politik para tokoh tersebut masih panjang—alias belum benar-benar pensiun. Politisi di Amerika Serikat dan Eropa, misalnya, kerap menulis biografi atau memoarnya menjelang atau setelah mereka pensiun. Sedangkan di Indonesia, banyak politisi bersemangat menerbitkan buku biografi justru saat mereka masih berjaya.

Kampanye adalah pesta. Tapi ada pelajaran yang pantas disimak dari sepotong dialog Bung Karno dengan Duta Besar Amerika Serikat pada suatu hari, 1960-an, di istana kepresidenan di Bogor. Howard Jones, sang duta besar, menganjurkan: sudah waktunya Bung Karno menulis sejarah hidupnya. Saran itu ternyata ditampik dengan sebuah keyakinan. "Buruk-baiknya kehidupan seseorang hanya dapat dipertimbangkan setelah ia mati," kata Sukarno.

Nurdin Kalim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus